Prolog

125K 5.7K 225
                                    

Sebuah dorongan kuat dari belakang punggungku membuat aku tersungkur ke tanah dengan posisi tangan menahan tubuh supaya tidak menyentuh permukaan. Air mata jatuh dari pelupuk mataku begitu saja, belum selesai rasa sakit dan pedih di hati karena dikhianati oleh suamiku sendiri lalu juga dibuang begitu saja oleh keluarga suamiku seperti seonggok sampah. Sekarang aku masih harus menerima penolakkan dari keluargaku sendiri, ketika tau bahwa aku mengajukan gugatan cerai pada Mas Ardhi-suamiku.

"Dasar pembuat malu! Kamu taruh di mana otakmu itu? Mau buat Bapak dan Ibumu ini mati karena malu!?" wajah Bapak memerah meneriakiku, anaknya sendiri. Bapak seperti tidak peduli dengan pandangan tetangga yang sejak tadi menontoni drama keluarga kami. Dia terlanjur dipenuhi amarah ketika tau aku yang merupakan putri satu-satunya hendak mengajukan gugatan cerai atas suamiku. Dalam kamus hidup Bapak, perceraian itu dilarang. Semua itu hanya akan membuat malu dirinya layaknya sedang menyentuh kotoran di depan banyak orang. Namun, saat ini justru putrinya sendiri yang sekarang melemparkan kotoran itu ke wajahnya.

Ibu melihatku dengan tatapan sendu, dia sungguh terlihat beberapa kali ingin memelukku. Aku sadar jika Ibu melakukannya, itu hanya akan membuat Bapak makin marah. Ditambah, baik Kakakku Dimas maupun Rifky tidak berniat membelaku sedikitpun karena aku terang-terangan mengatakan akan menggugat Mas Ardhi yang merupakan sahabat keduanya.

Hanya Jendra si bungsu yang hatinya tersentuh dan membantuku berdiri serta membersihkan tanah yang menempel di pakaianku.

"Bapak, berhenti! Biar Teh Dara jelaskan semuanya dulu," Jendra membalas tatapan Bapak yang ikut menatapnya marah, beruntung saat Bapak hendak melempar batu yang dia ambil di depannya ke arah Jendra, Ibu menahan lengan Bapak.

"Istighfar Pak!"

Aku tak berhenti menangis terisak penuh pilu, hatiku rasanya hancur. Bukan aku yang bersalah di sini, tapi kenapa aku diperlakukan layaknya orang yang sudah melakukan hal yang hina. Aku hanya sudah tidak sanggup lagi, aku ingin berpisah dari Mas Ardhi.

"Jen, Teteh nggak apa-apa, kamu jangan melawan Bapak," Sambil mengatakan itu, aku mengusap air mataku yang terus saja lolos jatuh ke tanah. Pipiku sudah basah, kerudungku entah terlempar ke mana karena tadi Bapak sempat menjambak rambutku dan melemparkan kerudung tersebut sembarang arah.

"Pergi kamu dari rumahku! Jangan pernah injakkan kaki kotormu itu di rumahku tanpa ditemani suamimu. Haram hukumnya rumahku didatangi oleh pembuat malu sepertimu!" telunjuk Bapak menunjuk tepat di wajahku, hatiku mengilu seperti sedang ditusuk oleh sebuah pisau yang tajam.

Mendengar hal itu, Ibu sekuat tenaga menahan Bapak yang lagi-lagi hendak memukulku. "Bapak! Istighfar! Dara, bersihkan pakaian kamu. Masuk ke kamar!"

Dengan langkah gontai aku memungut semua barangku dan menggeleng sambil tersenyum pada Ibu. Aku menarik koper yang dilemparkan oleh Bapak. Tanganku sempat ditahan oleh Jendra, tapi aku hanya tersenyum dan mengatakan padanya bahwa aku hanya ingin pergi sementara menenangkan pikiranku. Aku ingin menghilangkan rasa ngilu yang teramat sakit di hati ini, di waktu yang berdekatan aku dikhianati, dibuang dan direndahkan oleh orang terdekatku sendiri.

Sambil terus berjalan meski tertatih, tanganku terulur mengusap perutku yang terlihat datar dan berucap lirih sambil mencoba menahan desakkan air mata yang menumpuk di pelupuk mataku. "Bunda minta maaf ya nak."

***

Hai guys! Ini cerita pertamaku.

Boleh dong aku minta komentar SPAM NEXT, hehehe ❤

Ayo Rujuk!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang