Aku Ingin ....

34 6 2
                                    

Kubawa kakiku berjalan lagi, jalannya masih jauh dan bahkan setengah perjalanan pun aku belum sampai. Lelah sekali, aku ingin pulang agar bisa cepat beristirahat. Lagi pun lelahku belum ada apa-apanya ketimbang lelahnya ayah, jangan cengeng.

Jangan cengeng, dia bilang.

Saat sebagian diriku berkata demikian, mataku mulai terasa berair, dadaku sesak. Dia benar, tapi itu jahat sekali. Saat pandanganku mulai buram, kutundukan kepala agar airnya menetes bebas, agar tidak ada orang yang melihat kemalanganku. Menatap aspal yang seakan bergerak membawaku pergi, saat itu, aku ingin seseorang memelukku.

Aku berhenti di persimpangan jalan besar, menunggu angkutan umum yang mulai jarang sebab tidak ada lagi remaja berseragam yang pulang sekolah di atas jam tujuh malam kecuali aku. Aku mengembus napas berat, memandang lembaran uang yang kudapat sebagai imbalan membantu pekerjaan sampingan salah seorang guruku. Menyatukannya dengan sisa uang saku yang kupunya, bukan sisa, aku sengaja tidak mempergunakannya untuk makan siang. Hal seperti itu tidak begitu penting sebab pada akhirnya pun aku akan makan malam di rumah, kalau ada.

Tidak berselang lama, ada satu mobil yang berhenti, mobil yang akan membawaku pulang. Kendaraan itu tidak begitu sepi seperti yang aku kira, ada ibu dan anaknya di kursi belakang serta seorang pemuda mengisi kursi di samping supir. Aku pun mengambil tempat duduk berseberangan dengan si ibu dan anaknya, membuka jendela lantas kembali memandang ramainya jalanan kota di malam hari.

Aku pernah mendengar, "Happiness is not something that you have to achieve. You can still feel happy during the process of achieving something." dan kurasa itu memang benar. Melihat lampu-lampu kota saat pulang sekolah seperti saat ini agaknya membuat lelahku sedikit berkurang. Hari ini memang berat, namun tidak menutup kemungkinan jika besok atau lusa hari-hari berat itu akan atang dan bertambah bebannya. Aku tidak menyiapkan apa-apa selain keyakinan akan datangnya hari yang lebih baik, beban hari ini akan lepas ketika aku memejamkan mata nanti. Aku tidak ingin terlalu memikirkannya karena hidup terus berjalan.

Hingga kakiku kembali menginjak tanah dan aku hampir sampai, aku melihat punggung tegak papa yang berdiri di seberang jalan. Semula aku kira hanya mirip, tapi tidak ada jaket yang lubang sobekannya persis seperti milik papa. Seketika papa berbalik dan menemukanku yang melambaikan tangan ke arahnya.

"Papa ngapain?" tanyaku langsung saat sampai di seberang.

Tangan papa bergerak mengusap punggungku, sedikit merasa tak enak sebab seragamku yang lepek terkena keringat. "Mau jemput kamu." katanya.

"Jalan kaki?"

"Nggak, naik angkot tadi. Tapi waktu kesana sekolahnya udah sepi. Ya, Papa pulang lagi, nungguin di sini siapa tau kamu lewat."

Jeda tercipta di antara kami, memilih menikmati jalan kaki malam antara ayah dengan sang putri. Kapan, ya terakhir seperti ini? Atau jangan-jangan belum pernah? Pantas saja rasanya asing, tenggorokanku mulai tercekat saat aku bersusah payah menahan air mata yang sudah berada di ujung. Runtuh pertahanan saat Papa kembali berkata dengan parau,

"Maafin Papa, ya."

"Nggak."  cicitku kelewat sesak. Ujung sepatuku basah oleh air mata dan aku harap papa tidak melihat putrinya menangis. Sebab tidak ada yang perlu dimaafkan ataupun disalahkan. Kalaupun ada, seharusnya aku yang meminta maaf.

Aku membiarkan papa berjalan lebih dulu selagi menghapus jejak air mata di pipi. Kembali menyusul seolah papa tidak mengatakan apapun sesaat yang lalu dan dengan mudahnya mengalihkan topik.

"Di rumah masak apa, Pa?"

"Eum, kayaknya sih belum. Ini uangnya papa bawa, tadi habis jual rongsokan yang ada di rumah." jelasnya lalu menepuk kantung jaket yang nampak sedikit tebal.

Aku merasa lega, entah karena mama masih mendapat uang atau malam ini masih bisa makan. Yang kutahu pasti, di sisiku, berjalan seorang pria hebat yang akan kusimpan kisahnya untuk kuceritakan nanti kala napasku masih cukup guna bercerita. Pria yang menghidupi keluarga di sebuah rumah abu-abu. Rumah tanpa langit-langit serta lantai pualam. Dan akan kuceritakan pula kisahku hari ini untuk hari-hari yang menungguku di depan sana.[]

jσuskα.Where stories live. Discover now