70' | Babak Kedua

42 10 30
                                    

❝Tugas playmaker mengatur alur serangan, tugas forward cetak gol, kalau tugasku hanya merindukanmu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

❝Tugas playmaker mengatur alur serangan, tugas forward cetak gol, kalau tugasku hanya merindukanmu.❞

•••○•••


  Perasaan memang terkadang tidak bisa ditafsirkan. Acap kali malah menimbulkan enigma yang membingungkan. Siapa pun bisa mengalaminya, termasuk Xavi. Pria itu terjebak dalam enigma rasa yang cukup rumit. Bertemu dan kenal dekat dengan Djenar sebagai pemicu enigma itu muncul.

  Terlalu cangkat untuk mengakui bahwa ia memiliki rasa filantropi pada gadis itu. Mengingat kisah cinta sebelumnya yang telah kandas dengan akhir yang mengenaskan. Selain itu, ketidaktahuannya tentang rasa yang dialami Djenar padanya juga membuat hatinya bimbang. Namun, hal itu tidak melunturkan niatnya untuk mengajak Djenar jalan sore ini.

  "Kita mau ke mana?" tanya Djenar di sela perjalanan.

  Xavi tersenyum di balik visor helmnya. "Aku tahu pikiranmu sedang kusut, mungkin dengan melihat mereka bermain bisa membuatmu mendingan."

  Djenar mengigit bibir bawahnya, dalam hati ia membenarkan. Pria itu selalu tahu apa yang tengah ia rasakan. Sejak terkuaknya kasus yang menimpa sahabatnya, Djenar selalu kepikiran. Alih-alih merasa senang sebab riset mencari eksistensi mafia bola telah ia rampungkan.

  Namun, ada yang terasa mengganjal pada ucapan yang baru saja Xavi lontarkan. Melihat mereka bermain? Apa maksudnya? Sebenarnya pria ini ingin membawanya ke mana? Sejak kedatangannya ke rumah dan meminta izin pada ibu untuk membawa anak kesayangannya pergi, sudah cukup memunculkan raut kebingungan di wajah Djenar. Tampaknya, mulai saat ini ia akan membenci sesuatu yang berbau teka-teki.

  Suara pekikan anak-anak menyambut indera pendengaran Djenar ketika motor yang dikendalikan Xavi telah melewati gapura selamat datang. Tak jauh dari gapura itu, terhampar lapangan yang cukup luas. Anak-anak berlarian mengejar dan menggiring bola di kakinya. Pemandangan yang telah lama tidak gadis itu lihat di bawah balutan senja.

  "Dulu aku sering main bola di sini, sebelum pindah rumah," kata Xavi sambil meletakkan helmnya. Lalu pria itu membantu Djenar membuka helmnya.

  "Jadi, tujuanmu mengajakku kemari adalah ...." Djenar sengaja menggantung ucapannya untuk mendapat jawaban yang pasti dari Xavi.

  "Untuk melihat anak-anak ini bermain. Lihatlah keceriaan mereka, mereka seolah tidak memiliki beban. Mungkin, dengan ini akan membuat perasaanmu tenang."

  Xavi melayangkan senyum sambil mengaitkan helm Djenar pada setang motor. Lalu pria itu menginstruksi Djenar untuk mengikuti langkahnya. Gadis itu sempat ragu. Ragu jika ia tidak bisa menyesuaikan diri. Namun, melihat bagaimana cara Xavi menyapa mereka semua membuat Djenar mengambil satu langkah pasti.

  "Hai anak-anak, boleh ikut main?"

  Mereka menghentikan permainan ketika suara Xavi mencuri perhatian. Beberapa dari mereka seolah menunjukkan raut muka tak percaya. Seorang pemain bintang menyambangi mereka adalah suatu hal yang amat langka.

  "Itu Mas Sapi!" celetuk salah satunya, mencuri atensi yang lain. Lalu dengan rasa antusias, mereka serempak mendekat ke arah Xavi.

  Xavi dibuat gemas karena anak-anak ini menunjukkan sikap polos yang natural. Bersamaan dengan itu, Djenar telah berada dekat. Senyumnya terbias ketika menatap pemandangan di hadapannya. Bukankah ini langka? Kapan lagi ia bisa melihat Xavi seperti ini?

  "Mas, bisa tunjukkan pada kami aksi keren waktu itu? Itu sangat luar biasa!" kata anak berusia sekitar sepuluh tahun sambil menjulurkan bola pada Xavi.

  Xavi menerima bola itu. Lalu bertanya, "aksi yang mana, nih?"

  "Yang itu, lho. Yang bolanya bisa lewati kaki lawan."

  Xavi menganggukkan kepala, paham dengan aksi yang dimaksud anak itu. Sebelum menunjukkannya, Xavi memandang ke arah Djenar. Gadis itu balik menatap heran.

  "Baiklah, akan Mas tunjukkan. Tapi Mas butuh lawan, bagaimana kalau kakak cantik itu yang jadi lawannya?"

  Tatapan jahil ditunjukkan, Djenar menatap malas ke arah Xavi. Sepersekian detik kemudian, salah satu anak menarik-narik tangan Djenar. Pada akhirnya gadis itu tidak kuasa untuk menolak.

  "Ayo dong, mulai!" Seruan itu memicu anak lain untuk bersorak.

  "Nanti kamu coba rebut bola dari kakiku, ya," instruksi Xavi lalu menurunkan bola itu ke tanah.

  "Vi, aku nggak bisa," kata Djenar memelas.

  "Nggak papa, emang kamu mau buat anak-anak ini kecewa?" Perkataan itu sukses membuat Djenar kontan mengiakan.

  Sebisa mungkin, Djenar berusaha merebut bola di kaki Xavi. Helaan napas frustasi dari Djenar membuat pria itu tertawa. Hal itu malah membuat Djenar gemas. Dengan satu gerakan, kaki kanannya berhasil menghentikan laju bola di kaki Xavi. Namun nyatanya itu menjadi kesempatan untuk Xavi menendang bolanya melewati kedua kaki Djenar.

  "Ayo! Siapa yang bisa rebut bola dari kaki Mas, Mas Xavi akan belikan kalian jajan!" seru Xavi yang membuat anak-anak itu antusias.

  Dengan kaki-kaki kecilnya, mereka mengejar Xavi yang menggiring bola ke tengah lapangan. Djenar menggelengkan kepala sejenak, lalu mengikuti anak-anak itu untuk mengejar Xavi. Sesekali, canda tawa tampak mengiringi laju mereka. Kondisi lapangan yang becek tidak membuat semangat mereka luntur. Hal itu malah sebagai pelecut demi mendapat traktir gratis dari Xavi.

  "Kamu tahu nggak?"

  Xavi melontarkan pertanyaan ketika mereka telah menyelesaikan sebuah permainan yang amat menyenangkan. Kini, mereka tengah duduk di pinggir lapangan. Matahari semakin tenggelam dalam buaian. Sedangkan, anak-anak telah meninggalkan lapangan demi menuntaskan dahaga mereka di lapak terdekat. Tentu, Xavi telah membagikan uang untuk mereka membeli jajan.

  "Apa, tuh?"

  "Tugas playmaker mengatur alur serangan, tugas forward cetak gol, kalau tugasku hanya merindukanmu."

  Djenar mencibir ketika kata gombalan yang kesekian kali keluar dari mulut Xavi. "Nggak usah gombal!"

  Xavi tertawa. "Kelihatan banget ya, kalau aku lagi gombal?" Djenar langsung menganggukan kepalanya cepat.

  Tanpa menurunkan senyumannya, Xavi menatap hamparan rumput di depannya. "Impian terbesarku adalah bisa bermain untuk salah satu klub luar negeri. Menjadi pesepak bola internasional. Tapi ... kayaknya bakal berat, deh!"

  "Kenapa? Kenapa berat? Tidak ada yang tidak mungkin, 'kan?"

  "Iya, kalau harus LDR-an sama kamu itu berat rasanya."

  "Xavi, please! Jangan gombal mulu, ah." Djenar menatap Xavi jengah.

  Kini pandangan pria itu sepenuhnya menatap Djenar. "Jujur, sebenarnya aku nyaman sama kamu. Aku nggak gombal soal itu. Tapi aku masih ragu ...."

  "Lebih baik ragu." Djenar tiba-tiba memangkas ucapan Xavi. "Maksudku, lebih baik kamu buang saja apa yang tengah kamu rasakan sekarang. Jangan sampai itu membuat kariermu terhambat, Xavi. Kamu harus meraih impian itu!"

  Ucapan Djenar membuat Xavi terdiam. Ia harus rela menelan kata-katanya kembali. Tanggapan dari Djenar sukses membuat enigma itu terkubur kembali.

•••○•••

OFFSIDE [Full Time||End]✅Where stories live. Discover now