18A. SETELAH SETAHUN

4 1 0
                                    

Satu tahun kemudian.

“Hendak kemana, Bang Sam?” Adin berseru saat melihat Sammy yang menjauh dari kerumunan. “Sebentar lagi sesi wawancara.”

Sammy melambaikan sebelah tangannya, sementara tangan satunya memegang ponsel. Ada panggilan yang menunggu disitu. “Kamu gantikan saya sebentar, Din. Saya ikut sesi foto  bersama saja.”

Adin merengut tanpa bisa berkata apa-apa melihat Sammy semakin menjauh. Nasib, meski jabatannya di credit title film barusan tertulis ‘Co-Producer’ dengan gagahnya, tetap saja ia tidak bisa berkutik ketika si produser filmnya sendiri alias Sammy tiba-tiba memberi tugas mendadak seperti barusan. Sudah biasa, dan Sammy berdalih hanya menerapkan metode pak Edi sebagai CEO studio mereka.

“Tanda pemimpin yang bisa diandalkan itu terlihat ketika dia mendapat tugas dadakan.” Celetuk Sammy suatu hari dengan nada setengah bercanda.

Tak apa, setidaknya wajahnya tersorot kamera meski tidak setampan Sammy.

Sammy menyibak kerumunan di depannya, sesekali menganggukkan kepala demi sopan santun saat berpapasan dengan orang yang dikenal. Tapi sebelah tangannya yang memegang ponsel terangkat ke telinga, kode bahwa ada panggilan penting.

Sammy berdiri di salah satu sudut ruangan luas yang kini penuh sesak dengan orang yang berkerumun di depannya. Blitz dari puluhan kamera wartawan berbaur dengan penonton bioskop yang menyemut di depan area yang sudah dibatasi dengan plang khusus. Panggilan itu tak berlangsung lama karena suasana yang cukup bising, lantas Sammy menurunkan ponselnya setelah satu dua patah kata.

Sammy menghela nafas, senyum tipis tersungging di bibirnya melihat semua pemandangan itu di kejauhan. Jika ia sedang memegang kamera sekarang, Sammy tak perlu memakai mode wide angle karena sudut pandangnya sudah cukup luas.

Matanya menatap backdrop besar di hadapan. Area yang menjadi pusat keramaian siang itu.

Hari ini penayangan perdana Mimpi Deru sebagai film layar lebar. Salah satu pencapaian besar yang tidak ia duga-duga. Setidaknya Sammy tidak menduga akan secepat ini.

Tiga ratus ribu penonton di hari pertama penayangan serentak seluruh Indonesia.

“Bang Sammy,” Adin menghampiri Sammy yang masih terpaku pada backdrop besar bergambar poster utama Mimpi Deru. “Kita semua menunggu bang Sam dari tadi.”

“Oh iya, maaf Din. Wawancara sudah selesai?”

Adin mengangguk. Ia ikut berdiri sejajar dengan seniornya itu, memandangi backdrop besar di hadapan mereka dengan takzim. Juga kerumunan di depan yang belum berkurang sejak tadi. Para pengisi suara karakternya adalah artis-artis terkenal dan berbakat.

“Banyak juga yang ikut menonton ya, Bang?”

“Saya juga tidak menyangka responnya sebaik ini, Din.” Sammy menepuk bahu Adin, menatap penuh penghargaan. “Terima kasih, sudah berhasil memimpin tim kita sejauh ini, Din.”

“Sama-sama, bang. Terima kasih juga Bang Sam sudah kabur waktu ke Turki pertama kali itu, membuat saya terpaksa menggantikan bang Sam untuk memimpin Mimpi Deru.”

Mereka tertawa bersama.

Sammy teringat perjalanan kaburnya setahun yang lalu. Tidak disangka petualangan yang diawali oleh luka itu membawanya ke berbagai tempat, pertemuan, dan orang-orang yang tidak ia duga, dan pada akhirnya mengantarkannya pada rasa syukur dengan semua takdir itu.

“Woi, Adin, Sammy!” Bang Zul berseru sambil setengah berlari menghampiri mereka berdua. “Astaga, kalian berdua malah asyik pacaran disini. Semuanya menunggu kalian disana untuk foto bersama, bahkan artis-artis itu juga ikut menunggu kalian.”

GUNAYDIN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang