Bab 10

54 10 0
                                    

Special breakfast!” seru Lia ketika aku baru keluar dari kamar dan siap berangkat kerja. Wajahnya berseri-seri saat menyodorkan sebuah piring ke arahku.

“Baru aku pikir enggak ada sarapan. Apaan itu?” tanyaku dengan kening berkerut mengamati sesuatu seperti daging ayam suwir menutupi permukaan makanan hingga hampir tidak terlihat apa pun yang ada di bawahnya.

“Ini rujak juhi, Mas, makanan khas Betawi. Cobain, deh!”

“Rujak?” Sedikit rasa panik merayap di sepanjang tulang punggung.

Rujak adalah campuran makanan yang disiram dengan kuah kacang, ‘kan? tanyaku dalam hati. Benar saja. Ketika Lia mengacak isi piring, kuah kacang yang encer segera teraduk ke atas, tiba-tiba aku merasa serangan rasa panik.

“Aaa—“ kata Lia sembari mengangkat sendok yang penuh untuk menyuapiku.

“Ugh! Sori, Li, aku enggak suka rujak. Aku pergi dulu!”

“Mas!” serunya sambil mencengkeram lengan kemeja untuk menghentikanku dari rencana melarikan diri, “aku udah ngabisin waktu lama bikin resep ini. Dari bungkusin lontong, sangrai kacang buat bumbu, sampai ngebakar juhi dan suwir-suwir jadi rambut nenek gini. Please-lah, cobain sedikit saja.”

“Kalau gitu, kamu habisin saja sendiri. Aku enggak nafsu.”

Please—”

Ekspresi memohon Lia buatku sempat melunak, tapi begitu melirik makanan dalam piring di tangannya, aku kembali berubah pikiran. “Enggak, pokoknya enggak! Anything yang pake kuah kacang is no way!

Diguncangkan tangannya yang masih mencengkeram lengan kemejaku. “Kenapa sih sama kuah kacang? Mas alergi atau enggak suka?”

“Pokoknya enggak suka. Jadi, jangan paksa aku!”

Aku tidak memiliki G6PD Deficiency atau alergi terhadap kacang, tapi kuah kacang membangkitkan kenangan buruk.

Masih jelas dalam ingatan, kondisi ibu yang buruk lepas melahirkan adik kembarku. Untuk meringankan beban orang tua, aku yang saat itu berusia delapan tahun diminta membantu nenek merawat dan mengurus adik-adikku, termasuk menggantikan popok mereka.

Aku tidak mengeluh, tapi sejak saat itu aku tidak pernah menyentuh menu apa pun yang disiram dengan kuah kacang, karena itu mengingatkan aku pada kotoran bayi. Mual sih tidak, tapi lebih ke rasa jijik saat melihat warna dan tekstur yang mirip disiram di atas makanan.

“Lepasin dong. Aku mau berangkat ke kantor, Li.”

“Gimana dong? Aku sudah masak banyak gini siapa yang makan?” rajuknya. Sesaat kemudian ekspresi wajah Lia berubah. “Aku bungkusin dua, ya. Untuk Mas yang enggak pake kuah kacang, satu lagi untuk Pak Toni. Tunggu sebentar!” Sebelum aku bisa menahannya, perempuan itu sudah berlari ke arah dapur.

Aku memutar bola mata, lalu mengembaskan bokong ke atas kursi dengan lega. Aku mungkin tidak akan memakan campuran juhi suwir dengan sayur, lontong, mi kuning, dan entah apa lagi yang ada dalam campuran rujak juhi, tapi paling tidak hanya itu yang bisa kulakukan untuk menyenangkan hatinya.

Setengah jam kemudian, aku tiba di kantor. Suryani yang tidak berada di tempatnya membuatku mengernyit dan melirik jam tangan. Pukul 09.03, ke mana dia?

Ramai suara dari dalam ruangan membuatku mengernyit dan segera melangkah masuk. Percakapan seketika berhenti. Selain dua orang editor, Toni dan Suryani juga ada di dalam. Di tangan masing-masing terdapat piring seolah mereka sedang berpesta saat aku tidak ada.

“Pagi, Bas,” sapa Toni duluan. “Aries bawain rujak buah Kolam Medan, nih. Cobain sini, enak banget!”

Ya, Tuhan … setelah dijejali rujak di rumah, di kantor juga. Aku jadi curiga apakah mereka semua bersekongkol?

Elegi Masa LaluWhere stories live. Discover now