| CHAPTER 7 | KEBENCIAN

10.9K 2.5K 762
                                    

Sebelum baca, absen dulu sini.

Nama panggilan kamu siapa nih?

Sekarang kelas berapa?

Waktu baca ini jam berapa dan lagi ngapain?

Selamat membaca !!!

---000---

"Mara..." Panggil seseorang dengan suara beratnya.

Maratungga dan Malbi seketika menolah. Seorang pria dengan setelan jas hitam dan kacamata hitam di pangkal hidungnya berdiri di pintu. Raut wajah pria itu terlihat sangat khawatir. Suasana yang semula renyah dengan tawa, mendadak hening.

Pria itu adalah Tigu. Ayah kandung Maratungga. Tigu melangkah mendekati Maratungga. Maratungga mengalihkan pandangannya, tidak ingin melihat wajah pria itu sama sekali.

"Mara-"

"Pergi," ucap Maratungga dingin tanpa memandang pria itu.

"Maafin ayah, ayah baru sempat datang."

"Ayah saya sudah mati."

Malbi yang masih ada di ruangan itu hanya diam. Setelah diusir oleh Maratungga, alih-alih pergi, Tigu justru melangkah semakin mendekat.

"SAYA BILANG PERGI!" Sentak Maratungga. Terlampau emosi. Ia sudah muak dengan sang ayah.

Malbi seketika bangkit dari posisi duduknya. Ia memegang lengan Tigu.

"Sebaiknya Om pergi dari sini." Ucap Malbi dingin ketika menyadari reaksi Maratungga yang belum siap untuk bertemu dengan sang ayah.

Malbi menyeret pria itu untuk keluar dari ruangan. Namun Tigu menahan tarikan tangan Malbi.

"Biarkan saya bicara sama anak saya. Kamu jangan ikut campur," jawab Tigu ketus.

Mata Maratungga memerah, telapak tangannya mengepal erat. Pandangannya masih pada arah lain, enggan menatap pria di hadapannya. Suasana di ruangan semakin dingin. Malbi akhirnya memilih untuk bungkam. Ia menghela napas panjang. Sepertinya ia harus memberi ruang untuk ayah dan anak itu berbicara, meskipun ia tak yakin bahwa semuanya akan kembali baik-baik saja.

"Gue keluar, mau nyari celurit buat lo. Siapa tau lo mau menggal kepala ayah lo," ucap Malbi sarkasme. Ia pun melangkah keluar. Menyisakan Tigu dan Maratungga yang masih saling bersitegang.

Sruuuk

Malbi menggeser pintu ruang rawat. Ia menatap Maratungga sekilas sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan ruangan tersebut. Ia duduk di depan ruangan rawat Maratungga sekaligus untuk berjaga-jaga apabila cara mediasi yang coba ia lakukan pada ayah dan anak itu tidak berjalan dengan lancar.

Biarpun ucapan dan tingkah laku Malbi terkesan nyleneh, akan tetapi ia bisa menjadi seseorang yang dewasa dan serius dalam keadaan tertentu, contohnya seperti sekarang.

"Maafin Ayah, Mara." Tigu melangkah semakin mendekati Maratungga.

"Maaf dari Anda tidak akan bisa mengembalikan adik saya," sahut Maratungga parau. Matanya memerah menahan tangis. Menyebut kata 'adik' membuat hatinya bergetar.

"Mara, ayah mohon, berhenti berbicara formal sama ayah." Tigu merasa sesak ketika putra tunggalnya, jagoannya, menolaknya seperti ini. "Bilang sama ayah, ayah harus gimana supaya kamu bisa maafin ayah?"

Tigu yang selalu angkuh dan keras kepala bisa berubah menjadi laki-laki yang terlihat lemah jika dihadapan putra tunggalnya. Apalagi saat ini Maratungga adalah satu-satunya keluarga yang masih ia miliki.

Pesan Terakhir Cakra ; Coretan MaratunggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang