2J : Bab 33

1.9K 237 11
                                    

33. Bukankah Kita Terlalu Memaksakan?

***

Juandra merebahkan dirinya di atas kasur yang sempit. Dia menumpukan salah satu lengannya untuk menutupi mata. Kepalanya berdenyut nyeri. Selama seharian ini, cowok itu hanya menghabiskan waktu di kelas dan ketika waktu istirahat sekolah tiba, ia hanya akan pergi menuju perpustakaan. Semua itu semata-mata demi mengejar beberapa materi yang tertinggal. Padahal ia hanya tidak masuk selama sehari.

Hari ini, Juandra tidak pulang bersama kembarannya, di karenakan Jerdian sedang ada latihan basket bersama dengan Hardian. Alhasil, pulang sekolah tadi, dia nebeng dengan Mirza. Juandra tiba-tiba meringis saat merasa jika perutnya keroncongan. Baru saja ia ingin bangkit dari posisi tidurnya, Juandra di kejutkan dengan kehadiran Jerdian. Seingatnya, ia tidak mendengar suara motor cowok itu.

"Buset. Kapan datengnya? Salam dulu kek!" tegur Juandra.

"Ju, lo laper nggak?" sang empunya nama hanya mengangguk sebagai jawaban.

"Pesen makanan apa ya enaknya?" Juandra bergumam seraya mengotak-atik ponselnya. Namun, ia malah mendapat hadiah jitakan dari cowok di sampingnya.

"Pesan-pesen, kita udah miskin. Kudu ngirit." Juandra rasanya tertampar oleh perkataan dari kembarannya. Ia seperti di jatuhkan ke dasar jurang terdalam, pun tak urung membuat ia terkikik geli.

"Gue lupa." Juandra menepuk dahinya, sebelum kembali melanjutkan kalimatnya. "Oh iya, Ayah ninggalin duit cuma buat bayar SPP lo doang, mungkin karna ayah mikir karena gue terbisa dapet beasiswa gratis SPP. Uangnya di laci, besok lo bayarin aja semua, takutnya malah kepake buat yang lain-lain."

Jerdian diam membeku. Sejujurnya ia tak enak hati. Meskipun nada bicara Juandra terdengar biasa saja, tapi ia paham, pasti cowok itu sedang berusaha keras untuk legowo. Ia jadi teringat ucapan ayahnya, yang kini benar adanya. Kebenaran bahwa sebagian kebahagiaan memang berasal dari uang.

"Bener ya kata ayah, gue naif banget, sok-sok-an nggak butuh duit. Gue terlalu maksa buat buktiin ke ayah kalo duit bukan segalanya. Lama-lama gue capek, pengen di peluk," timpal Jerdian yang langsung mengundang pergerakan Juandra untuk memeluk kembarannya itu. Namun, hal itu malah membuat Jerdian hampir tertawa, karena pasti kembarannya itu salah menafsirkan apa yang ia ucapkan. "Ju, lo ngapain peluk-peluk? Maksud gue, gue maunya di peluk kekayaan."

"Kampret!" sentak Juandra kesal. Untuk menghindari amukan Juandra yang berkepanjangan, Jerdian memilih mengalihkan topik pembicaraan.

"Ju, lo bawa laptop nggak?"

"Nggak. Gue mana kepikiran bawa begituan."

"Pulang yuk. Gue mau ambil laptop. Butuh banget buat revisi novel gue." Jerdian memasang muka melas, berharap jika sang kembaran mau menemani dirinya pergi.

"Ayo. Sekalian lo bawa sisa buku sekolah lo yang ketinggalan di sana. Sampe kapan ke sekolah pake buku tulis satu, isinya campur-campur," sindir Juandra.

Mereka berdua segera bergegas menuju rumah lama Enderson. Setelan keduanya terlihat sangat kontras. Jerdian dengan celana jeans yang di padukan dengan jaket varsity, sedangkan Juandra hanya mengenakan celana jogger abu-abu serta hodie berwarna mint.

Selama perjalanan, mereka sesekali mengobrolkan hal-hal random untuk mengusir rasa canggung yang timbul di antara keduanya. Rasanya, semakin dewasa, topik obrolan mereka malah berkurang. Bicara mereka tak selepas dulu, untuk menghindari hal-hal yang bisa menyakiti perasaan. Tapi, namanya juga manusia, terkadang ada saja kalimat kurang mengenakkan yang muncul tanpa sadari.

Dua Sisi (TAMAT)Where stories live. Discover now