Oh ... Man upon the Hill

89 16 0
                                    

Kaki bukit berselimut kabut kala itu. Dengan jarak pandang yang tidak lebih dari satu depa orang dewasa, penduduk desa dipaksa menunda kerja sampai kabut menghilang. Belum lagi suhu rendah yang kian merayu setiap insan untuk kembali membalut diri dengan selimut.

Tidak, mereka tidak akan masuk bilik lagi. Suasana terlalu mencekam bahkan untuk sekadar berbincang hangat sembari menyeduh teh, tidak ketika kabut begini. Pasalnya, bisik-bisik yang beredar di desa itu membuat mereka menjadi paranoid tanpa sebab yang jelas. Beberapa pendaki dan pengumpul kayu bakar bahkan mengaku pernah melihat seseorang berdiri tepat di puncak bukit -dataran curam yang kerap menjadi tempat sempurna untuk bunuh diri- setiap kali kabut datang menyelimuti bukit.

Tiada yang mengenali orang tersebut, atau mungkin saja yang ada disana bukanlah manusia, bisa saja bayangan pohon atau bebatuan, barangkali. Tapi yang perlu diingat adalah, tidak ada pohon atau batuan manapun yang menyanyi dan menangis.

Terisak pilu di ujung pijakan, teriakkan satu nama yang sama. Tak membunuh harapan yang mulai hilang nyawa berharap raga di dasar sana masih mengembus napas. Terus memberikan tangannya untuk diraih namun tak kunjung bersambut.

"Gapai tanganku, aku akan menarikmu ke atas!" teriaknya berulang kali. Tanpa ragu, tanpa menyerah. Mungkin dia lupa tubuh wanitanya sudah terangkat, padahal guci abu yang ia curi selama ini ada dalam pelukannya.

jσuskα.Where stories live. Discover now