BAB 2B : TITIK TAUT

248 192 113
                                    

WARNING!!!
Bagian Ending bikin creepy 😬

Tak terasa, masa-masa sekolah akan berakhir untukku. Semua memiliki kesibukannya masing-masing tiap kelas menjelang hari kelulusan. Kami para anggota OSIS sore ini akan kumpul-kumpul sesuai ide Ujang 2 minggu yang lalu.

Aku berpamitan dengan Bapak dan Putri sudah menungguku di depan pagar. Katanya sihh mau sama-sama ke taman biar ngga keliatan jomblonya.

Dari kejauhan, Ujang melambaikan tangannya. Kalau sudah sore, di taman sangat banyak orang-orang berdatangan dengan berbagai aktivitas masing-masing. Kadang, membawa beban di pundak hanya untuk menyapa matahari sebelum pulang dari tugasnya.

Putri langsung berjalan cepat ke arah Ujang dan teman-teman. Aku dari belakang masih bisa melihat mereka sangat bersemangat mempersiapkan semuanya.

"Yukk guys, kita kumpulin semua makanan yang udah kalian bawa ke tengah. Dibuka aja makanannya semua." perintah Ujang.

"Ehh... jangan pada makan duluan yee... gue mau upload dulu nihh ke sosmed." sahut Putri.

"Ya udah. Yang lain juga kalo mau agak cepetan ya. Ntar keburu hilang lagi sunset nya." jawab Ujang.

Semuanya menikmati sambil bercerita satu sama lain. Beberapa lama kemudian, terdengar suara telepon.

Tertulis dari Dimas.

Mengingat kejadian yang aku katakan pada Bapak, sempat membuatku terdiam sejenak.

"Kenapa nggak diangkat?" tanya Putri.

"Anu... nggak papa kok. Cuma nomor aja soalnya."

Nada dering mati.

Rasa gelisah bercampur aduk. Dimas pasti tau ada sesaatu yang tidak beres. Tak seperti biasanya.

Nada dering kembali terdengar. Dan sekali lagi, aku tau itu dari Dimas. Putri melirikku seakan matanya mencoba berbicara "ANGKAT!". Aku berdiri dan berjalan agak jauh dari teman-teman, lalu mengangkat telepon.

"Masalah jaringan ya?" langsung tanya Dimas.

"Emm... nggak kok. Tadi lagi ngumpul-ngumpul jadi suara teleponnya nggak kedengeran."

"Iya, aku tau kok. Di taman kan?"

Aneh. Pikiranku berkata aneh. Mengapa Dimas tau kalau aku di taman? Apa Dimas mendengar semua percakapan kami saat di kantin dengan Ujang?

"Coba dehh kamu balik belakang."

Hatiku makin tak karuan. Aku tau Dimas adalah orang yang selalu membuat kejutan di setiap saat. Aku terbiasa, tapi kali ini tidak. Dan benar saja, Dimas di belakangku dengan bungkusan berisi makanan.

"SURPRISE!!!"

Cukup terkejut, namun tak ada reaksi. Dimas yang awalnya penuh semangat, kini heran melihatku terdiam. Sedikit menaikkan kedua alis dan melihatku tanda bertanya.

"Kok diem? Aku ganggu kamu ya?"

"Ohh, nggak. Ada apa Dim?" tanyaku tersenyum tipis.

"Kok tanya ada apa. Nggak biasanya kamu gini. Aku beneran ganggu kamu?" tanya Dimas melirikku.

"Dim, aku nggak enak ninggalin temen-temen. Kalo mau ketemu, abis ini aja."

Alasan. Aku tau ini alasan. Dan aku tau, Dimas paham ada yang berbeda denganku. Tidak banyak bicara, Dimas meraih tanganku, memberi bungkusan berisi makanan lalu pergi. Tidak begitu jauh, tapi aku masih bisa melihat punggungnya. Apakah yang sudah kulakukan ini benar? Maksud dari semua ini adalah, apakah aku masih ingin bersama Dimas? Pernyataanku kepada Bapak bukanlah sebuah permainan. Lalu, untuk apa aku memberi harapan kepada seseorang dengan akhir yang tak diinginkan?

"Dim! DIMAS!" teriakku keras.

Dimas terhenti dan berbalik melihatku. Yang awalnya aku jalan perlahan, semakin cepat dan lari ke arahnya. Napas masih tersengal-sengal, kucoba sekuat tenaga mengatakannya.

"Dim, kita nggak bisa sama-sama lagi sekarang."

Dimas terdiam. Mengerutkan mata dengan tatapan bingung.

"Maksud kamu Nez? Kamu lagi bercanda kan?"

"DIM, UDAH! Aku serius. Kita harus berhenti sekarang Dim."

Diam sejenak. Dimas terus melihatku. Aku sadar, di sini akulah yang paling cemen. Bahkan sangat sulit untuk menatap matanya.

"Kita, atau kamu Nez yang nggak bisa?"

Mendengar perkataan Dimas seketika membuatku mematung. Seperti panah yang dilempar, dan sangat pas menancap. Bahkan untuk membalas pernyataan Dimas pun tak mampu. Karena apa yang diucapkannya adalah benar.
Mata tidak bisa di ajak kompromi, mereka mulai memainkan perannya. Air mata mulai menggenang seakan-akan siap meluncur.
Aku membalikkan badanku cepat, lalu pergi. Aku sadar, kalau ini egois dan nggak adil buat Dimas. Tapi inilah akhir yang baik untuk kita.

***

Gimana, masih mau lanjut??
Bab selanjutnya makin greget karna buanyak perkonflik, ditambah gambaran Aksa nanti.. 🤫

See u ☺

KEPENTOK JODOH [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang