A Different Side

591 57 4
                                    

Renjun tahu persis mengapa ia tetap teguh dalam keinginannya. Bahkan tak goyah karena godaan dan ucapan orang-orang terdekatnya. Yang Renjun mengerti hanya ia tak ingin, menurutnya hal tersebut adalah hal yang tak perlu otak dan hatinya pikirkan. Sebab ia tak ingin, atau belum ingin? entah.

Kembali menjadi bahasan obrolan siang ini oleh keluarga besarnya, Renjun lagi-lagi hanya diam menyimak, tersenyum saat disinggung, dan mengangguk saat dimintai persetujuan.

"Sepupumu tuh, anaknya udah mau masuk SD."

Iya, menikah.

Renjun yang kata orang sekitarnya sudah lebih dari cukup untuk segera membangun rumah tangga. Namun baginya, menikah dan punya anak bukan suatu keharusan, setidaknya baginya. Renjun cukup bahagia tanpa merasa kekurangan di umurnya yang menginjak angka tiga puluh dua tahun. Dengan jabatannya sebagai Direktur di perusahaan produsen makanan dan minuman, Renjun tentu sudah terbilang cukup dalam hidupnya. Ia juga sesekali menjual hasil tangannya yang berbakat dalam melukis dalam bentuk digital maupun fisik.

Kurang apalagi?

Bahkan kata sepupunya, wajah tampan Renjun bisa menipu mata orang. Biarkan orang lain menerka umur Renjun, kebanyakan menyebut angka dua satu sampai dua empat, tidak ada yang lebih dari itu.

Hanya saja permasalahnnya ada di Renjun, laki-laki itu berkata belum mau menikah atau mempunyai pasangan. Kedua orangtuanya saja sampai bingung, mereka ingin merasakan menimang cucu sebelum meninggal, padahal adik Renjun, Shuhua sudah memberikan mereka dua cucu perempuan kembar. Orangtua Renjun saja yang lebay.

"Anak Hua juga udah pada belajar jalan. Masa ketinggalan jauh sama adikmu sendiri sih?"

"Gak apa-apa Tan, biarin anak Hua sampe lulus sekolah dulu." balas Renjun lalu melahap kue keju di tangannya lalu bangkit dan berlalu menjauh dari kumpulan orang-orang itu.

"Anakmu Wen! masa kaya gitu ngomongnya."

"Ya Tuhan, Mi! udah kali. Mami yang gak sopan bahas itu mulu ke koh Renjun."

"Stt! diem kamu, anak kecil gak usah sok tahu!"

"Maafin Renjun ya, dia kelilit kerjaan makanya rada badmood."

"Bodo amat." gumam Renjun dalam hati. Ia menepuk kedua tangan kotornya pada celana jeans selutut yang ia kenakan. Berjalan mengikuti lorong pendek penghubung ruang tengah dengan dapur yang luas. Rumah peninggalan neneknya memang kelewat besar, pas untuk keluarga besarnya yang banyak.

"Tahu gini mending tidur aja tadi di rumah." gumam Renjun.

Bokongnya ia daratkan pada salah satu kursi meja makan, lagi-lagi di meja ada beberapa kudapan dan minuman. Kenapa lagi-lagi? karena sudah empat meja yang ia jumpai di rumah ini penuh dengan kudapan di atasnya.
Dan karena isinya tak jauh dari kue kering, cake, dan olahan manis lainnya, Renjun jadi mual. Padahal perutnya belum diisi sejak sarapan lontong sayur tadi pagi. Sedetik makanan bernama seblak terlintas dalam otaknya, ia memutuskan untuk keluar dengan alasan mencari makan siang, sekalian menghindari obrolan dari penghuni rumah ini.

..

Di sisi yang berbeda, menurut pengertian hati Renjun nyatanya alibi tak ingin hanya sebuah alasan pembantu yang ia lontarkan pada orang-orang. Lalu mengapa? jelas karena jika Renjun sampai mengatakan yang sebenarnya, ia yakin bayangan dan ilustrasi yang ada dalam kepalanya akan terjadi. Ditentang, diceramahi, atau mungkin diusir dari Kartu Keluarga, mungkin saja?

Sebab alasan sebenarnya Renjun tak menyusul sang adik Shuhua adalah seseorang dengan pakaian modis ala selebriti tengah kota dengan senyum memabukkan yang duduk nyaman disamping tubuhnya.

Flower Season 2 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang