Cangkir 9

214 25 0
                                    

Dua Hati

"Akan selalu ada yang baru, tapi yang lama tetap terindah."

***

Kami duduk mengelilingi gerobak makanan pinggir jalan, menunggu pesanan kami siap disajikan. Kin duduk di paling pojok, terus aku dan Arfan, disusul keempat teman se-band Arfan yang asik mengobrol sedari tadi. Aku sedikit khawatir dan merasa nggak enak sama Kin, harus bergabung dengan teman-temanku dan makan di pinggir jalan seperti ini. Sebenarnya kami berdua lumayan sering makan di tempat seperti ini. Tapi, itu dulu.

"Lo nggak apa makan di tempat kaya gini?" celetuk Arfan mewakilkan pikiranku.

"It's ok. Gue nggak sekolot itu," balas Kin.

"Oh iya, Fo!" Kini dia bicara padaku, "lo nggak lupa kan pertandingan basket minggu depan? Kita melawan anak fakultas olahraga. Pokoknya lo harus ikut, kalau nggak kita pasti kalah."

"Oh, pertandingan itu minggu depan, ya? Gue hampir lupa."

"Tumben lo. Biasanya paling semangat kalau soal basket."

Di tengah perbincangan kami pesanan datang. Bapak pedagang menaruh piring nasi goreng di hadapanku dan Kin, mie goreng untuk Arfan, dua piring lalapan ayam untuk si keyboardis dan basis, serta pecel lele untuk si drumer dan gitaris. Serta es teh untuk semua. Well, untuk pedagang pinggir jalan si Bapak cukup hafal untuk mengingat pesanan. Keren.

Saat malam begini emang lebih enak makan yang anget-anget macam nasi goreng spesial telur dadar ini. Sebelum makan kupindahin telur dadarku ke piring Kin-dulu dia itu suka telur dadar.

"What are you doing?" ucapnya pelan.

"Bersikap romantis," bisikku.

"Banyak teman lo di sini, jangan macam-macam," tegasnya sambil melirik teman se-band Arfan yang sedang asyik mengobrol.

"Tenang aja," ucapku sambil menyendok nasi.

"Btw," Arfan mengajakku bicara lagi, "skripsi lo udah sampai mana?"

"Masih proses. Nanti gue lihat punya lo, ya?"

Arfan terus saja mengajakku bicara, hingga aku harus pintar-pintar menyelip untuk mengobrol dengan Kin. Aku tahu, Kin itu orangnya sulit bergaul. Jadi butuh pancingan buat ngobrol bebas. Tapi, sepertinya Arfan nggak biarin aku ngobrol dengan Kin. Dia terus saja mengoceh, padahal mulutnya penuh makanan. Begitu terus sampai makananku dan Arfan hampir habis, sementara empat orang di sebelah sana sudah mulai merokok. Kulirik piring Kin yang masih penuh, nyaris tak tersentuh. Sebelum aku bertanya lagi-lagi Arfan mendahuluiku.

"Kayaknya benar, lo nggak suka makanan pinggir jalan. Lebih baik cari restoran berbintang sana?"

Aku melotot padanya. Apa-apaan dengan pertanyaan itu?

"Mendengar ocehan lo udah buat gue kenyang," balas Kin tak mau kalah.

What the hell is going on? Aku berasa duduk diantara dua balok es. Ini bukan seperti Kin biasanya, juga bukan Arfan yang kukenal. Mereka perang dingin. Sudah kuduga, pasti ada yang disembunyikan.

"Oke, jadi lo nggak suka makan di pinggir jalan dan orang-orangnya," Arfan menarik kesimpulan seenak jidat.

"Cowok mana yang nyerocos dengan mulut penuh makanan?" Kin juga terdengar menahan emosi.

Aku nggak tahan lagi. "Udah, ah! Apa-apaan, sih, kalian?" Aku menoleh ke mereka bergantian. "Gue pikir kalian akrab?"

"Mr. Ferrari nggak akan mau berteman dengan orang sepertiku, Fo," sahut Arfan sinis.

[BL] Stay With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang