Chocopie

55 7 15
                                    

⚠ Age gap warning.

Jarum pendek pada arlojinya menunjukkan angka lima, sebuah kejadian langka ketika Namjoon sudah berada di jalan pulang pada jam tersebut. Melempar pandang ke jalanan ibukota melalui kaca mobil, remaja sekolah menengah atas itu menebak-nebak kemungkinan Kakak mentornya juga masih ada di perjalanan, atau justru malah belum berangkat. Mengingat kelas tambahan selesai lebih awal, sepertinya Namjoon akan sampai sebelum Sua.

Namun, di halte ujung jalan terdekat yang mampu mata minimalisnya tangkap, seorang perempuan yang diyakininya sebagai si Kakak mentor tersebut sukses membuatnya meminta agar mobilnya menepi.

"Pak, pak! Berhenti sebentar boleh, ya?" tanyanya menuntut setuju. "Ada Kak Sua di halte tadi, kita ajak saja sekalian. Saya juga ingin membeli sesuatu di sevel."

Di sana, berkutat pada ponsel dengan satu tangan terlipat menyangga di bawah dada, separuh wajah si puan tertutup masker dan syal. Kendati begitu, Namjoon masih bisa mengenalinya dari dalam mobil yang melaju sedang. Ia berlari menyebrang jalan, trotoar sudah mulai ramai di jam pulang kantor, takut-takut Sua bakal menghilang di tengah kerumunan.

"Kak ... Sua! Huft, untung masih di sini," ucapnya, pun menarik beberapa pasang mata sebabnya yang sekonyong-konyong bersimpuh lutut dengan napas terengah.

Di hadapannya, Sua terkikih setengah gemas. "Ambil napas dulu, Kim." Merogoh tas, ia lantas menyodorkan sebuah sapu tangan biru langit guna menyeka keringat yang paling muda. "Sedang apa di sini, eh? Tidak pulang? Hari ini, kan, ada jadwal."

Menunjuk pertokoan di seberang persimpangan, Namjoon bilang, "Mobilnya diparkir sebentar di sana. Tadi aku melihat Kakak jadi—"

"Eh! Wajahmu merah begitu, demam?" cemasnya refleks menempelkan punggung tangan di dahi Namjoon. Pergerakan yang sangat tiba-tiba dari tangan dingin yang menyentuh kulit itu seolah ikut menghentikan kerja otak Namjoon untuk beberapa sekon yang beku.

Namjoon.exe has stopped working.

Rasanya seperti tersetrum.

"D-dingin ... u-udara di luar dingin sekali, ya, Kak?  Cari minuman hangat, yuk!"

Sua membiarkan tangannya digenggam si murid. Besar dan hangat. Ia bertanya-tanya bagaimana bisa Namjoon sebegitu hangatnya di tengah udara yang membeku. Lama dirinya menatap bagaimana tangan itu merangkum utuh miliknya, sudut pandang Sua memperlihatkan pipi kanan Namjoon yang memerah—yang katanya, sih, karena dingin. Lelaki itu jadi mirip pai ceri yang baru keluar dari oven.

"Mereka tidak mungkin menjual iced americano, umm ... cokelat atau latte?"

"Cokelat saja, Kim. Tidak perlu ditambah gula," katanya. "Aku menunggu di luar, ya. Ini, pakai saja kartuku." Namun, tangannya buru-buru ditahan ketika membuka dompet.

Yang benar saja. Mana mungkin Namjoon membuat Sua yang membayar, apalagi dia sendiri yang mengajaknya kemari. "Biar aku saja yang traktir." Setidaknya, kan, Namjoon bisa terlihat keren di depan Kakak Mentor favoritnya.

Sembari mengantre di bagian produk instan, matanya tertarik pada jejeran cokelat batangan yang memenuhi display dengan label promo besar. Hari itu 14 Februari, jadi tidak heran ia bisa menemukannya di sana, yang ada Namjoon malah merasa kasihan pada diri sendiri. Ia tersenyum kecut ketika menyadari tidak ada seorangpun yang memberinya cokelat, padahal valentine-nya sudah akan berakhir.

Kak Sua? Ah, menghayal saja bisanya.

***

Malam itu kediaman keluarga Kim terasa lebih sepi dari biasanya. Namjoon bilang, orang tuanya tengah mengunjungi kerabat di luar kota. Pun sesi belajar kali ini juga tidak banyak membantu, sebab disamping mengerjakan latihan soal, Namjoon juga berakting menjadi batu. Bahkan suara cacing perut yang mendemo kelaparan pun tidak dihiraukan.

"Namjoon, Namjoon, sudah," interupsinya. "Kita istirahat sebentar, ya. Memangnya kamu tidak lapar?"

"Kakak lapar? Ingin delivery apa?"

Hah? Memangnya anak ini tidak mendengar suara perut sendiri?

"Tidak, perlu. Uangnya disimpan saja ... di kulkas ada apa? Mau kumasakkan sesuatu? Eh, boleh tidak?"

Duh, duh, Kak Sua ingin memasak makan malam? Namjoon jadi berhayal yang iya-iya.

"Kim?"

"B-boleh ... tentu saja. Malah jadi tidak enak karena merepotkan Kakak." Ditatap Sua seolah dirinya badut sirkus, Namjoon mendadak kikuk dan tidak tahu harus melakukan apa. "Um, ayo, Kak?"

Gadis itu bilang, Namjoon hanya perlu menunggunya saja, atau menyeduh minuman kalau ia memang ingin membantu. Melihat mentornya melakukan semua itu, Namjoon diam-diam sudah menulis poin alasan baru mengapa ia menyukai Lee Sua. Seorang gadis yang serba bisa tidak serta-merta membuatnya merasa seperti raja. Terkadang malah membuatnya merasa tidak pantas, tapi daripada itu, Namjoon ingin tumbuh menjadi lelaki yang lebih baik.

Meskipun terpaut sembilan tahun lebih tua, hal itu tidak menghalangi Namjoon untuk menaruh rasa pada si Kakak mentor. Seperti yang orang-orang katakan, age doesn't matter.

"Ini, aku baru ingat masih punya chocopie." Sua meletakannya begitu saja di hadapan Namjoon, lantas kembali berkutat dengan panci yang mengepulkan asap. "Untukmu, Kim. Hitung-hitung agar ada yang memberimu cokelat di hari valentine. Chocopie termasuk cokelat, kan? Hahaha, pokoknya kamu makan saja."

Bagaimana caranya menjelaskan pada Sua bahwa degup jantungnya berubah abnormal hanya karena sebungkus chocopie? Sedangkan yang di sana masih santai dengan segala kegiatannya. "Kamu harus tetap makan walau sibuk dengan ujian. Kalau kamu sakit, ujiannya tetap akan berlangsung, tahu! Sedih, kan? Sudah sakit, gagal ujian pula," katanya mengantarkan dua mangkuk sup ke meja makan, sedang namjoon masih tetap bergeming dengan chocopie di tangan.

"Kak?"

"Hm?"

Mengaduk supnya gugup, Namjoon sudah tidak peduli apa yang akan terjadi di masa depan ketika lisannya bertanya, "Will you be my valentine?"

Maka hening pun menguasai atmosfer. Membuat Namjoon semakin takut mengangkat pandangannya selain pada sup ayam dan jamur buatan Sua.

Menunggu lama, gadis di hadapannya pun beranjak meninggalkan meja makan dalam diam. Pula meninggalkan Namjoon beserta napas yang terembus pasrah. Tentu saja tidak mungkin, pikirnya.

Namun, yang terjadi sesaat kemudian seakan mencoba memompa jantungnya secara brutal guna mengirimnya ke surga via jalur express. Namjoon merasakan labium lembap menyentuh pipinya. Tidak begitu lama maupun terburu, cukup membuatnya sadar jika itu benar-benar Sua.

"Sure," ucap Sua nyaris berbisik tepat di sisi telinga. Menghantarkan getaran aneh ke seluruh tubuh—malfungsi untuk yang kesekian kalinya.

Semua terjadi begitu cepat, lebih-lebih dari yang Namjoon bisa bayangkan. Pucuk hidung yang bersinggungan, napas tertahan, tautan keduanya berlangsung lebih lama tanpa menggebu dan terburu-buru. Jantung? Baik jangan ditanya.[]



AJSJSJSKSKKSCK MON UDAH LEGAL GUYS ┻━┻︵└(՞▽՞ └)








jσuskα.Where stories live. Discover now