45. Sobat

119 35 2
                                    

Mengingat sudah berulang kali dirinya dibuang dan ditelantarkan oleh mereka yang membagi aliran darah serupa, Melvin sebetulnya cukup yakin bahwa kehadirannya di muka bumi ini tidaklah terlalu berarti bagi siapa pun yang mengenalnya. Sesosok remaja laki-laki serampangan yang tinggal sendirian dan terpaksa meninggalkan bangku pendidikan, benar-benar bibit sampah masyarakat yang sering diangkat dalam isu berita negara.

Pada cerita kecilnya, andai saja mata dunia mau sedikit mengintip ke dalam sana, Melvin tentu tidak pernah ingin menjalani kehidupan yang seperti itu. Namun, sebab telah terlalu lama tragedi-tragedi gila terus menggerogoti jiwa sucinya, lambat laun Melvin perlu menyerah perihal merangkai mimpi-mimpi baiknya.

Melvin, bahkan telah sampai pada suatu kesimpulan jika memang dengan begini Tuhan memaksa ia untuk meneruskan kehidupan, maka Melvin akan menjalaninya tanpa mepertimbangkan apa pun. Takdir jahat cenderung dilawannya menggunakan keputusan terburuk. Namun, seiring berjalannya waktu, efek dari perbuatan tersebut membuat nurani Melvin cukup tergerus perihal mengembangkan eksistensi dirinya.

Seberapa keras, Melvin berusaha menjadi bebas demi menyederhanakan konflik kehidupannya yang terlampau rumit, ternyata Melvin masih memegang nilai-nilai besar tentang apa itu benar dan salah. Melvin seharusnya melepaskan diri dari hal-hal yang dapat mengembalikan sisi kemanusiaannya. Kendati begitu, hadirnya Tama merupakan sebuah pengecualian yang sulit ia lepaskan.

Melvin, padahal sangat berharap caranya membatasi diri melalui pesan-pesan tersirat dapat berdampak pada bagaimana Tama memandangnya selaku teman. Namun, setiap kali menemukan permasalahan, Tama selalu mencari Melvin ke mana-mana sehingga Melvin tidak mungkin membiarkannya begitu saja. Di mata Melvin, Tama bak menjelma belahan dari masa kecilnya, jadi Melvin tidak mau Tama mengalami kesedihan yang serupa. Oleh karena itu, mendapati puluhan panggilan masuk disertai gedoran penuh keputusasaan di depan rumahnya tadi sore, Melvin tidak bisa menolak untuk kembali menemani Tama.

Menjadi sosok yang menyembuhkan sekaligus menghancurkan kehidupan seseorang, jujur sangatlah melelahkan. Karenanya, jika takdir baik sesulit itu untuk bisa Melvin dapatkan, bolehkah setidaknya Melvin berdoa agar Tuhan mencari sosok pengganti dirinya buat Tama ke depan?

"Ck, rokok terus lo dari tadi. Nggak takut paru-paru lo rusak apa?"

"Ah, apaan, sih, Vin?" Mendadak, karena dari samping Melvin merampas batang rokok yang sedang nikmatnya ia hisap, alis Tama sontak bertaut tajam meluapkan kekesalannya. "Sehari aja, lo nggak usah resek bisa?" Tampaknya, remaja laki-laki itu sedang menjadi begitu sensitif sekarang.

"Lo, tuh, masih anak SMA, Nyet. Sekali dua kali boleh, tapi nggak hampir satu bungkus juga lo habisin. Balik-balik lo megap-megap di tengah jalan nggak gua bantu, ya!" Meski begitu, Melvin yang tahu betul alur fluktuasi emosi Tama, tetap tidak memedulikan keluhan yang Tama berikan.

"Omongan lo udah kayak pegawai nakes aja. Lagian apa bedanya lo sama gua? Umur kita nggak beda jauh."

"Gua nggak bahas umur. Poin pembahasan gua adalah, lo masih bocah SMA, sedangkan gua bukan. Lo kaum terpelajar, jadi lo harus patuh pada beberapa aturan."

Mencebik terhadap apa yang baru saja Melvin katakan, Tama melengos karena semua terdengar sangat membosankan. "Aturan cuma menimbulkan rasa sakit, Vin. Bukannya karena itu juga, pada akhirnya lo memilih jalur kebebasan?"

Ada kalanya, Tama mengagumi sosok Melvin selaku teman sepantaran yang berusia sedikit lebih tua darinya. Namun–di sisi lain, Tama bisa jadi sangat tidak suka ketika Melvin menggunakan alasan tersebut untuk memberi jarak di antara mereka. Pada saat tertentu, Melvin senang memperlakukan Tama sebagai adik kecil yang seolah perlu dilindungi dari pahitnya dunia. Melvin si paling dewasa, sedangkan Tama tidak boleh mengikutinya. Karena alasan itu, mungkin Tama berat mengakui Melvin sebagai kakak yang dapat ia andalkan meskipun sedari dulu, begitulah Tama selalu ingin menganggapnya.

MALAWhere stories live. Discover now