Bab 8

47 12 0
                                    

Benci saja aku!

Karena kalimat itu, aku sulit tidur tiga hari ini. Hati dan pikiranku kacau. Memori tentang Em dan masalah pekerjaan, seperti kue lapis yang tumpang tindih, memancing emosiku naik hingga ke ubun-ubun dan siap meledak kapan saja.

Dan, sekarang adalah saat yang tepat.

“Lisman, sudah berapa kali saya bilang bikin legend yang jelas! Lihat ini—” Kugerakkan pointer merah ke beberapa tempat di layar proyektor, “banyak simbol di gambar yang enggak ada keterangannya. Level tanah dan bangunan juga enggak ditulis. Gambar itu harus bisa dibaca semua orang, bukan cuma kamu sama Tuhan yang boleh tahu! Saya tahu kamu baru di sini, jadi kerja yang teliti.”

Meeting hari ini lebih mencekam karena kritik pedasku. Namun, tidak ada asap tanpa api. Mungkin memang suasana hatiku sedang jelek, tapi aku tidak akan marah-marah seperti ini jika tidak ada kesalahan sepele yang sifatnya fatal.

“Baik, Pak. Iya, Pak, segera saya perbaiki. Sore nanti saya e-mail ke Bapak.”

“Dan Bunga,” Kualihkan pandangan pada seorang perempuan di ujung berlawanan dari Lisman, “Kamu sudah koordinasi sama interior desainer yang ditunjuk owner kemarin belum? Mana hasilnya?”

“Be-belum, Pak. Aku lupa save nomornya kemarin.”

“Ya, ampun! Sudah satu minggu baru tahu nomornya lupa di save? Kamu baru ingat sekarang, ‘kan? Kamu pikir saya sekretaris kamu, hah? Kerjakan hari ini juga dan kirim laporannya segera!” Perempuan itu mengangguk cepat.

Michael Kors yang melingkar di pergelangan menunjukkan puku 12.57. Aku mendengkus, dua jam meeting hanya untuk membahas proyek skala kecil dan kesalahan-kesalahan yang diulang.

“Kalau enggak ada hal lain yang mau dibicarakan, meeting hari ini kita tutup,” ujarku sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rona wajah yang ditunjukkan staf dan kepala arsitek yang hadir sungguh tidak mengenakkan. “Oke, kita tutup.”

Orang-orang itu berbondong-bondong keluar, digantikan oleh Toni yang masuk ke ruangan. Lelaki necis dalam setelan biru tua itu menutup pintu sebelum bicara. “Suara kamu kedengaran sampai kantorku, tahu enggak? Dan, melihat muka staf yang barusan keluar, aku jadi yakin kamu kesetanan.”

“Gimana enggak kesetanan? Pekerjaan detil yang seharusnya enggak perlu diingatkan lagi, enggak dikerjakan. Ini dunia kerja, Ton, bukan lagi tempat kuliah.”

“Tapi, enggak begitu juga bicara sama bawahan. Kalau kamu sempat lihat, warna muka mereka bukan lagi merah, tapi ungu, Bas,” nasihatnya. Dia berjalan mendekat lalu mendudukkan diri sebelahku. Sambil menyilangkan kaki, lelaki itu bertanya, Seriously, are you okay?”

Bukan hanya para staf yang merasa tidak nyaman, suasana hatiku juga merusak makan malam dengan Lia dua hari lalu. Sebenarnya hanya masalah sepele, aku larut dalam pikiran mengenai Em dan tidak merespons ceritanya beberapa kali.
Sampai pagi tadi, Lia masih marah. Aku tidak menyalahkannya tapi juga enggan minta maaf atas kelakuanku.

Kuembuskan napas panjang, kemudian menatap lelaki yang sedari tadi menunggu jawaban. Toni mungkin bukan teman bicara yang tepat tapi aku tidak punya tempat lain untuk menyalurkan kegusaran.

“Aku merasa … ambyar, seperti pecah berkeping-keping dan enggak tahu gimana caranya kembali utuh, Ton.”

“Kenapa begitu?” tanya Toni dengan raut muka setenang air telaga.

Tatapanku beralih ke ruang kosong di depan sambil mencari pangkal cerita. “Dulu, kupikir Em pergi karena ada yang harus dilakukan di Jakarta. Waktu itu, aku yakin banget dia akan kembali. Setelah menunggu lama, akhirnya aku sadar dia benar-benar pergi.

Elegi Masa LaluWhere stories live. Discover now