When The Thatch Blooms

411 48 1
                                    

Nona Lestari menjalani hidupnya bak ilalang di padang liar: berusaha tumbuh paling tinggi untuk mengais sinar matahari.

"Ilalang" memiliki arti harfiah anak-anak. Ia masuk ke dalam spektrum tersebut sampai usianya lima belas tahun. Setelah melewati batas usia itu, lingkungan sekitar Nona mulai mengganti perannya menjadi Mbak Nona; penghuni tertua panti asuhan, sekaligus pengurus 20 ilalang lain yang, cepat atau lambat, pergi dengan orang tua baru.

Ilalang-ilalang itu—mungkin lebih manusiawi bila disebut sebagai anak-anak panti—tumbuh di padang liar bernama "Rumah Lestari"; sebuah bangunan tua setengah hancur dan terletak di sisi terdekat rel kereta. Panti asuhan beratap terpal biru—sumbangan dari relawan saat banjir lima tahunan melanda kota—dan berdinding bata yang keropos—sekali lagi, karena banjir—yang mengendap panas Jakarta di siang hari, mengepung dinginnya hawa malam saat anak-anak perlu terlelap.

Rumah itu membentuk Nona selama lebih dari separuh masa hidupnya. Memberinya secercah harapan. Memberinya saudara-saudara jauh. Bahkan, memberinya nama belakang setelah ia menyadari bahwa tidak ada pasutri manapun yang rela mengadopsi anak dengan bau yatim piatu.

Sementara itu, sinar matahari dalam kasus ini adalah Bu Subekti. Sesosok wanita berusia 60 tahun yang selalu membukakan pintu, baik untuk anak kelaparan tanpa jalan pulang, maupun kepada bayi merah tanpa nama di keranjang roti.

Karir Bu Subekti sebagai Ibu Asuh—walau ia tidak memiliki intensi memilih jalan itu, awalnya Bu Subekti bekerja sebagai pemilik toko kelontong—dimulai dari uluran tangan kepada teman dekatnya yang tidak sanggup mengurus lebih banyak anak. Nama Bu Subekti sontak dipercaya bila menyangkut soal perawatan anak dan bayi, maka saat ia menemukan Nona—tergeletak di samping kursi taman kota, meraung-raung kedinginan karena hanya memakai baju tipis dan selimut dari kain lap—ia memutuskan untuk membawanya pulang.

Sejak saat itu, ilalang-ilalang liar makin banyak berdatangan. Namun, Nona akan selalu jadi ilalang tertinggi. Ilalang terbesar. Ilalang yang tidak pernah dicabut karena terlalu banyak memakan sinar matahari.

Nona bertaut dengan rumah bobrok itu tanpa ia sadari. Ia terbiasa memulai hari dengan membariskan anak-anak, menghitung jumlahnya (supaya ia tahu tidak ada yang kabur, dan tentu saja selalu ada yang kabur), dan menggiring mereka ke kamar mandi untuk dimandikan dengan selang. Ia juga yang mengantar mereka pergi ke sekolah. Saat semester usai, ia mewakilkan separuhnya dalam acara ambil rapot. Ia juga yang paling rajin membeli hadiah perpisahan untuk anak-anak yang akan diadopsi. Dan, ketika Rumah Lestari berhenti beroperasi saat usianya 16 tahun, Nona adalah orang terakhir yang mengunci pintu rumah itu, lalu menyeret dirinya sendiri untuk pergi.

Bu Subekti, cahaya matahari Nona, meninggal karena komplikasi paru-paru di ranjang rumah jompo yang berdebu. Tanpa saudara yang mengunjungi. Tanpa uang yang tersisa. Hasil penjualan bangunan Rumah Lestari ia gunakan untuk biaya perawatan dan pemakaman. Toko kelontongnya tergusur—untuk pembangunan jalan tol—sudah sejak lama sekali. Bu Subekti, dulunya sebuah matahari, redup dan lembut memegangi pipi Nona di saat-saat terakhirnya.

"Anak Ibu tinggal sisa kamu, Non," kata Bu Subekti, sesaat sebelum ia pergi, "Harta Ibu juga, tinggal sisa kamu."

Kendati demikian, harta tidak dibawa mati. Jalan Bu Subekti dan Nona terpisah di sini.

Di malam peringatan 40 harian kematian Bu Subekti, ia tidak punya cukup uang untuk mengadakan acara tahlilan. Faktanya, ia bahkan tidak punya cukup uang untuk membayar uang sewa kamar petaknya, atau pun makan siang di kantin sekolah.

Sore hari, sepulang sekolah, ia harus langsung berganti seragam dan membantu mengurutkan lembar-lembar buku klasik yang dibajak di percetakan ilegal. Lain hari, ia membantu menebar pestisida di kebun milik tuan tanah yang tak peduli akan kandungan racun di dalamnya, pun ia tetap membawa pulang beberapa buah kol bila diberi sebagai bonus upah. Hari libur Nona dihabiskan dengan menjaga supermarket dekat universitas kota, sembari memerhatikan lalu-lalang mahasiswa yang mengeluh tentang naiknya harga kopi instan, yang tak bisa Nona beli. Kemudian, pada saat malam tiba—sudah pasti di atas jam 11—ia selalu mendapati diri termangu di jembatan yang terletak lima menit jalan kaki sebelum Rumah Lestari. Ia kerap lupa bahwa tempat itu tidak bisa disebut rumah lagi.

Dunia Ini Tidak Pernah Baik-baik SajaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang