sebut ini tiga

3.2K 534 39
                                    

BERBEKAL ingatannya yang agak samar-samar, Dikara berhasil tiba di kediaman milik Baskara meski bulan telah menunjukkan eksistensinya.

Jemari lentiknya menekan tombol bell. Menunggu beberapa waktu sebelum akhirnya wanita paruh baya muncul dari balik pintu gerbang.

"Loh? Kara?"

"Ibu!" Dikara segera mencium punggung tangan Laras, Ibu Baskara.

"Ya ampun... Kemana aja kamu? Jarang banget main, kangen nih Ibu." Laras membawa tubuh ramping Dikara ke pelukan. Ia mengusap-usap punggung Dikara penuh sayang.

"Ibu... Kara juga kangen banget sama Ibu." ujar Dikara seraya mempererat pelukan seraya memejamkan mata. Ia memposisikan dagunya pada bahu sang (hampir menjadi) calon mertua.

"Ayo, masuk dulu, masuk!" Laras mengurai pelukannya.

"Gak apa, Bu. Aku cuma sebentar doang kok. Mau ngasih ini undangan." Dikara berujar seraya mengeluarkan undangan milik Baskara.

Ucapan Dikara saat itu membuat Laras terdiam sejenak. "Kamu... Udah mau nikah, Nak?"

"Nggak, Bu! Bukan aku yang mau nikah! Ini tadi temen sekolah aku sama Babas nitipin undangan buat Babas ke aku, jadi ini aku mau anterin undangannya. Bukan aku yang mau nikah, Bu!" jelas Dikara yang membuat Laras nampak bernapas lega.

"Ya ampun... Kirain kamu yang mau nikah." Laras mengusap-usap lengan Dikara. "Yaudah, yuk! Mampir dulu sini."

"Gapapa, Bu. Aku pulang aja, soalnya lagi di anter sama Pak Didi ke sini, kasian Pak Didi nunggu di mobil."

"Eish, nggak! Udah nanti Pak Didi juga suruh masuk aja sini. Ayo, masuk dulu!"

Melempar senda gurau dan bercengkrama dengan penuh kehangatan di atas meja makan keluarga Wirjawan membuat Dikara merasa seperti waktu tengah memutar balik kejadian di masa lampau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Melempar senda gurau dan bercengkrama dengan penuh kehangatan di atas meja makan keluarga Wirjawan membuat Dikara merasa seperti waktu tengah memutar balik kejadian di masa lampau.

Selepas makan malam, Dikara mencoba untuk mengajak Baskara untuk bicara empat mata dengannya. Baskara memilih untuk mengajak Dikara berjalan kaki keluar rumah agar lebih leluasa mengobrol.

"Nomorku kemarin salah gak sih, Bas?" tanya Dikara memecah keheningan.

"Nggak tau, gak ngecek."

Jawaban Baskara membuat Dikara terdiam. Ia paham, sangat paham.

Baskaranya telah berubah cukup banyak.

"Dari kelas satu SMA sampe semester dua kuliah kita bareng-bareng terus..." Dikara menjeda ucapannya. "pasti sering banget ya aku nyakitin kamu?"

Baskara menutup bibirnya rapat-rapat. Ia enggan menjawab pertanyaan Dikara yang satu ini.

"Maafin aku ya, Bas? Maaf aku dulu egois banget, aku childish banget waktu itu." Dikara menghela napasnya kasar. "Aku sadar aku nggak seharusnya sering banget ngomong putus saat kita berantem. Aku seharusnya nggak seegois itu karena selalu mikir cuma aku yang paling sakit di sini..."

KARAKARA [NOMIN] | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang