Cangkir Kin Part 2

122 14 0
                                    

"Jatuh cinta adalah anugerah Tuhan untuk membuat perasaan hamba-Nya menjadi bahagia."
~Unknown

***

Aku mengira kalau diriku itu bijak, padahal sangatlah egois. Begitu naif dan bodoh. Sebenarnya apa itu cinta? Aku tak tahu harus menjadi apa, seorang kekasih atau hamba yang taat.

Selama tujuh tahun di Amerika aku banyak berpikir tentang cinta. Aku kita aku akan baik-baik saja dan melalui ujian cinta ini dengan damai, nyatanya aku salah. Semakin aku menjauh dari Refo semakin aku tercabik-cabik oleh perasaan sendiri. Semakin ditolak semakin dalam. Aku sangat membenci keadaan itu.

Awalnya aku merasa akan baik-baik saja, asalkan kusimpan perkara ini dalam diriku sendiri dan tak memberi tahu siapa pun. Tapi, pemikiran ini salah. Perkara yang kusimpan sendiri ini malah membuatku makin hancur, aku semakin terbawa oleh cara pikirku sendiri, yang membawaku semakin membenci diriku sendiri. Aku tahu aku tak bisa menyalahkan Tuhan, jadi aku makin menyalahkan diriku sendiri.

Aku dan Refo mempunyai banyak perbedaan. Aku seorang Kristen dan dia adalah Muslim. Kami sama-sama meyakini apa yang kitab kami ajarkan. Menjalin hubungan sesama jenis itu dilarang. Namun kami terlalu dibutakan oleh cinta.

Sampai sekarang, di setiap malam ketika hendak mau tidur aku sering bertanya "Kenapa, Tuhan?" Aku tahu bagaimana rasanya ingin menyerah dengan Injil, merasa firman Tuhan sulit, tidak relevan, dan tidak masuk akal untuk orang-orang sepertiku.

Aku sempat berpikir Tuhan tak memberiku bahagia atas cinta. Sesuatu yang terasa alami bagiku malah dibenci-Nya. Aku terus bimbang, mengejar cinta dunia yang membuatku amat bahagia, atau berjalan berdarah-darah di jalan-Nya.

Aku hanya ingin bahagia.

Keinginan itulah yang membuatku memeluk Refo. Membiarkannya menerobos kamarku malam itu, dan menelanjangiku dengan indah. Malam itu adalah malam terbaik dalam hidupku. Aku bahagia.

Di balik semua drama dan pergumulanku, harus kukatakan kalau aku amat sangat mencintai "Cowok Lavender" itu.

Tanpa kusadari aku makin larut dalam hubunganku dan Refo. Aku menjadi sangat naif dan menginginkan lebih. Bahkan saat Mama memergokiku untuk kedua kali aku masih nggak mau meninggalkannya.

Malam harinya aku tak sengaja mendengar obrolan Mama dan Papa. Saat itu aku baru saja menidurkan adik kecilku, membacakan dongeng hingga Meimei tertidur. Aku merasa haus, jadi aku turun ke lantai satu untuk mengambil minum. Tapi, di sana ada Papa dan Mama yang sedang mengobrol, aku terhenti di sudut ruang saat menyadari yang mereka bahas adalah aku.

"Menurutmu menyuruh Kin ke Amerika adalah hal yang tepat? Apa yang selama ini kita lakukan untuk anak itu adalah benar?" gumam Mama murung.

Papa yang sedang duduk di meja makan juga terlihat lesu. Memutar-mutar gelasnya dengan lemas. "Aku hanya tidak ingin anak itu terluka lagi. Dulu aku merasa bahwa menitipkannya pada pamannya di New York adalah tempat yang cocok untuk berlindung. Jika dia bertahan di sini dia nggak akan mampu menghadapi lingkungan sekolahnya lagi. Aku pikir mengirimnya ke tempat asing adalah hal yang tepat."

Mama mengela nafas panjang, terlihat sangat putus asa di dekat lemari makanan. "Bukankah tempat berlindung adalah keluarga? Selama ini kita telah gagal menjadi rumah putra kita. Aku gagal menjadi seorang ibu." Dan Mama mulai menangis.

Melihat itu Papa meletakkan gelasnya, berdiri dan memeluk Mama. "Ini bukan salahmu. Akulah yang gagal mendidiknya."

Aku menyandarkan diri ke dinding. Aku meremas jemari dengan gelisah. Nafasku tercekat. Aku benar-benar kalut dengan segalanya. Aku ingin marah pada keadaan. Mengapa hidup nggak bisa berjalan dengan tenang, adem ayem. Mengapa semuanya makin kacau.

[BL] Stay With YouWhere stories live. Discover now