Bab 3

70 10 0
                                    

“Bagian marketing Penerbit Buana Universal?” tanyaku dengan intonasi ringan ala seorang telemarketing.
Penerbit Buana Universal adalah penerbit yang digunakan Em untuk semua novelnya, jadi kemungkinan besar dia adalah penulis tetap di sana.

“Perkenalkan, Mbak, saya Agus dari jaringan televisi berbayar. Kami bermaksud mengundang penulis buku Kompilasi Lagu Semusim untuk menjajaki kemungkinan novelnya di angkat ke layar kaca.” Setelah sembilan kali berbohong, demi bisa menembus lapisan departemen dalam kantor penerbit itu, kalimatku meluncur dengan mulus.

“Oh, begitu …. Hari apa biasanya dia datang? I see.” Rasa kecewa menghinggapi saat tahu Em tidak selalu di kantor. Tentu saja aku tahu, penulis tidak berkantor dari pukul sembilan pagi sampai lima sore seperti layaknya orang kantoran.

Aku hanya berharap, seseorang di bagian marketing tahu kontak si penulis dan dengan ceroboh membaginya denganku. “Kalau begitu, boleh saya minta kontaknya untuk mengobrol langsung?”

Kuketuk-ketukkan pulpen ke atas meja berpelitur, menghitung detik-detik kepergian bagian marketing penerbit yang memintaku menunggu sebentar.

Sesaat kemudian, jingle penerbitan yang menjengkelkan itu tiba-tiba berhenti ketika orang di seberang sambungan kembali. Perempuan itu memberi tahu jika permintaanku tidak bisa dikabulkan terkait peraturan perusahaan.

“Enggak, enggak ada pesan apa-apa. Oke, baik. Terima kasih, Mbak.” Bunyi klik di seberang membuatku mengembuskan napas panjang. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya menghubungi Emilia.
Kana dan Kemala sudah menjelajah sosial media, dari instagram, facebook, tweeter, youtube, sampai Linkedin—sosial media untuk profesional. Semua akun atas nama Emilia seolah dibuat oleh pihak penerbit sebagai sarana promosi, karena direct message yang dikirim mereka hanya mendapat balasan formal.

Pencarian di internet mengenai perempuan itu pun sangat sedikit. Beberapa foto dan artikel kebanyakan berasal dari website penerbit. Berita terbaru Emilia adalah foto dirinya menyerahkan Novel Kompilasi Lagu Semusim kepada sebuah rumah produksi. Dalam artikel itu tertulis jika novel tersebut adalah novel terakhirnya.
Keningku berkerut dengan rasa khawatir, aku harus menemukannya secepat mungkin. Tulisan adalah dunianya, begitulah yang Em katakan padaku. Jika tidak lagi menulis, bagaimana dia akan hidup?

Ketukan di pintu membuyarkan pikiranku. Seorang lelaki berpenampilan necis dan klimis melenggang masuk dengan santai, dalam genggamannya terselip sebuah buku. “Sudah baca e-mail dari HQ* belum, Bas?” tanya Toni.

“Belum sempat.” Aku menggusap dahi dengan telapak tangan, mencoba mengusir penat. Ketika lelaki itu tidak bersuara, aku menengadah dan melihatnya sedang memicingkan mata menatapku. “What?”

Are you alright? Ngapain saja sama Lia kemarin, sampai-sampai capek gitu.” Seringai mesumnya membuatku jijik.
“Jangan ngomong sembarangan, Ton. Lia itu anak sahabat papaku, aku enggak mungkin macam-macam.”

Dengan santai, lelaki itu mendudukkan diri di kursi tamu di seberang meja sambil berkata, “Anak jaman sekarang, Bas, enggak ada lagi namanya perawan.”

“Bangs—”

Buru-buru, dia mengangkat kedua telapaknya sebagai tanda berdamai. “Hei, jangan tersinggung, ini kenyataan.”
Kenyataan atau bukan, kalimat itu tidak pantas keluar dari seorang direktur personalia. Aku benar-benar tidak suka caranya merendahkan dan menyinggung martabat perempuan. Jika ada orang yang mengatakan hal itu kepada Kana dan Kemala, kupastikan lelaki itu pergi ke rumah sakit untuk membereskan hidungnya.

Hal lain yang mengganggu adalah kalimatnya terdengar seperti sedang mengatai jika aku seorang predator perempuan. Beruntung strata profesinya di Grandeur setara denganku, jika tidak, sekarang juga aku akan mengeluarkan SP* tiga tanpa perlu repot-repot menuliskan cek pesangonnya.

Elegi Masa LaluWhere stories live. Discover now