05

51 13 12
                                    

Perasaan yang sulit di mengerti oleh Hana

Hana mengikuti Kasef dan ia masuk ke dalam mobil. Di perjalanan Kasef melirik Hana yang sedang melihat ke arah jendela, Kasef berdehem hendak memulai percakapan tetapi, Hana sudah terlebih dahulu bertanya.

"Kasef" panggil Hana pelan.

"Ya?" balas Kasef cuek. Hana mengepalkan tangan nya sebelum bertanya "Apa kamu keberatan, kalo aku  hadir dalam kehidupan kamu?" pertanyaan Hana bermaksud dalam bagi seorang Kasef.

Kasef yang selalu nyaman dengan kehidupan nya saat ini, tanpa campur tangan dan kehadiran seseorang kecuali, Papa nya. Hana benar-benar takut menganggu kenyamanan seseorang.

Hana masih tidak enak jika ia ikut hadir, mengingat Kasef ini terlihat tipe yang tidak mau di ganggu dan nyaman dengan kesendirian nya, Hana menghela nafas.

'Kalo kasef bilang iya, masa aku harus ngontrak'

Mendengar pertanyaan Hana, Kasef mencengkeram setir lebih kuat, "Gak, karena lo cuman bayangan bagi gue."

Hana tersentak, dia lumayan kaget dengan jawaban Kasef. Benar-benar tidak terduga "Yaudah berarti besok, aku mau mulai pindahan ke rumah kamu."

Kasef mengangguk ringan "iya, nanti gue bantu," ujar nya. Hana menengok ke arah nya "Sendiri juga bisa, kok."

"Lo saudara gue." Hana hanya tersenyum mendengar ucapan nya "Iya kita saudara."

•••

Hana turun dari mobil Kasef, dia cukup kaget Kasef tahu arah rumah nya. sebelum Hana mengucapkan terimakasih, mobil itu sudah melaju.

Hana hanya bisa diam. memang menerima keberadaan seseorang itu sulit, belum lagi dia ini hanya bayangan bagi Kasef.

Hana cukup sedih dengan perkataan Kasef tadi. Bayangan katanya?, kesannya sangat buruk ya, sama saudara sendiri.

Padahal sebelumnya Hana sudah mempunyai ide untuk coba akur dengan saudaranya yang telah lama berpisah dan mencoba akrab.

Hana ingin merasakan hangat nya sebuah keluarga itu seperti apa. Seperti keluarga Harfi yang sangat lengkap dan hidup bahagia, walaupun kedua orangtuanya jarang pulang karena pekerjaan, orangtua Harfi benar-benar memberikan perhatian extra dan melengkapi semua kebutuhan Harfi dengan baik.

Yang bermasalah memang hanya anak nya saja. Hana menggelengkan kepalanya "Coba aja Harfi baik dan penurut semua nya bakal keliatan lengkap juga indah,"ucap Hana.

Hana berjalan menuju pintu depan rumah Harfi, dia merogoh kunci di tas nya sambil menunduk. Namun, pintu besar di depannya tiba-tiba terbuka, pergerakan Hana langsung terhenti.

Apakah ibu,nya? Ibu nya tahu?

Hana mendongak dan menemukan wajah tak asing bagi nya. Wajah sinis dan songong Harfi sambil menatap dirinya.

"Ouh? habis jalan sama cowok?,"tanya Harfi meledek Hana dan melihatnya dari atas sampai bawah.

"Udah kenal cowok ya, sekarang. Pulang malem gini lagi, ngapain aja tuh," lanjut Harfi benar-benar dengan nada menghina.

Hana menggelengkan kepalanya, tapi kemudian dia mengangguk.

Benar. Kenapa dia selalu takut Harfi salah paham padanya, kenapa Hana selalu takut akan penilaian Harfi tentang dirinya?! kenapa?!

Hana hendak membuka suara nya tapi "Lo lagi enggak jadi cewe-cewe murahan di luar sana,kan Hana?,"tanya Harfi menyelidik.

"A-AKU BUKAN CEWEK KAYAK GITU!." Teriak Hana marah setelah mengatakan itu Hana langsung berlari melewati Harfi begitu saja.

Harfi benar-benar kaget, dengan Hana yang berani berteriak padanya. Apa karena ucapannya benar? tidak! mustahil Hana tidak seberani itu untuk menjadi perempuan seperti itu.

Hana adalah gadis baik, Harfi tahu itu. Harfi hanya bisa menghela nafas dan menunda kemarahan nya kepada Hana.

•••

Hana memeluk lutut nya dengan pandangan ke depan, menghadap jendela kamar nya.

Semua yang terjadi hari ini benar-benar memuakkan, semua nya hampir sama dengan hari-hari yang biasa Hana lewati. .

Hana membenci semua yang ada pada dirinya, terutama ketergantungan nya kepada Harfi.

"Kenapa sih?!,"Hana menundukkan kepalanya, dia benar-benar frustasi dengan semua yang terjadi dalam hidupnya.

Kenapa harus dia yang mengalami ini semua? ini terlalu berat baginya, Hana menginginkan hidup yang baik, tidak apa-apa dia tidak kaya seperti Harfi tapi setidaknya nya dia bahagia.

Hana memang selalu tersenyum, tapi senyuman itu bukan senyuman bahagia. Senyum yang di penuhi iri dan kepalsuan.

Hana selalu mengatakan dia tidak bisa tersenyum karena, dia jarang tersenyum. Padahal dulu ketika dia masih di sekolah dasar, dia bisa melakukan itu.

Tapi sekarang tidak, setiap dia mencoba tersenyum, rasanya canggung. Karena tersenyum nya Hana bukan karena, kebahagiaan. Tapi kesedihan yang mendalam, Hana merasa miris rasanya saat dia mencoba tersenyum manis seperti orang yang benar-benar bahagia.

'tok' 'tok'

"Hana oy!" panggil Harfi di pintu kamar Hana, sembari mengetuk dengan tidak sabar.

Tatapan Hana berubah semakin suram. "Butuh sesuatu?,"tanya Hana to the poin.

Di luar Harfi mengerutkan kening nya, 'enggak kayak biasa nya'. "Pr matema–"

"Tadi aku gak masuk pelajaran nya, jadi gak mungkin bisa kerjain tugas kamu."

"Maaf, Harfi. Aku tidur dulu".

Harfi mengepalkan tangannya, Hana berani mengusir nya begitu?.

"Berani nya lo ngusir gua kayak gitu, lo gak sadar lo ini cuman numpang?,"suara Harfi terdengar marah, Hana hanya diam sambil menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.

"Hana. SETIDAKNYA LO BAYAR TUMPANGAN GRATIS LO INI DENGAN BANTU GU—"

"HARFI BERHENTI! CUKUP SAMPE ITU AJA!. AKU JUGA MAU PERGI, KAMU GAK USAH KHAWATIR." Teriak Hana di balik pintu, Hana benar-benar sudah habis kesabaran nya.

Selama ini dia menahan nya karena memang ucapan Harfi, selalu benar dan tepat. Tapi kali ini Hana akan keluar dari rumah Harfi, jadi tidak apa-apa mengatakan yang tidak seharusnya ia katakan pada saat dulu. Karena dulu, dia tidak punya tempat untuk pergi.

Karena sekarang berbeda, Hana berani mengatakan ini.

Harfi memukul tembok di sebelah pintu kamar, "Maksud lo apa?," tanya Harfi datar.

"Aku bakal pergi dari rumah kamu," suara Hana mengecil tidak sekeras tadi.

Hana tiba-tiba menyadari. Apakah dia terlalu keras tadi? apakah dia terlihat seperti orang tidak tahu terimakasih?.

Harfi terkekeh "Gua tunggu waktu nya".

Setelah itu langkah kaki Harfi terdengar, Harfi sudah pergi dari depan kamar Hana.

Hana mengerucutkan bibir nya, "Jahat banget sampe nunggu, waktunya."

Next

Vote dan komen terimakasih








Lihat aku sekali sajaWhere stories live. Discover now