14. Pandai

498 127 69
                                    

Deru alobar tipis yang menyapu sela-sela permukaan kulit, menghadirkan satu kenyamanan inti untuk bergerak memeluk diri, sedangkan kepala tertunduk menyamping di sekitar area juluran lengan. Pada tembok pembatas yang membendung jatuhnya halaman rooftop, tubuh laki-laki itu tertopang ke arah depan dengan mata mengerjap sayup niat beristirahat pelan-pelan. 

Percakapannya bersama Melvin kemarin petang, ternyata benar membuat ia berpikir banyak tentang prinsipnya mengenai pertemanan. Seperti biasa, memasuki waktu rehat, si kembar—tanpa konteks—lagi-lagi mengajak Tama pergi bermain dengan lingkar pergaulannya. Hari demi hari, rasanya intensi mereka tampak begitu kentara hendak membawa Tama bergabung ke dalam sana.

Menanggapi hal tersebut, tentu Tama sigap menolaknya karena ia tidak punya urusan selain kepentingan kerja kelompok—atau agenda tanding bola kemarin anggap saja sebagai kasus spesial. Namun, yang membuat kini Tama terganggu adalah, wajah Revo yang sontak menampilkan kekecewaan kala mendengar respons negatifnya, masih terbayang jelas di benak Tama. 

"Lo kurang nyaman sama kita, ya?"

Tama menghela napas panjang. Jujur saja, ramai presensi mereka tidak pernah membuat Tama merasa tidak nyaman. Justru Tama pikir, pertanyaan itu seharusnya ditempatkan pada posisi sebaliknya. Kenapa, sih? Mereka terlihat ingin sekali berkenalan dengannya? Tidakkah mereka tahu? Semakin lama mereka berada di dekatnya, banyak petaka akan hadir mendatangi mereka?

"Lo juga boleh belajar dengan giat atau berteman bareng orang-orang yang lurus, Nyet. Nggak ada yang melarang lo buat melakukan itu."

"Omong kosong, Vin." Tama bersenandika seraya memejamkan kedua netra. Berat di rongga dadanya mendadak bertambah sehingga ia butuh menelungkupkan wajahnya dalam-dalam.

Sungguh—jauh di lubuk hatinya, Tama benar-benar berharap hangat ucapan Melvin dapat bertumbuh menghiasi kelam kehidupannya. Meski demikian, pikiran Tama tentang jati dirinya yang menempel selaku beban, ternyata tidak semudah itu ia lepaskan. 

Kawanan si kembar, sejatinya ialah satuan pelajar yang sangat pintar dan memiliki segudang potensi berlebihan. Lain lagi, eksistensi Tama di dunia hanyalah sebatas parasit menyedihkan yang hobi merusak apa pun setiap kali ia memilih bersentuhan. Dari awal lingkar pertemanan si kembar sanggup membantunya belajar atau mengikis kesendiriannya saja, kapasitas Tama sudah menunjukkan tanda tidak mampu membalas kebaikan apa-apa. 

Sebisa mungkin, pengalamannya dengan Angkasa merupakan kecerobohan terakhir Tama soal bersifat merugikan. Tama mau berhenti kemudian puas menghukum diri atas kesalahannya yang kian menumpuk, bahkan sejak Bunda memutuskan pergi meninggalkan.

Kriet!

Tak sampai benaknya selesai merenungkan perkara, tiba-tiba suara pintu besi rooftop yang tergeser mengambil alih atensi Tama begitu cepat. Refleks tersebut tak memberinya kesempatan untuk mengatur raut wajah sehingga kala ia menoleh pada sosok yang menginvasi area persembunyiannya, Tama tertangkap basah sedang muram bersedih hati.

Perizinan Tama tentang perempuan itu boleh datang ke tempat ini kapan pun yang ia mau, tampaknya berhasil mengundang Luna kembali. Ekspresi Luna yang sekilas menyembunyikan resonansi sendu saat bertatapan dengan keruh netra Tama, lantas membuat lelaki tersebut balik menghadap depan demi menutupi kegugupannya. Sial, Luna benar-benar seorang perasa yang handal. 

Tak lama saling berdiaman, bunyi ketukan kaki Luna yang perlahan mulai menghampiri pun menambah kelimpungan Tama harus bersikap bagaimana. Laki-laki itu ternyata sulit bersiap untuk membagi sesuatu yang barangkali dapat mengubah harinya terus baik-baik saja.

Mengenai spontan kalimat penawarannya di hari itu, Tama kira sekarang makna sebetulnya adalah mungkin ia hanya ingin mendengar cerita Luna, namun tidak sebaliknya. Cara Tama menghibur diri, biasanya lebih kepada beraktivitas seru atau membicarakan hal-hal menyenangkan untuk mengalihkan asap pemikiran.

MALAWhere stories live. Discover now