2J : Bab 6

2.7K 373 20
                                    

6. Saling Menutupi Luka

***

Juandra mendengar suara mesin mobil, menandakan jika sang ayah telah pulang dari kantor. Jujur, sebenarnya sejak tadi, cowok berparas tampan itu sedang gelisah memikirkan bagaimana cara memberi tahu ayahnya perihal nilai jelek yang ia dapatkan di mata pelajaran matematika. Juandra menggenggam erat buku tulisnya seraya merapalkan doa agar ayahnya tidak terlalu marah.

"Yah, Juan mau kasih tau nilai ke ayah." Cowok berperawakan jangkung itu menyodorkan buku tulisnya dengan harap-harap cemas. Ayahnya perlahan membuka lembaran itu. Angka delapan terpampang besar diatas kertas.

"Cuma segini?"

"Yah, bisa Juandra cuma segitu. Soalnya susah."

"Jangan salahin soalnya, salahin kamu, belajarnya gimana? Coba kalo lebih baik lagi, pasti seratus, Juandra. Ayah kan udah bilang, belajar yang bener, jangan kayak Jerdian yang malas-malasan," bantah sang ayah.

"Ayah, Juandra udah lakuin sebisa Juan, belajar sampe larut malem, tapi emang bisanya segitu."

"Masih aja ngeles! Malam ini, ayah mau kamu tidur di teras. Pikirin apa kesalahan kamu sampe nggak bisa dapet nilai seratus!" Juandra menunduk lesu. Badannya sudah terasa panas karena terkena hujan saat oa pergi tadi, dan sekarang ia harus bersatu dengan dinginnya udara malam. "Iya, yah. Maaf."

Kalau di pikir-pikir buat apa dia minta maaf cuma karena sebuah nilai yang tak sesuai ekspetasi ayahnya? Ini bukan salahnya kan, toh Juandra sudah berusaha sebisa yang ia mampu.

Di situasi seperti ini lah, rasa iri pada Jerdian selalu muncul. Memikirkan jika kembarannya itu tidak pernah disuruh laporan atas nilai yang dia dapat, kembarannya itu tidak pernah merasa tertekan dengan tuntutan nilai yang harus sempurna, dan kembarannya itu selalu bebas melakukan hal apa yang dia mau. Meskipun sebenarnya, semua pikiran Juandra itu tak sesuai dengan realita yang ada. Mereka hanya saling iri atas keberuntungan yang masing-masing dari mereka miliki, tanpa melihat bagaimana proses luka menggerogoti hari-hari mereka.

Juandra memutuskan mengambil bantal serta selimut untuk alas tidurnya. Cowok itu keluar dari rumah dan langsung menggelar selimutnya di lantai teras.

Hari sudah larut malam dan Jerdian yang baru saja tiba di rumahnya langsung memekik kaget kala melihat Juandra yang tidur di teras rumahnya. Lebih tepatnya rebahan, karena cowok itu belum memejamkan kelopak matanya.

"Halo gembel," sapa Jerdian seraya tertawa terbahak-bahak.

"Bacot. Sana lo!" Juandra menatap kembarannya dengan raut sinis. Tadinya, ia kira Jerdian akan langsung duduk dan menemani dirinya, tapi dia tetaplah Jerdian yang selalu senang meledek dirinya ketika mendapat hukuman dari sang ayah.

"Dih, ngambek. Lo kenapa dah? Nilai nya anjlok lagi?" Juandra mengangguk sebagai jawaban. "Nggak apa-apa tidur di luar selagi ada temennya."

"Emangnya lo mau nemenin gue?," tanya Juandra. "Nyamuk maksud gue."

"Sumpah, kalo gue lagi mode waras, mulut lo udah gue tabok ya Jerdian," sengit Juandra. Sedangkan Jerdian, masuk ke dalam rumah, menghiraukan kembarannya yang masih terus menggerutu.

"Juandra yang malang, selalu berakhir sendiri," ujar Juandra merutuki dirinya sendiri.

Jerdian melihat sang ayah yang duduk di sofa, berkutat dengan berkas-berkas kantor yang tak bisa cowok itu pahami. Dengan sedikit inisiatif, kakinya bergerak menuju dapur untuk membuatkan minuman sang ayah. Jerdian menyeduh tiga gelas kopi. Mungkin, segelas kopi mampu mendinginkan otaknya yang penat setelah seharian beraktifitas, pikir Jerdian.

Dua Sisi (TAMAT)Where stories live. Discover now