You, Who Came Like A Star

198 43 6
                                    

Reza Arnilam diajarkan bahwa namanya punya arti "bintang kebaikan" saat usia tujuh tahun, bersamaan dengan fakta bahwa kedua orang tuanya yang sekarang bukan lah ayah dan ibu kandung yang menautkan doa mereka dalam nama tersebut.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Carole Peterson pada tahun 2021 mengatakan bahwa rata-rata manusia mengingat memori pertama mereka pada usia 2,5 tahun. Mungkin itu alasan Eja tidak bisa mengingat kehidupannya sebelum dirawat oleh pasangan Marzuki dan Noer Ismail. Namun, kata Babeh dan Emak—panggilannya untuk kedua orang itu—Eja tidak bisa mengingat masa lalunya karena ia harus menjalani terapi hipnotis selama sepuluh hari untuk menghapus sebuah kejadian kelam; memori terjebak seharian bersama mayat ayah yang gantung diri di ruang keluarga mereka.

Affandi Ismail, usia 35 tahun, memutuskan mengakhiri hidupnya di suatu siang pada tahun 1998 setelah mendapatkan pesan bahwa bunga hutang yang harus ia bayar meningkat drastis ulah dari krisis moneter. Keadaan mental yang memburuk akibat kehilangan istri dua tahun sebelumnya—karena komplikasi dalam proses persalinan—mendorong Affandi untuk mengikat tambang ke langit-langit, membiarkan anak semata wayangnya menjadi satu-satunya saksi bahwa ia pernah punya cerita. Sayangnya, presensi Affandi pun harus dihapus secepatnya dari bocah itu, untuk kebaikan mentalnya di masa mendatang.

Marzuki adalah adik dari Affandi. Ia menjadi satu-satunya benang terakhir yang dimiliki Eja dengan Sang Bapak. Mereka punya fitur wajah yang mirip, juga dominan, sehingga Eja dan dua saudarinya (mungkin lebih baik ia memanggil mereka sepupu setelah mengetahui silsilah biologis ini), Rani dan Yaya, punya muka sebelas-duabelas. Menurut keterangan Babeh, berikut adalah hal-hal yang diketahui Eja mengenai Bapak:

1. Bapak dulu pegiat seni. Ia membuat musik-musik untuk lenong dan tanjidor.

2. Bapak harusnya menikah dengan kakaknya Ibu, tapi karena satu dan lain hal, ia tidak melakukan itu dan memilih kawin lari dengan Ibu. Ini membuat hubungan keluarga Bapak dan keluarga Ibu tidak bisa dibilang akur.

3. Tidak baik untuk mengingat-ngingat Bapak lagi.

Eja sendiri tidak punya ambisi untuk mencari tau lebih banyak tentang Bapak atau Ibu, atau bagaimana cerita mereka sebelum dirinya lahir ke dunia. Ia sudah merasa cukup dengan kasih sayang yang dilimpahkan Babeh dan Emak. Ia dibesarkan secara sederajat dengan anak-anak kandung mereka; sama-sama diberi makan, diberi rumah, dan diberi masa depan. "Gue bersyukur ada elu, Tong. Gue emang butuh anak lelaki buat nerusin bengkel," kats Babeh. Maka, sejak awal peran Eja dalam keluarga ini sudah jelas; ia adalah simbol keluarga.

Babeh membesarkan Eja dengan stigma yang melekat dibatinnya; laki-laki adalah entitas kuat, tegas, dan bertanggung jawab. Kuat dalam arti Eja diajarkan untuk tidak merepotkan Noer, Rani, dan Yaya. Ia adalah tangan ekstra di rumah. Setiap pagi ia membantu Noer—Emak merangkap koki acara satu kelurahan—menyiapkan lauk untuk kotak-kotak nasi pesanan penganten atau pengajian. Meski Emak kerap menolak, utamanya karena alasan lebih baik bila Eja bersiap untuk sekolah saja, anak itu terus mengiris hal yang bisa ia iris; suatu waktu daun bawang (tidak bisa sampai habis karena matanya selalu pedih), lebih sering telur dadar (lauk nasi kuning), tapi terkadang kulit tangannya yang terpotong karena terlalu ceroboh memegang pisau.

Ia masuk klub Taekwondo berbarengan dengan Rani, sebagai mata-mata Babeh agar putri sulungnya itu kembali tanpa lecet sedikit pun. Eja terus menawarkan diri menjadi samsak pelatih agar Rani tidak perlu repot dibanting berkali-kali. Dan, ketika Rani berhenti dari klub Taekwondo karena kebosanan yang ia akui datang karena "rasanya kayak gak ngapa-ngapain", Eja tetap bertahan di klub itu atas perintah Babeh. "Udah elu bae-bae belajar bela diri, Tong. Ntar kalo si Yaya udah gede, kan, elu bisa jagain."

Babeh juga mendidiknya menjadi tegas. Pelajaran pertama yang Babeh berikan ketika ia sudah bisa diajak duduk dan bicara—tepatnya waktu umurnya enam tahun, tiap sore tangan Eja dilatih agar cekatan saat ia membenarkan mesin. Ia diberi latihan mengencangkan baut jam-jam beker antik untuk dijual kembali nanti—adalah betapa kerasnya kehidupan di masa lalu. Ia diceritakan bahwa Babeh jatuh dari pohon setinggi dua meter. Betisnya sobek dan ia berjalan sampai rumah untuk diobati. Di setiap langkah yang Babeh ambil, rasanya sobekan itu melebar sampai pangkal kaki.

Dunia Ini Tidak Pernah Baik-baik SajaWhere stories live. Discover now