64' | Babak Kedua

43 10 28
                                    

•••○•••

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

•••○•••

  Bukan hal yang lumrah ketika pria itu menapaki lantai rumah saat malam hari telah menjelang.  Namun, kepulangannya yang lebih cepat membuat Haedar menatapnya heran, alih-alih merasa senang. Dengan langkah lajak, Haedar menghampiri anaknya setelah mengetik beberapa laporan yang harus segera dirampungkan.

  Mengurusi sebuah perusahaan sudah cukup membuatnya mengalami hal-hal berat dalam hidup. Telepon dari seorang penegak hukum beberapa menit yang lalu membuat pikirannya tambah kusut. Ia pikir perkataan Djenar tempo lalu hanyalah sangkaan--walau memang benar adanya. Namun, apa yang Djenar sangka ternyata adalah sebuah kebenaran.

  Seperti biasa, tatapan tak naim selalu Mason tunjukkan. Termasuk sang papa--yang kini ada di hadapannya, juga melayangkan tatapan tajam. Mason pikir ini bukanlah keadaan yang baik, ketika papanya telah menunjukkan gelagat tak sedap.

  Plak!

  Sudah jatuh tertimpa tangga, agaknya menjadi peribahasa yang tepat untuk menggambarkan situasi yang tengah Mason alami. Rasanya terlalu cangkat bagi Mason untuk menganalisa alasan Haedar memberi sebuah tamparan tak terduga. Pria itu menatap papanya dengan raut tanda tanya, Apa ini? Sebuah sambutan selamat datang?

  "Sini kamu, anak tak tahu diuntung!" sentak Haedar sambil menarik lengan kiri Mason. Rasa sentimen yang Haedar tahan sedari tadi tidak bisa terbendung lagi.

  "Aw, sakit!" ringis Mason memegang pundaknya.

  Penyergapan yang dilakukan dua orang pesuruh Sasongko membuat goresan cukup dalam di bahunya. Seperti layaknya phantom pain, pisau yang ditancapkan pada bahunya masih saja terasa walau pisau itu telah dicabut. Cukup lama Djenar menunggui Mason hingga proses menjahit luka itu rampung. Belum kering bekas jahitan, apa yang dilakukan Haedar membuat jahitan itu tidak aman.

  Haedar kontan melihat ke arah bahu Mason. Baju yang belum berganti, menampilkan bercak darah yang kentara. Bau anyir baru terasa saat luka itu baru diketahuinya. "Ini kenapa?" tanyanya dengan nada cemas.

  "Hanya luka kecil, Papa mana peduli soal ini," desis Mason.

  Jujur, ia hampir saja melunakkan sikap saat berhadapan dengan Haedar ketika ucapan Djenar sukses membuat rasa bersalah bersarang di hatinya. Namun, dengan sikap yang ditunjukkan Haedar barusan, membuat  niat itu urung. Lupakan saja, hal itu akan terasa sia-sia. Pada akhirnya ia dan papanya memang tak pernah akur semenjak hengkangnya sang mama dari rumah.

  "Luka kecil? Ini bukan luka kecil!"

  "Ini luka kecil bagiku! Luka terbesarku adalah ketika menghadapi kenyataan bahwa keluarga ini tak lagi utuh!"

  Dada Mason bergemuruh, pria itu memalingkan wajahnya ketika sesuatu yang terasa mengganjal terasa memenuhi pelupuk matanya. Ia terlalu gengsi menunjukkan bahwa, matanya selalu berkaca ketika mengingat luka itu.

  "Mason, berhentilah mengungkit masa lalu!" Haedar memberi peringatan. Namun, tak serta-merta membuat Mason menurut. Berhadapan dengan Haedar membuatnya tersiksa. Pergi dari hadapannya adalah pilihan yang tepat.

  "Hei! Kita belum selesai bicara!" Cegat Haedar ketika Mason mengambil satu langkah untuk meninggalkannya.

  Kemudian dua langkah, tiga langkah kaki Mason membuat Haedar tak tahan untuk tidak menyampaikan unek-uneknya. "Dengar, anak bebal! Kau sungguh membuatku kecewa, bahkan Mamamu pun akan kecewa jika mengetahui hal ini."

  Ucapan Haedar membuat langkah Mason terhenti. Melihat hal itu, Haedar semakin gencar melanjutkan kata-kata berikutnya.

  "Bersekongkol dengan mafia bola, hem? Kau membuat kariermu berada di ujung tanduk. Ini kah tujuan yang pernah kau sampaikan dari awal? Kalau benar, Papa sangat menyesal telah membiarkanmu berkeliaran di ranah sepak bola."

  Haedar menghela napas. Mason masih terdiam.

  "Dari awal Papa tidak bercanda soal masa depanmu. Papa pikir, dengan mengesampingkan ego Papa waktu itu bisa membuatmu sukses lewat jalur yang kamu sukai. Tapi nyatanya nol besar!"

  "Besok, seseorang akan menjemputmu. Bersiaplah, Papa tidak akan ikut campur. Selesaikan sendiri masalah yang telah kau buat sendiri." Terakhir, ucapan Haedar sedikit melunak. Namun amat menusuk ketika Mason yang mendengarkan.

  Pria paruh baya itu kembali menempati posisinya, yaitu berada di antara kertas-kertas kerja yang terasa memusingkan. Sedangkan, Mason dibuat ketar-ketir atas ucapan papanya. Kariernya telah berada di ujung tanduk berkat ulahnya sendiri. Cukup tragis. Ibarat waktu dalam pertandingan sepak bola, ia hanya menunggu kariernya hancur dalam menit-menit terakhir perpanjangan waktu.

⚽️🧤🏅🏆

  Xavi mengembuskan napasnya lega setelah seharian ia harus mengurus ini-itu. Amat mendadak, calon klub-nya meminta untuk mempercepat negoisasi agar mencapai keputusan yang sepakat. Alhasil, pertemuan dengan direktur olahraga dari kesebelasan biru dipercepat. Pertemuan yang dijadwalkan lusa, harus diajukan menjadi hari ini.

  Sejak semalam, ia belum sama sekali menyentuh ponsel miliknya. Malam itu adalah waktunya untuk melepas rindu dengan sang mama. Pagi harinya, seolah tak mendapat kesempatan untuk sekadar mengecek ponsel, Xavi langsung diarak ayahnya untuk segera menemui direktur olahraga kesebelasan putih.

  Pria itu sempat mengecek sekilas, ada beberapa panggilan yang masuk dari Djenar dan cukup banyak pesan saat tengah menunggu sang direktur datang. Sempat heran, mengapa gadis itu menghubunginya sebanyak ini. Pikirnya, mungkin gadis itu merasa rindu karena seharian tidak mendapat kabar darinya. Terkadang Xavi memang punya tingkat ke-ge'er-an yang amat tinggi.

  Kehadiran sang direktur membuat Xavi mengurungkan niatnya untuk membaca salah satu pesan Djenar. Alhasil, pria itu memilih fokus untuk membahas negosiasi kontrak.

  "Se-kangen itu Djenar sama gue?" monolog Xavi sambil mengetikkan kata sandi pada layar ponselnya.

  Lalu pria itu membuka pesan Djenar satu per satu. Sebuah kata, "tolong," langsung menyambut indera penglihatan Xavi. Dahi pria itu dibuat mengernyit kala nama Mason juga ikut tertera. Lalu kata lainnya adalah, penyerangan. Apa maksudnya?

  Saat ia melihat kapan waktu pesan itu terkirim, Xavi jadi merasa waswas. Takut sesuatu yang buruk menimpa gadis itu. Akhirnya, tanpa pikir panjang Xavi menelepon Djenar.

  Panggilan pertama tak mendapat jawaban.

  Panggilan kedua masih sama. Ia mulai merasa menyesal karena mengaktifkan mode hening pada ponselnya. Hal itu membuat panggilan yang masuk dari Djenar tidak terdengar.

  Panggilan ketiga, Xavi bisa bernapas lega. Suara lembut dari gadis itu akhirnya menyapa indera pendengarannya.

  "Halo, kamu tidak papa?" tanya Xavi tanpa basa-basi. Ia tahu ini teramat telat untuk menanyakan kabar gadis itu setelah bahaya yang dialaminya. Namun, hal ini perlu dilakukan agar hatinya sedikit tenang.

  "Kamu telat, tapi aku tidak papa."

  Sahutan gadis itu membuat Xavi bernapas lega. Lalu Xavi menanyakan apa yang tengah Djenar alami semalam. Dengan senang hati gadis itu menceritakan semuanya tanpa terkecuali, termasuk bagaimana parahnya luka yang diderita Mason. Jujur, saat Djenar menceritakan bagaimana hebatnya Mason melawan mereka membuat sesuatu di dalam hati Xavi bergejolak. Ia tidak tahu pasti, mungkin ini bisa disebut cemburu.

•••○•••

Ngebut! Ngebut! Ngebut! Semangat!🔥

OFFSIDE [Full Time||End]✅Where stories live. Discover now