5B. PUPAN SI KUCING

8 2 0
                                    

Semua mendung di rumah itu berkumpul semakin pekat, hingga Sammy tak merasakan ketenangan di dalam kamarnya. Dadanya sesak dan udara mendadak pengap. Esok paginya ketika ia memeriksa kamar Syifa, lelaki itu mendapati sang adik sudah berpakaian rapi. Beberapa tas besar juga telah dikemas. Tidak ada sisa wajah berkabut semalam. Wajah Syifa kembali cerah seperti biasanya. Secepat itu?

“Syifa?”

Gadis itu tersenyum tanggung. “Syifa sudah bilang ke Amira, kalau Syifa akan menginap selama beberapa hari di kosannya, bang.”

“Kamu akan pergi juga?”

“Bang Sam sanggup bertahan dengan ayah disini? Syifa tidak tahan bang. Rumah kita semakin horor.” Kata gadis itu, setengah bergurau. “Bang Sam akan mengizinkan Syifa, kan?”

Sammy tersenyum kecut. Benar, rumah mereka sama sekali tidak menyenangkan. Setidaknya Sammy tenang mendengar adiknya memilih tinggal bersama sahabatnya satu sekolah, tidak ke tempat lain. Tidak ada alasan yang lebih baik untuk menahan Syifa tinggal lebih lama di rumahnya.

“Kamu yakin?”

“Lebih dari yakin. Syifa juga yakin cepat atau lambat bang Sam juga akan pergi.”
Benar, dia juga memikirkan gagasan itu selama beberapa saat, membuat Sammy semakin mantap untuk pergi dari rumah. Semalam ia memikirkan berbagai skenario yang akan dilakukannya. Tetap bertahan di rumah ini jelas bukan pilihan yang akan ia ambil.

“Benar juga. Ya sudah. Kamu tunggu bang Sam sebentar.” Sammy bergegas mengemas beberapa barang penting di yang ada di kamarnya. Ia selalu terbiasa bergerak dengan efisien dan cepat. Tak sampai lima belas menit, satu koper dan ransel sudah rapi di tangan Sammy. Syifa tersenyum melihat abangnya.

“Kamu mau bang Sam antar ke kosannya Amira?”

Syifa mengangguk menerima tawaran itu. “Eh, tapi Giga mau ditaruh dimana, bang?”

Sammy terpikirkan satu tempat yang pas untuk menaruh kucing mereka. Ketika akhirnya mereka keluar dari rumah itu, ayah mereka hanya menatap pasrah dari kejauhan. Sammy dan Syifa tak berkata sepatahpun, pergi begitu saja.

Apa kira-kira yang ayahnya sekarang rasakan, melihat dua anaknya tidak menoleh kepadanya sedikitpun dan memilih pergi begitu saja? Sammy pagi itu tak sempat memikirkannya.

Yang terpikirkan di kepala Sammy waktu itu adalah, kenapa ia tidak melakukan hal ini sejak lama? Karena rasanya sangat lega dan begitu menenangkan. Kedua orangtuanya tidak memperdulikan kondisi mereka berdua sekarang, melepas ia dan Syifa dengan begitu ringan, jadi mengapa ia tidak melakukan hal yang sebaliknya? Toh, keluarga mereka sudah tidak normal sejak lama.

Sammy akhirnya sampai di kafe persis ketika Firas dan Eril hendak pulang. Pukul sebelas malam, seharian tadi Sammy berputar-putar tidak tentu arah keliling kota selepas mengantar Syifa dan memastikannya aman. Bergaya seolah sedang liburan, pergi ke restoran, bioskop, mengunjungi pasar wisata, berlagak bagai orang paling tidak memiliki masalah sedunia. Padahal sehari sebelumnya bahunya terasa ditimpa berton-ton beban tak kasat mata.

“Loh, Sam. Sedang apa jam segini?” tanya Firas.

Sammy keluar dari mobil dengan koper dan ransel besar. “Kamar belakang kosong, kan?” lelaki itu tersenyum samar pada dua temannya. Eril dan Firas berpandangan. Mau apa kawan mereka satu ini dengan bawaan seperti hendak pindah rumah?

“Kamar? Kamar man…” Eril menyikut Firas yang tergagap menjawab. “Oh, aman Sam. Pakai saja.”

“Kamu pegang kuncinya kan, Sam?” tanya Eril, beralih topik. Meski tidak mengerti situasi apa yang sedang dihadapi, tapi sepertinya ia paham Sammy sedang dalam kerumitan dan butuh tempat sementara.

GUNAYDIN (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang