46' | Babak Kedua

39 10 14
                                    

   "Om, saya juga masih belum percaya Mason terlibat dalam hal ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

   "Om, saya juga masih belum percaya Mason terlibat dalam hal ini. Namun, semua bukti yang saya kumpulkan selalu mengarah pada Mason, selain itu saya juga mencurigai Xavi ikut terlibat."

   Layaknya penderitaan gangguan mental Obsessive Complusive Disorder, otak Haedar tak bisa berhenti untuk tidak memikirkan berulang kali apa yang diucapkan Djenar. Setengah tidak percaya, namun ia sadar tidak bisa mengawasi kelakuan anaknya setiap saat. Sebab tuntutan pekerjaan yang mengharuskannya meninggalkan tanah air. Ayah Mason memiliki sifat workaholic, terlalu gila dengan pekerjaannya hingga terkadang ia lupa masih memiliki anak.

   Tangan pria itu tergerak untuk mengambil selembar foto yang tertutup kertas kerjanya. Pengusiran yang dilakukannya pada Djenar pasti membuat gadis itu sakit hati. Namun sebelum Djenar benar-benar pergi, ia sempat meletakkan selembar foto dan potongan koran yang berisi isu perselingkuhan Mason dengan Shakira, serta terlibatnya Mason atas pencemaran nama baik Xavi. Sambil membaca sekali lagi, pria paruh baya itu kontan memijit pelipisnya tak habis pikir dengan tingkah Mason.

   Masih teringat jelas ketika Mason mengungkapkan keinginan untuk bisa mandiri tanpa bantuan dirinya. Sepak bola menjadi hobi yang ditekuni. Pria itu selalu berangan akan sukses lewat hobinya. Haedar sempat tak setuju, namun anaknya selalu meyakinkan. Ditambah bujukan sang mantan istri, akhirnya keinginan Mason tidak hanya sekadar angan.

   Suara derit pintu utama yang dibuka membuat pria itu mengalihkan pandangan secara spontan. Lalu melirik jam dinding yang ada di ruang tamu. Jarum jam menunjukkan pukul sebelas lewat tujuh belas menit, dan Mason baru menginjakkan kakinya di rumah.

   "Dari mana saja?" tanya Haedar.

   Dengan malas, Mason membalikkan tubuhnya menghadap Haedar. "Habis latihan," jawab pria itu singkat.

   Sang ayah tengah menyeruput secangkir kopinya dengan santai, kemudian tampak fokus membalik-balikkan kertas yang ada di tangannya. Hal itu membuat Mason semakin menatapnya malas. Setelah ia rasa tak ada lagi yang ingin dibicarakan orang tua itu, ia memilih untuk melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda.

   "Memangnya ada latihan sampai hampir tengah malam?" sarkas Haedar sambil berdiri dari duduknya.

   Mason berdecak pelan. Pria itu mungkin akan mengulur waktu hingga tengah malam untuk pulang ke rumah, jika mengetahui di jam ini ayahnya belum membaringkan tubuhnya di atas tilam.

   "Memangnya Papa peduli akan hal itu?" Sama sekali, Mason tidak ada niat untuk berbalik badan menghadap papanya kembali.

   "Tentu Papa peduli padamu!"

   "Omong kosong. Jika Papa peduli, Papa tidak akan membiarkan Mama pergi dari rumah ini," tandas Mason serta-merta melirik Haedar sekilas. Lalu berniat pergi.

   Haedar mencekal tangannya, lalu meletakkan foto dan kertas koran yang ia bawa ke atas tangan Mason. "Jika Papa tidak peduli, Papa tidak akan menanyakan perkembangan karier sepak bolamu. Dan, Papa tidak akan mengizinkanmu terjun ke dunia bola jika kelakuanmu seperti ini," ujar Haedar tajam.

   Mason kontan mengernyih ketika melihat foto yang terpampang di posisi paling depan. Itu foto yang sempat Djenar tunjukkan tempo lalu. Dan beberapa potongan koran berisi isu itu membuatnya mendengkus muak.

   "Bahkan, Papa tidak benar-benar mengenalku dengan baik. Lebih baik urusi saja pekerjaan Papa, daripada harus mengurusi karierku." Tepat saat ia menyelesaikan kalimat sarkastisnya, kertas yang ia pegang terjatuh dengan sengaja. Lalu tanpa melihat ekspresi geram yang ditunjukkan sang papa, Mason berlalu dengan rasa kesal.

🧤🏅⚽️🏆

   Konferensi pers kembali diadakan. Xavi tampak duduk dengan sentosa didampingi pihak kepolisian serta sang ayah. Salah satu polisi tampak menjelaskan kronologis skandal yang sempat menimpa Xavi. Secara esensi, konklusi dari skandal ini menyatakan bahwa Xavi tidak bersalah. Mantan pacarnya hanya mengada-ngada semua bukti kekerasan itu. Lalu bukti rekaman suara itu diputar, membuat wartawan yang hadir menggeleng tak percaya.

   Lalu sesi pertanyaan dibuka untuk Xavi. "Mengapa Anda tidak menuntut balik Shakira atas pencemaran nama baik ini?"

   "Pepatah pernah mengatakan, jangan membalas kejahatan dengan kejahatan pula. Saya hanya menerapkan pepatah itu. Melihat kariernya redup sudah cukup untuk membalasnya, yang sudah membuat karier saya hampir hancur."

   "Apa itu berarti Anda masih belum bisa move on dari mantan Anda?"

   Pertanyaan dari seorang jurnalis membuatnya meringis. Jujur, pertanyaan semacam itu sungguh tidak penting untuk ditanyakan. "Ah, Djenar, pertanyaanmu sungguh tidak penting!" rutuk Xavi di dalam batin. Ya, seorang jurnalis yang bertanya demikian tak lain adalah Djenar.

   Sambil menunjukkan senyum manisnya, Xavi menatap gadis itu intens. "Pertanyaan ini tidak penting, tapi ... baiklah, akan kujawab."

   Xavi menghela napas sejenak. "Soal move on tentu tidak usah ditanya lagi, sudah. Yang pasti lupakan masa lalu, saatnya menatap era baru dalam hidup. Nggak hanya itu, tambatan hati pun harus baru yang lama buang saja."

   Mereka masih saling tatap ketika Xavi telah menyelesaikan kalimat yang tersemat pesan di dalamnya. Diam-diam saling melempar senyum, diam-diam degup itu semakin terasa menusuk relung hati terdalam. Hingga pertanyaan selanjutnya yang diajukan membuat mereka memutus pandangan, kemudian salah tingkah secara bersamaan.

   Sesi pertanyaan berikutnya terus bergulir hingga waktu yang ditentukan telah berakhir. Xavi menjabat tangan polisi berpangkat brigadir yang sempat menginterogasinya. Tak disangka, Sani memeluk pria itu seperti kawan yang sudah tidak bertemu lama dan mengucapkan kata terima kasih. Hal itu membuat alis Xavi terangkat.

   "Kau tahu, Vi. Dia adalah kawan lama Ayah, dulu kami pernah bolos sekolah hanya semi menonton pertandingan bola di stadion. Haha ...." Tawa mereka berdua pecah saat mengenang kembali kisah usang itu.

   "Oh, ya? Pantas saja beliau kenal Ayah," kata Xavi. "Sekali lagi, terima kasih, Om."

   Pria itu mengangguk sambil menepuk pundak Xavi. "Ingat! Jangan pernah mengecewakan ayahmu lagi," pesannya.

   Lantas, mereka kembali berbincang sebentar. Sedangkan, Xavi mengedarkan pandangan pada ruang yang digunakan untuk konferensi pers itu. Netranya menangkap sosok Djenar yang baru berdiri dari duduknya, sedangkan teman jurnalis yang lain secara teratur telah meninggalkan ruangan. Pria itu beranjak untuk menghampiri Djenar.

   "Ikut aku," katanya saat telah berada dekat. Lalu menarik tangan Djenar tanpa mendapat persetujuan. Djenar pun hanya menurut saja.

   Tak disangka, ternyata Xavi membawanya pada sang ayah. Saat Sani telah menyelesaikan obrolannya, pria paruh baya itu tampak heran ketika berbalik dan mendapati anaknya telah membawa seorang perempuan.

   "Yah, kenalin ini Djenar," kata Xavi lalu mendorong punggung Djenar untuk maju dan memperkenalkan diri.

   "Halo, Om, saya Djenar." Djenar mengulurkan tangannya, lalu Sani menjabat tangan itu.

   "Dia siapa?" tanya Sani masih menunjukkan raut kebingungan.

   "Dia masa depanku ... eh, maksudnya, dia yang udah bantu Xavi cari bukti itu."

•••○•••

Hallo, hallo, hallo, permisa yang masih setia membaca cerita ini. Babak kedua dari cerita "Offside" telah bergulir. Akan ada konflik apa kira-kira di babak kedua ini? Tunggu terus kelanjutan ceritanya! 🧤

Selalu mengingatkan untuk vote dan jangan lupa kasih feedback terbaik kalian demi perkembangan cerita ini. Terima kasih🤗

OFFSIDE [Full Time||End]✅Where stories live. Discover now