Bab 13

126 15 4
                                    

Kutatap daun pintu yang baru saja menutup setelah kepergian Em dan Aries. Bukan hari yang baik, pikirku. Selain karena di luar hujan begitu deras, dengan gemuruh dan petir saling bersambut, Em juga menolak saat aku menawarkan diri mengantarnya pulang. Dia lebih memilih pulang dengan Aries.

Padahal, demi dia, aku rela meluangkan waktu hari ini khusus untuk menghadiri meeting perihal terminologi yang ternyata sungguh membosankan dan membuat frustrasi. Jujur, aku lebih suka diskusi berat mengenai eksekusi sebuah proyek yang rumit ketimbang mengutak-atik satu huruf hanya agar kalimatnya mudah dipahami.

Namun, apa boleh buat? Proyek ini adalah proyek prioritas dari HQ terkait perayaan 100th Grandeur Architect berdiri, jadi setiap orang dalam perusahaan harus berpartisipasi.

Dibantu bercangkir-cangkir kopi, atau mungkin juga karena posisi Em yang duduk persis di sebelahku, memungkinkan aku melewati hari ini. Namun, ada hal yang menggangguku di jam-jam terakhir meeting.

Em terlihat lebih gelisah. Jika hanya hujan angin yang menampar-nampar jendela membuatnya seperti itu tentu tidak apa-apa, tapi masalahnya perempuan itu tidak bisa melepaskan pandangannya dari telepon genggam.

Sebentar-sebentar, perhatiannya tertarik ke layar Amoled yang menyala dan segera membalas. Aku bertanya-tanya, siapa yang menghubunginya begitu intens. Rasanya, tidak mungkin pesan singkat itu dari Jhon. Seingatku, selama enam bulan di Gunung Gambar lelaki itu jarang sekali menelepon atau sekadar mengirimkan pesan singkat pada jam-jam kerja.

Kutarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Dari laci terbawah kukeluarkan sebuah payung berwarna merah yang masih rapi dalam bungkusnya. Lagi-lagi, aku lupa memberikan benda ini padanya, padahal sudah kusimpan cukup lama. Menatap kembali payung merah dalam genggaman, aku merasa bimbang apakah Em masih membutuhkannya mengingat dia selalu bersama Aries.

Terlepas apakah perempuan itu butuh atau tidak, yang jelas hari ini aku membutuhkan benda itu. Lia membawa pergi mobilku jadi mau tidak mau aku harus mengambil taksi di lobi. Mengingat hujan masih deras, kutinggalkan laptop di kantor dan memasukkan payung lipat itu ke dalam tas untuk digunakan nanti. Sebentar kemudian, aku sudah berada dalam lift yang menuju ke lantai dasar.

Pandanganku menangkap sosok Emilia di antara kerumunan orang yang menanti hujan reda di lobi. Rasanya tidak mungkin dia masih di sini, mengingat dia tampak terburu-buru tadi. Namun, penampilan sekilas perempuan itu—rambut bondol, kaca mata tanpa bingkai, syal berwarna pelangi yang tersampir di leher—buatku yakin itu Em.

Dengan cepat, kulangkahkan kaki membelah kerumunan untuk menjangkaunya. “Em, masih di—” Kalimatku tercekat di tenggorokan ketika perempuan itu berbalik. Segera aku menyingkirkan tangan dari bahunya. “Eh, maaf … salah orang.”

“Sori, sori,” ujarku sekali lagi.

Dari belakang penampilannya serupa benar dengan Em, tapi begitu membalikkan badan, mataku silau dengan kawat gigi warna-warninya. Rasa malu membuatku segera undur diri dengan cepat. Gerakanku memancing keluhan dan umpatan beberapa orang yang tidak sengaja tersenggol.

“Aduh! Hati-hati, dong!” tegur seorang perempuan dari belakang membuatku segera membalikkan badan.

“Em! Ya, Tuhan!” Kutangkap lengan perempuan itu dan mengguncangnya dengan antusias. Aku tidak peduli jika dia senang atau malu, rona merah yang timbul di kedua pipinya membuat seringaiku bertambah lebar. “Kenapa masih di sini?”

“A-aku ….” Em terlihat berpikir sejenak sebelum mengemukakan jawabannya. “Aku mutusin pulang sendiri.”

Kulepaskan dia dan berkacak pinggang. Jelas sudah alasan itu dibuatnya untuk mengelabui sesuatu. “Jangan bohong sama aku, Em. Aries kenapa?”

Belum lagi dia menjawab, kilat yang melintas membuat orang-orang disekitar menahan napas, banyak juga yang menggumamkan keterkejutan. Berada di tengah kerumunan orang bukanlah ide yang bagus untuk bercakap-cakap dengan Em.

“Ikut aku,” ajakku. Tanpa meminta izin, aku langsung mengamit tangannya. Sepanjang jalan, sesekali Em mencoba menarik diri dari genggamanku. Tentu saja tidak berhasil.

Tadinya, aku berniat melepaskan setelah berada di tempat yang lebih pantas untuk bicara, tapi setelah jauh dari kerumunan, aku mengurungkan niat. “Tangan kamu beku gini. Kedinginan atau lapar? Kita makan dulu sebelum pulang, gimana?”

Dia menggeleng. Baru saja aku membuka mulut untuk mendebatnya, tapi notifikasi pada telepon genggam mengalihkan perhatian perempuan itu. Sebentar kemudian, dia berkata, “Aku harus pulang.”

“Kalau begitu, aku antar,” ujarku spontan. Lagi-lagi, dia menggeleng. Kutarik napas panjang sebelum berkata, “Em, sudah lewat jam kantor. Kita teman, ‘kan?”

Emilia menarik tangannya lagi, kali ini aku membebaskannya. “Kalau kamu tahu alamatku, artinya setelah kontrak selesai kapan pun kamu bisa mencariku.”

Jawabannya membuatku mengernyit. “Kamu takut Jhon tahu tentang kita?”

“Ini bukan soal Jhon, jadi jangan bawa-bawa dia lagi ke dalam percakapan kita.”

Kami saling bertatapan. Sementara aku berusaha mengerti apa yang terjadi, manik hitamnya yang menyorot mencerminkan keras kepala. Aku sadar, jika terus memaksanya bicara, Em akan menarik diri.

Oleh karena itu, kukatakan padanya, “Enggak masalah. Jadi, kenapa kamu belum pulang?”

Bibir mungilnya mengerucut dengan sebal. “Karena kamu.”

Aku mengerjap beberapa kali. Haruskah aku merasa besar kepala ketika dia mengatakan jika alasannya belum pulang karena aku?

“Aries tadi minta aku jaga jarak sama kamu—”

Menarik. Aku rasa, tipe Aries tidak akan ‘meminta’, tapi lebih tepat ‘memaksa’. “Lalu?”

“Aku tolak.”

Tidak dapat kusembunyikan rasa hati yang gembira mendengar jawaban Emilia, meskipun tahu jawaban perempuan itu lebih karena sifatnya yang keras kepala. Em tidak suka ditekan, apalagi diatur-atur tanpa alasan jelas. Semakin keras perintah, semakin keras pula dia melawan.
“Jangan Ge-eR—”

“Aku tahu, enggak perlu kamu jelasin alasannya,” potongku. Bagaimana pun, aku merasa tersanjung. Paling tidak, jawaban Em memberi isyarat jika dia berada di pihakku. “Jadi, habis itu Aries tinggalin kamu di lobi dan sekarang kamu enggak bisa pulang karena hujan. Memangnya enggak bawa payung?” Perempuan itu tidak perlu menjawab, ekspresinya yang melembut dengan kepasrahan mengatakan semuanya.

Aku berdecak. “Enggak berubah. Sebenarnya, kamu bisa pesan taksi biru di resepsionis atau naik taksi online. Mau aku pesankan—”

“Jangan!” Sejenak, dia menahanku agar tidak beranjak. “Rumahku agak jauh.”
Aku membelalak. “Kamu ke sini naik angkot?”

“Busway.”

Jawabannya membuatku terkesima. Bersuamikan Jhon yang mapan, kupikir sepantasnya dia memiliki supir yang bisa dipanggil sewaktu-waktu, atau paling tidak membawa kendaraan pribadi. Sungguh aku tidak mengerti dengan kondisi rumah tangga mereka.

Kutarik napas dalam-dalam dan mengusap dagu dengan tidak sabar. “Oke. Suryani punya voucher taksi, nanti aku mintakan buat kamu.”

“Jangan, aku enggak—”

Kuangkat telapak tangan untuk menghentikan penolakan Em. “Rumah kamu jauh ‘kan? Jangan membantah, ambil saja. Sebelum lupa, aku mau kasih ini.” Sebuah payung berwarna merah kusodorkan padanya. “Aku beli ini buat kamu. Merah, biar kamu ingat harus dibawa terus—hujan atau enggak.”

Seulas senyum terlukis di bibirnya sebelum berkata, “Terima kasih, Bas.”

“Jangan dipikirkan.”

“Aku sebaiknya pulang sekarang,” ujarnya canggung.

Aku menganggukkan kepala dan tersenyum. “Hati-hati di jalan.”

Em membalikkan badan dan melangkah cepat ke luar gedung. Pada hitungan ke lima, aku segera menyusulnya. Kuputuskan untuk mengikuti perempuan itu sampai ke rumah. Selain daripada kepentingan pribadi, aku melakukan ini untuk menjaga keselamatannya.

Dengan payung berwarna merah, tentunya tidak sulit untuk menemukan dia di antara kumpulan manusia di jalan.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Apr 18, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Elegi Masa LaluWhere stories live. Discover now