• MUFFIN

166 52 0
                                    

MUFFIN

"Semuanya tidak ada yang kebetulan. Tuhan yang menakdirkan, dan kita yang hanya mengikuti alurnya saja."

***

•••

DEG-degan, takut, gugup, semua dirasakan Nadira saat ini. Menurut alamat yang di berikan Khansa, rumah besar di depannya ini seharusnya memang rumah Andra. Sedari tadi Nadira hanya berdiam diri di mobil. Tidak ada niatan untuk keluar sama sekali.

Bagaimana ini? Bagaimana kalau Andra mengira yang tidak-tidak? Apa pikiran Andra nantinya, jika sahabat kekasihnya memberikan sesuatu tanpa ada rangka acara apapun? Pasti Andra akan berpikir macam-macam tentangnya. Terburuk, Nadira semakin takut kalau Andra akan berpikir Nadira adalah sosok perempuan genit yang tidak tahu malu datang ke rumah pacar sahabatnya sendiri dengan memberikan kue.

“Lo emang benar-benar bikin gue susah, Sa!” Nadira merutuk. Dia memutuskan untuk keluar dari mobilnya.

Menghela napas, Nadira berjalan perlahan. Menatap pagar hitam dengan ukiran indah yang menjulang tinggi. Seorang security berjalan menghampiri Nadira lalu berhenti tepat di depan pagar.

“Halo, Mbak? Ada perlu? Mau cari siapa?”

“Saya mau ketemu Andra, Pak.”

"Nama Mbak siapa? Mbak siapanya den Andra?"

"Saya Nadira. Teman sekolahnya Andra."

Security itu mengangguk sekilas. "Sebentar ya, Mbak..."

Nadira mengangguk ketika security itu menghubungi seseorang lewat walkie talkie. Tampak sedang mengkonfirmasi kehadirannya pada sang pemilik rumah. Nadira bisa melihat ada dua security yang menjaga gerbang. Satunya sedang berada di dalam pos.

"Ayo, silakan masuk, Mbak.." Pintu gerbang dibuka. Nadira mengangguk dan langsung buru-buru masuk ke dalam mobil, hendak memasukkan mobilnya juga.

Besar, megah, mewah. Bangunan rumahnya tampak indah. Banyak tanaman asri dan segar yang berjejer di halaman rumah. Sangat teduh dan nyaman. Nadira keluar dari mobil, tidak lupa sambil menenteng sebuah plastik.

Pintu utama dibuka, Nadira langsung berhenti melangkah. Menatap Andra yang tengah berjalan ke arahnya. Cowok itu hanya memakai kaos lengan pendek abu-abu dan celana hitam pendek.

"Nadira?"

"Eh? Ndra?"

"Lo ada perlu apa?"

"Ini..." Nadira menatap sebuah plastik berisi kue bolu ditangannya. "Gue.., cuma mau kasih ini buat lo. Kue bolu, semoga lo suka."

Andra menaikkan satu alisnya. Tangannya mengambil alih plastik yang sengaja di berikan Nadira. Menatap Nadira beberapa detik kemudian tersenyum.

"Serius? Makasih, loh! Kebetulan, gue juga suka bolu." Andra melihat Nadira yang tampak gusar sendiri. "Masuk dulu, Nad."

Nadira mengangguk, mengikuti langkah Andra ke dalam rumah. "Lo sendirian?"

Andra menggeleng. "Ada Mama sama Papa di dalam.”

Mampus. Mampus. Mampus.

Nadira ingin kabur saja rasanya. Tapi tidak sopan kalau langsung pergi begitu saja. Jadi dia terpaksa ikut masuk ke dalam rumah Andra.

"Andra, ini siapa, Nak?" Seorang wanita paruh baya yang tengah duduk di sofa langsung bangkit berdiri. Sangat cantik sampai-sampai Nadira tidak berhenti memperhatikannya.

"Teman sekolah aku Ma, Nadira."

Mama Andra—Kirana, langsung tersenyum manis ketika Nadira menyalami tangannya sopan. "Nadira, ayo duduk dulu."

"Makasih, Tante.."

"Nadira bawa kue bolu, Ma." Andra menyerahkan kantung plastik berisi bolu itu kepada Kirana.

Masih dengan senyum, Kirana bertanya. "Buatan Nadira?"

Dengan ragu Nadira menganggukkan kepalanya. "I-iya buatan aku, Tan."

"Repot-repot kamu. Makasih, yaa. Sebentar, Tante taruh bolunya di piring dulu." Setelahnya Kirana pamit pergi hendak ke dapur.

Canggung.

Nadira bertanya-tanya. Apa dia dan Andra jika bertemu sudah ditakdirkan untuk diam-diaman, ya? Bahkan Andra yang terkenal friendly saja selalu tidak punya topik yang harus dibahas setiap bertemu Nadira.

Nadira bergerak tidak nyaman. Andra menyadarinya, menoleh ke arah gadis itu. "Kenapa?"

"Hm?" Nadira menggeleng.

"Lo setiap ketemu gue, selalu gak bisa diam, ya?"

LOH LOH LOH?!

Mata Nadira membulat. Badannya langsung tegang seketika. Memangnya iya dia pencicilan? Perasaan dia diam-diam saja. Enggak lari-lari, atau joget-joget, jungkir balik, teriak-teriak kesetanan dan melakukan atraksi juga tidak. Meski jantungnya selalu jumpalitan begini. Kok bisa ya, Andra berpikir seperti tadi?

"Maksud lo gimana? Gue diam aja, kok! Emang dari tadi gue ngapain?"

Andra tertawa saat mendapati nada panik dari suara Nadira. Dia menggeleng pelan. "Gue sadar kok, kalau dari tadi lo gugup.”

"Oh e-enggak." Nadira menggeleng. "Gugup apaan gugup? Enggaklah n-ngapain gue gugup?" Lalu Nadira meringis ketika menyadari, dia baru saja berbicara dengan gagap.

Andra mengangguk-angguk. "Salting kalau gitu?"

"ENGGAK! Enggak salting juga!" Nadira menyangkal keras ketika Andra semakin terbahak.

Panas. Pipinya benar-benar panas dengan semburat merah tampak muncul samar-samar. Nadira menunduk dalam. Suasana apa ini? Nadira tidak suka. Benar-benar bingung harus bertingkah bagaimana?

Ingat pacar orang, pacar orang, pacar orang!

"By the way, lo tahu alamat rumah gue dari mana?"

"Dari—"

"Loh, Nadira Ravelia?"

Suara bernada panggilan itu membuat Nadira menoleh. Menatap seorang Pria dewasa yang dikenalinya, Nadira buru-buru bangkit berdiri.

"Om Andreas?" Nadira menyalami tangan Andreas, selanjutnya dia mundur selangkah.

"Wohoo, Om udah lama banget gak ketemu kamu! Udah gak pernah main ke kantor Andrew lagi?"

"Papa kenal Nadira?" Pertanyaan Andra membuat Nadira dan Andreas menoleh.

"Kenal, lah! Nadira ini, anaknya teman sebisnis Papa..."

Tidak ada yang tahu bahwa Nadira anak dari keluarga pendonor dana sekolah terbesar di SMA Haleef, dan pemilik kampus terfavorit. SMA Haleef juga menjalin koneksi dengan rektor kampus idaman pemilik keluarga Anderson. Perusahaan besar dan bercabang milik Anderson Group sudah sangat dikenali.

Kalau dibilang kenal Andreas atau tidak, Nadira pasti akan menjawab, kenal! Andreas—CEO pemilik Garendra Group. Salah satu perusahaan yang sudah menjalin hubungan kerja sama bertahun-tahun dengan perusahaan Andrew—Anderson Group. Bagaimana bisa sekebetulan ini?!

Andra Rovalno Garendra. Astaga, astaga. Bodoh sekali Nadira, sampai-sampai tidak menyadari bahwa marga Andra juga 'Garendra'. Garendra Group juga tidak kalah terkenal. Tapi bahkan Nadira baru mengetahui latar belakang keluarga Andra sekarang.

Lagi, Nadira hanya diam, tidak tahu harus apa ketika Andreas menjelaskan tentang siapa Nadira ini dan ada hubungan apa perusahaan Andreas dengan keluarga Nadira kepada Andra.

Nadira meringis pelan ketika Andra melihatnya dengan tatapan terkejut. Tatapan keduanya lalu teralih kembali pada Andreas yang tampak terburu-buru sebab ada urusan mendadak, berpamitan, lalu pergi. Nadira dan Andra kembali duduk.

"Gue benar-benar gak nyangka, kalau lo anaknya Om Andrew. Papa bilang, dulu Papa sama Om Andrew tuh teman SMA. Jadi gue juga udah kenal lama sama Om Andrew."

Nadira mengangguk. Dia pun sama, juga tidak menyangka.

"Ayo-ayo dimakan dulu ini..."

Suara yang terdengar itu kembali mengalihkan pandangan Nadira dan Andra. Mereka kompak melihat Kirana yang tampak membawa nampan berisi sepiring kue bolu dan segelas air putih, lalu meletakkannya di atas meja. Kemudian Kirana ikut duduk.

“Nadira, tadi Tante udah cicipin bolu buatan kamu. Enak banget, Tante sukaa!!"

Nada antusias itu sesaat membuat Nadira merasa bersalah, namun tak urung dia juga mengangguk, mengucapkan terima kasih.


***

NANDRA | END ✓ |Where stories live. Discover now