Eleven

13K 1.1K 3
                                    

Ara menyeka sisa butiran kristal dari sudut mata nya. Ia memandang wajah nya yang sedikit sembab karena drama yang ia main kan tadi.

"Aku sangat puas. Ah, tidak ku sangka aku pandai berakting"

Ara membasuh wajah nya dan membuang sisa-sisa ingus yang sedari tadi menyumbat kedua lubang hidung nya. Sedikit merepotkan. Sagita adalah orang yang jarang sekali menangis. Bahkan ketika di siksa oleh ayah nya, terkadang ia menangis jika ayahnya terlalu sadis menyiksanya secara fisik dan mental. Namun secara keseluruhan, ia orang yang sangat jarang menangis.

Setelah selesai membasuh, ia mengambil tisu dan mengelap sisa air di wajah nya, Ara merongoh saku baju sekolah nya dan memperhatikan kartu nama berwarna hitam elegan yang berisi nama beserta nomor handphone.

Flashback On
Ara masih melanjutkan akting dengan sekali-kali terkikik geli ketika melihat para keluarga nya yang sekarang tengah bertengkar karena ulah dirinya. Ara duduk di pojok bangku dengan suara tangisan nyaring tanpa air mata. Sekali-kali ia memijit kedua pipi nya yang terasa pegal.

"Kapan mereka akan selesai?" ucap Ara mendongak kan kepala mengintip keluarga nya yang masih bercekcok satu sama lain.

"Seperti nya akan lama. Ck, padahal aku ingin istirahat" lanjutnya lagi dengan wajah di tekuk

"Itu salah mu sendiri...."

Ara terjengkit kaget, ia membalikkan kepalanya dan memandang datar seorang pria yang sedang berjongkok di depan nya. Ara tahu pria itu, dia salah satu tamu yang datang bersama nenek nya.

"A, apa maksud anda?" tanya Ara dengan suara di buat tergagap

Pria itu terkekeh pelan. Ia memandang intens Ara yang membuat Ara ingin sekali menampar pria di depan nya ini, namun sekuat tenaga ia tahan demi kelancaran drama yang ia buat.

Ara menampilkan wajah takutnya dan berusaha menghindari tatapan pria itu.

Ia kembali terkekeh
"Permainan yang bagus. Ambil ini jika kau butuh 'aktor' dalam drama mu"

Pria itu menyodorkan sebuah kartu nama berwarna hitam kerah Ara. Ara tak ada keinginan untuk mengambil benda itu, jadi pria itu langsung saja memasukkan kartu nama nya dalam saku seragam sekolah milik Ara.

Flashback Off

"Algalarik Ferdinan"

Itu nama nya. Ara memiringkan kepalanya mengamati kartu nama itu dengan wajah datar.

"Dia bukan keluarga Fastech..." ucap nya ketika melihat nama belakang milik pria bernama Algalarik itu.

"Sudah lah, apa peduli ku. Dia juga hanya 'tamu'. Tapi ini di simpan saja dulu, siapa tau aku akan membutuh kan nya nanti...." ucapnya tersenyum miring. Ia ingat dengan ucapan Algalarik yang menawarkan diri menjadi 'aktor' dalam drama nya.

Ara merenggangkan badan nya dan segera menuju kamar mandi untuk membersihkan badan nya yang sudah sangat gerah karena belum mandi. Sekarang sudah pukul 7:30, dan para tamu tadi juga sudah pulang, itu sebab nya mengapa Ara bisa terbebas dari drama yang ia ciptakan sendiri sore hari tadi.

Untuk 20 menit Ara habiskan di dalam kamar mandi, sekarang ia sudah bersantai di balkon kamar dengan pemandangan pohon-pohon yang tidak terlalu tinggi. Jangan lupakan jika kawasan kediaman Fastech ini sangat luas. Dan hampir semua lahan kosong itu di tumbuhi dengan pepohonan hijau. Ara takjub dengan orang yang membentuk daun pepohonan itu dengan berbagai jenis bentuk yang menakjubkan, di sekeliling nya di hiasi lampu-lampu yang membuat pemandangan di depan mata Ara semakin terlihat menyejukkan.

Tok..tok..tok

Ara menoleh kebelakang. Mungkin itu Bindah pikirnya. Dengan langkah pelan Ara berjalan untuk membuka pintu kamarnya yang di ketuk, dan meninggalkan pemandangan yang baru saja ia nikmati.

Ceklek

"Akhh....!!"

"Ikuti aku!!"

"Ck. Lepas!! Lepas!!"

Ara terus berontak berusaha melepas cekalan tangan kekar yang mencengkram kuat pergelangan tangan nya. Tapi karena tenaga dari raga Ara yang tidak seberapa membuatnya kesusahan untuk melepaskan diri. Akhirnya ia hanya bisa pasrah mengikuti langkah lebar milik pria yang sekarang tengah menyerat nya kasar.

Mereka menaiki lift, pria itu menekan tombol menuju lantai paling atas. Ara sedikit merasa was-was. Sejak berada di dalam raga ini, ia tidak pernah pergi kelantai atas. Tempat yang ia hampiri hanya sebatas kamar-ruang tamu-dapur. Ia tidak tahu seperti apa keadaan di atas sana.

Ting.

"Cepat!!"

Ara kembali di seret kasar. Saking kuatnya ia bisa merasakan pergelangan tangan nya yang terasa seperti akan terpisah dari engsel nya. Walau cukup terasa sakit, tapi Ara tetap menunjukkan wajah datar nya, hal itu membuat pria yang sedari tadi menyerat nya menunjukkan wajah bingung. Bahkan sesekali ia menguatkan genggaman nya untuk melihat reaksi lain di wajah milik Ara. Namun harapan nya tidak bisa terwujud. Ara hanya mendelik tajam masih dengan berwajah datar.

"Ck. Kau mau membawa ku kemana sih?!!"

Ara sudah terlanjur kesal. Kakinya sudah sakit karena terus di paksa mengikuti langkah lebar milik pria itu.

"Diam!!"

"Lepas!!. Devano sialan!!!"

Brak.

"Shh...."

Devano tersungkur. Terlihat Ara di samping nya yang sedang memijit-mijit tangan nya yang memerah. Rahang pria itu mengeras, di putarnya badan nya lalu menarik satu kaki Ara yang membuat tubuh milik Ara jatuh berdentum dengan keras.

Brak.

'Sialan...'

Ara tak tinggal diam. Ia langsung berdiri dari posisinya dan menaiki tubuh Devano untuk mengarahkan tinju nya. Devano tak di beri kesempatan untuk mengelak, sebagian wajah nya sudah lebam dengan darah yang keluar dari kedua lubang hidung nya.

"Cukup!!!. Cukup Ara!!!"

Devano menarik pinggang Ara dan melemparnya kesamping. Ia menyeka darah yang keluar dari hidung nya, lalu menatap Ara tajam.

Ara terkekeh. Ia bangun dari posisi nya dan memandang Devano dengan tatapan meremehkan.

"Tebakan ku benar. Kau bukan adik ku"

Ara semakin tertawa hingga air keluar dari sudut matanya.
"Adik?"

"Kau menganggap ku adik? Sejak kapan?"
Nada suara Ara berubah dalam sepersekian detik.

"Kau bukan adik ku"

"Aku memang bukan adik mu Devano. Sejak lahir kalian tidak pernah menganggap ku keluarga kalian"

"Bukan. Kau....memang bukan adik ku. Ara tidak bisa mengendarai mobil, bahkan sepeda saja ia tidak bisa!!. Ara tidak bisa berenang, karena ia seorang Aquaphobia. Dari awal aku sudah mencurigai mu, Ara tidak pernah melawan kepada ibu, ia tidak pernah berani menatap mata ku. Tapi kau!!. Kau bisa melakukan semua itu, semua yang tidak bisa Ara lakukan"

Ara hanya memandang datar tak minat.

"Siapa kau?"

Ara hanya diam. Ia tidak ada keinginan untuk menjawab pertanyaan tidak berguna yang di lontar kan oleh Devano. Jika ia jujur, pasti orang di depan nya ini juga tidak akan percaya. Tapi Ara sedikit kesal dengan kejelian pria di depan nya ini. Padahal baru beberapa hari, tapi mengapa dia cepat sekali peka dengan situasi. Seakan-akan selama ini ia selalu memperhatikan Ara. Atau memang itu yang terjadi?, Devano selalu memperhatikan Ara. Kalian tahu apa maksud nya?

To be continued...

The Real Antagonist Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang