Berbeda [1]

816 66 4
                                    

Hari itu, walau langit cerah nan teduh sama sekali tak membuat hati gusar Renjun membaik. Matanya menatap tak fokus pada laptop menyala dihadapannya. Bibirnya terkatup sesekali ia basahi. Sungguh, perasaan seperti ini sangat mengganggu.

Renjun berusaha mengingat-ngingat barangkali ada barang yang tertinggal sepulang dari kampus tadi, atau ia lupa mengerjakan sesuatu. Sholat dzuhur sudah, bahkan ia sempat mengaji tadi. Lalu apa?

"Duh, kenapa sih?"

Renjun akhirnya menyerah, menutup laptop dan beranjak keluar kamar lalu menemui ibu yang duduk santai di kursi.

"Gak kemana-mana? tumben siang gini ada di rumah." basa-basi ibu.

Renjun menggeleng, ia dudukkan bokongnya pada space kosong tepat di sisi ibu. "Aku dari tadi gusar banget kenapa ya? sampe gak fokus baca materi." adu Renjun.

Mata ibu teralih dari televisi, ditatap wajah sendu sang anak. "Udah sholat?"

Renjun mengangguk.

"Ada yang ketinggalan kali di kampus, atau kamu lupa ngerjain sesuatu."

"Enggak bu, gak ada."

"Kamu punya utang?"

"Enggak!" jawab Renjun cepat. Sumpah Renjun mana berani ngutang.

"Ya apaan dong, ibu jadi ikut bingung."

"Ck." Renjun berdecak. Bertanya pada ibu-ibu memang sama sekali tidak membantu jika soal beginian.

"Aku tidur aja deh bentar, kalo kebablasan tolong bangunin ya bu."

..

Renjun tengah bercerita pada temannya pasal mimpi yang sudah tiga malam berturut-turut menyambangi tidur. Hari ini, tepat seminggu saat terakhir kali Renjun gusar tanpa sebab. Tidur siang itu berhasil menyembuhkan, namun empat hari berselang, Renjun malah menghadapi mimpi aneh terus-menerus.

"Gitu, bro." tutup Renjun diakhir cerita.

Jaemin, sebagai pendengar mengusap dagunya. "Bener kali kata ibumu, kamu ada utang."

"Ck! yang bener aja! sama siapa coba?" sanggah Renjun.

"Ya siapa tahu." balas Jaemin. "Haechan atau Chenle." ya walau ia sendiri merasa sangsi, helow, ini Renjun. Sebuah kejadian hampir mustahil seorang Renjun berhutang.

"Enggak." tegas Renjun. "Lagian gak nyambung kali."

"Otakku buntu soal ginian Ren, kalo kita makan dulu gimana?"

Renjun berdecih, namun sedetik kemudian membereskan peralatannya yang bercecer di lantai rumah Jaemin. Membuat laki-laki pemilik rumah bersorak. Ia dengan sabar menunggu sang teman selesai baru setelah itu ia bangkit, menyodorkan tangan dihadapan Renjun yang langsung disambut Renjun sebagai bantuan untuk ia bangkit dari duduk.

"Soto yuk." ajak Jaemin.

Renjun menggeleng. "Pengen gado-gado."

"Mana kenyang."

"Pake nasi biar kenyang."

Jaemin tertawa. "Mana ada gado-gado di nasiin."

"Katanya tadi mana kenyang?" Renjun ikut tertawa. Keduanya berjalan beriringan tanpa sadar masih dengan tangan bertaut, lebih tepatnya Jaemin yang melingkarkan tangannya lembut pada pergelangan Renjun.

..

Diantara Jaemin dan Renjun, keduanya kenal saat masuk sekolah menengah atas, sampai sekarang, walau dari dulu berbeda kelas tiap tahunnya, Renjun dan Jaemin seakan punya magnet untuk saling tarik menarik. Ada saja hal yang membuat mereka bertemu. Sekarang juga sama. Walau satu kampus namun Jaemin dan Renjun berada di jurusan yang gedungnya saja lumayan jauh.

Mereka sering menyisakan waktu untuk sekedar bertemu dan mengobrol ringan, entah di akhir pekan atau hari-hari biasa. Walau mereka berbeda, dalam bentuk sifat sampai kepercayaan, tapi itu bukan sebuah penghalang untuk berteman. Keluarga Renjun maupun Jaemin sudah saling mengenal satu sama lain.

..

Renjun membuang rangkulan, tidak, pelukan tangan Jaemin di pinggangnya. Ia menatap lelah laki-laki itu yang dengan seenak hati menganggu acara makannya.

"Gak usah rese, please."

Jaemin tertawa kecil sebab puas membuat Renjun kesal. Ia dengan santai menggeser duduk lalu bangkit. Begitu saja. Tujuannya hanya ingin melihat wajah kesal Renjun dengan hasil dari perbuatannya.

Haechan yang menatap Jaemin berlari menjauh berdecih. "Kalian kaya orang pacaran." celetuknya.

"Hus!" sanggah Renjun cepat. "Jangan asal kalo ngomong di tempat umum."

"Serius, gue ngomong sesuai keadaan. Coba lo tanya anak-anak lain, atau orang yang lewat aja pasti ngira sama kaya yang gue bilang."

"Kalian temenan dari lama, cara kalian ngomong aja udah beda, interaksi apalagi. Antara lo dan Jaemin juga setahu gue udah lama gak pernah punya pasangan lagi. Kalian juga sering alasan satu sama lain buat absen dari acara. Nemenin Jaemin lah, nganter Jaemin lah, belajar bareng lah. Hell, jurusan aja beda, belajar apaan coba, Ren."

Renjun terdiam mencoba menerima perkataan Haechan. Ingin menyanggah pun rasanya percuma, ini Haechan. Yang ada Renjun bakal dijejali dengan kalimat-kalimat lain sampai terdiam sendiri.

"Lo ..." Haechan menggantung ucapannya. Ia menyondongkan tubuh agak sedikit mendekat pada Renjun. "Jawab jujur, lo gak gay, kan? kalian gak beneran punya perasaan lebih kan?"

Boom

Semakin terdiam semakin pusing pula kepala Renjun.

Yang benar saja!?

..

Ternyata, perkataan Haechan hari itu sampai membuat Renjun kelimpungan. Yang tadinya ia acuh saat berada di sekitar Jaemin, kini ia sering gugup atau canggung. Renjun juga merasa mudah berdebar bila mendapat sentuhan, sekedar merangkul saja. Atau memang dari dulu begitu tapi Renjun yang tak menyadari?

Hari ini karena ada Jaemin di depannya, Renjun berniat melepas beban.

"Aku pengen ngomong serius." ucap Renjun.

Jaemin mengalihkan fokus dari ponsel ke eksiatensi Renjun dalam ruangan ini.

"Kamu .. kenapa suka peluk-peluk aku?"

"Hah?"

"Kamu juga suka ngasih afeksi yang nggak selayaknya seorang teman kasih, apalagi kita sama-sama laki-laki, Jaemin.

Aku baru nyadar setelah Haechan ngomong, aku sering degdegan kalo dideket kamu. Respon aku nerima semua afeksi kamu juga kaya gak keberatan sama sekali. Jaemin, jawab jujur, kamu gak cuma nganggap aku temen kan?"

Baru kali ini!!

Baru kali ini Jaemin melihat raut wajah Renjun yang seperti itu, serius, resah, dan putus asa. Dan kali ini, akhirnya. Renjun sadar dengan semua usaha Jaemin dua tahun terakhir.

Dengan lembut ia tersenyum, mengusap punggung tangan Renjun. "Akhirnya kamu sadar. Renjun, maaf sebelumnya. Bukan cuma kamu yang degdegan, bukan cuma kamu yang merasa. Jauh sebelum kamu aku udah kaya gitu duluan. Maaf aku sayang sama kamu bukan dalam artian temen."

Respon Renjun, diam. Tapi letupan yang tiba-tiba hinggap di dadanya, juga sapuan bulu imajiner yang menyapa perutnya membuat ia memeluk tubuh Jaemin terlebih dahulu.

"Jangan minta maaf, jangan merasa bersalah." gumam Renjun. Dibalas kecupan kecil pada sisi pipinya dari Jaemin yang membuat Renjun melepas cepat pelukannya. Memalingkan wajah merah yang terasa panas dari pandangan Jaemin.

"Gemes banget mukanya merah."

"GAK USAH RIBUT!" sentak Renjun.

..

Sabar, masih ada lanjutannya nanti ya. Nikmati perlahan ... biar endingnya gak sesek nanti hehe.

Flower Season 2 Where stories live. Discover now