5A. SENYUM PALSU

8 2 2
                                    

Kafe dua lantai itu tampak lebih ramai dari biasanya. Terutama bagian rooftop yang malam ini dipesan khusus untuk seluruh karyawan studio tempat Sammy bekerja. Bahkan satpam penjaga studio juga ikut nimbrung di antara tiga puluh-an pegawai studio itu, mengambil salah satu kursi dan menantang satu satu pegawai untuk bermain catur.

“Kafe ini seru sekali, ya. bukan hanya tempat nongkrong biasa.” Salah satu rekan studio itu menatap takjub sekeliling. Kawan di sebelahnya mengangguk setuju.

“Siapa yang memilih tempat seperti ini? Bisa-bisanya kita baru tahu sekarang?”

“Tentu saja si Sammy. Tugas langsung dari pak Edi.”

Sammy tersenyum tipis mendengar selintas percakapan itu. Sepertinya mereka sama sekali tidak terpikirkan bahwa salah satu pemilik kafe ini adalah dirinya. Lagipula untuk apa gunanya jika mereka tahu fakta itu? Malah membuat Sammy merasa tidak nyaman nanti.

Lelaki itu menghampiri Adin yang sedang serius memanggang di atas panggangan barbeque. Tangannya sibuk membolak balik sosis, jagung, udang, bakso, dan banyak lagi. Aroma harum menguar di udara.

“Tidak perlu serius seperti itu, Din. Tidak akan gosong. Tinggal kecilkan saja apinya.” Sammy memutar kenop panggangan itu. “Lebih baik seriusnya disimpan untuk kerja di studio saja.”

Adin meringis menatap seniornya itu. “Candaanmu tidak lucu, bang. Saya kan memang selalu serius di studio.”

Sammy tertawa. “Bercanda, Din. Bercanda.” Lelaki itu berinisiatif membantu Adin dengan mengoleskan bumbu bakar ke atas sosis dan kawan-kawannya itu. “Mana kawan kita yang lain? Tega sekali membiarkanmu sendirian mengurus makanan ini.”

Adin mengangkat bahu, pasrah. “Itulah, bang. Semuanya sibuk sendiri-sendiri. Ada yang sedang baca buku di bawah, main catur, main basket, main sama kucing-kucing itu pula di lantai bawah. Santai sekali minta dipanggilkan ke atas kalau semua makanan sudah siap.”

Sammy menyapu pandangannya ke sekeliling rooftop yang ramai itu. Kemudian sepasang matanya terhenti pada beberapa orang yang tampak memerhatikan permainan catur, atau mengobrol satu sama lain. “Hei, yang sedang jadi pengangguran disitu. Tolong bantu kawan kita memanggang ini. Atau semua biaya traktiran studio kalian tanggung.”

Orang-orang tersebut bergegas menghampiri panggangan barbeque, demi mendengar ancaman dari Sammy. Padahal lelaki itu tidak serius dengan ancaman itu, tapi Sammy menahan tawa menatap ekspresi mereka yang tergopoh-gopoh membantu Adin. Takut sekali traktiran malam ini batal.

Setelah memastikan Adin bisa bersantai sejenak dari tugas memanggang itu, Sammy memutuskan turun ke bawah. Senyumnya yang sejak tadi ia pasang perlahan memudar. Bibirnya terasa kaku.

“Loh? Mau kemana, Sam? Kita sedang seru-seruan ini.” Abim, salah satu rekannya berseru dari salah satu meja. Ia tampak sedang asyik bermain kartu UNO dengan beberapa orang.

Sammy menoleh, buru-buru memasang kembali senyumnya. “Seru sih seru. Tapi jangan lupa gantian memasak dengan yang lain. Jangan main terus dari tadi. Biar serunya merata ke semua orang."

“Ah, kamu tidak asik sekali Sam. Tentu saja kami akan gantian nanti. Ini saja aku baru mau mulai.” Kata Abim, pura-pura tersinggung.

Sammy melambaikan tangan, tertawa kecil. “Aku hanya mengingatkan saja, kawan. Ya sudah, aku turun sebentar.”

Dan senyuman itu lagi-lagi memudar ketika ia sudah melangkah turun di anak tangga. Lantai satu tidak seberisik rooftop seperti tadi, tapi tetap ramai. Beberapa orang yang Sammy kenali sebagai karyawan studio tampak asik sendiri dengan buku-buku di tangan, atau takzim menatap layar televisi yang menampilkan siaran pertandingan bola.

GUNAYDIN (END)Where stories live. Discover now