3B. ANAK BAIK

5 2 0
                                    

Sammy dan Syifa tumbuh dengan didikan yang keras dari kedua orangtua mereka, terutama ayahnya. Hanya karena Sammy anak sulung dan laki-laki, membuatnya menanggung semua hal itu lebih berat dari adiknya.

"Berdiri di tembok sana, Sammy!" teriak ayahnya. Sammy kecil takut-takut melangkah. Sejak tadi tangannya saling meremas untuk meredakan kegugupan.

"Kenapa kamu mencuri uang teman kamu? Siapa yang mengajarkan kamu mencuri?" bentak ayahnya lagi dengan wajah yang memerah. Beberapa jam lalu orangtua salah satu teman Sammy di sekolah dasar menelpon bahwa Sammy mengambil uang temannya sepulang sekolah.

Sammy kecil tertunduk menatap ujung jari kakinya. Sementara ibunya dan Syifa menatap jerih dari ruang tamu tanpa berkata sepatah pun. Tidak ada yang berani melawan ayah, apalagi ketika amarahnya memuncak.

"Jawab ayah! Kenapa diam saja seperti orang bisu?"

"Sammy tidak mencuri, yah." Suaranya bergetar. Sepasang matanya masih tertunduk. "Tadi Sammy menemukan uang di jalan, lalu Sammy memasukkan uang itu ke kotak amal sekolah."

"Kamu tahu uang siapa itu?"

"Tidak tahu, yah."

"Sini ikut ayah."

Sammy merasakan tangannya ditarik dengan keras, tapi kegugupan membuat bocah kelas tiga SD itu tidak merasakan sakit apapun. Sammy didudukkan di dapur, sementara ayahnya mengambil sebatang lilin dan menyalakan apinya. Sammy menatap dengan ketakutan, menebak-nebak apa yang akan dilakukan ayahnya beberapa saat lagi.

"Ayah kasih tahu kamu apa akibatnya mengambil uang orang lain tanpa izin," suara ayah berubah lebih rendah, tapi terdengar dingin. Punggung tangan Sammy kecil ditaruh di atas meja. "apapun alasannya, tidak ada yang membenarkan perilaku itu. Itu namanya mencuri."

"Tahan tanganmu. Ini hukuman buat orang yang mencuri barang orang lain. Ayah tidak pernah mengajarkan itu kepada anak ayah. Bikin malu saja."

Sammy merasakan lelehan lilin panas menetes di punggung tangannya. Mulutnya berdesis menahan rasa perih, matanya terpejam rapat. Tanpa terasa matanya meneteskan bulir-bulir airmata.

"Panas, yah."

"Tahan. Itu hukuman buat kamu." bentak ayah, sambil terus meneteskan lilin cair itu. Membuat tangan bocah kecil itu hampir tertutup seluruhnya oleh cairan putih yang mengeras seketika.

Di lain waktu, ketika Sammy untuk pertama kalinya mengendarai sepeda roda dua. Sepeda berwarna merah itu bergoyang tidak stabil ketika Sammy kecil mengayuhnya, karena dia belum terbiasa membagi konsentrasi antara menjaga keseimbangan dengan tetap membuat sepeda itu berjalan. Hanya bertahan sepuluh detik, Sammy terjatuh dari sepedanya. Lututnya terluka.

"Tidak perlu nangis, kamu anak laki-laki!" ayah berteriak dari pagar rumah. Pria itu mengawasi anak sulungnya sejak tadi dengan sebatang rokok terselip di tangan.

Sammy kecil buru-buru mengusap matanya yang sudah terlanjur berkaca-kaca, karena mendengar teriakan ayahnya itu.

"Kan sudah ayah bilang, matanya lurus ke depan. Jangan menoleh ke sana sini. Itu yang bikin kamu jatuh. Keras kepala sekali, padahal sudah diajarkan berkali-kali." Ayah Sammy menghampiri anaknya yang masih terduduk meniup-niup lukanya. "Ayo, naik lagi."

Sementara adik perempuan Sammy juga mendapat didikan keras dari sang ayah, hanya kadarnya disesuaikan karena dia adalah perempuan. Tapi tetap, itu bukan hal yang biasa.

"Sudah ayah ajarkan sejak tadi, lima dikali enam itu hasilnya tiga puluh. Tiga puluh." Ayahnya berseru gemas. Tatapannya tajam mengarah ke Syifa yang duduk di hadapannya dengan buku tugas matematika.

GUNAYDIN (END)Where stories live. Discover now