BAB 6B : PROSES

205 107 330
                                    

Happy membaca mazsehh~
👍


"Dim..."

Aku mencoba memanggil Dimas yang masih terdiam melihat Aksa. Bagaimana tidak, Aksa keluar hanya menggunakan handuk sepinggul dan bertelanjang dada. Tatapan dingin yang Dimas berikan sangat mengintimidasi. Baru pertama kalinya aku melihat Dimas begini. Dan itu membuatku takut.

"Nez, ikut aku keluar sebentar." ucap Dimas datar.

Sedikitpun Dimas tidak lepas pandangannya dari Aksa. Dan selanjutnya? Aksa tersenyum miring seakan menantang Dimas. Dimas membawaku ke teras rumah.

"Kamu sering liat dia begituan?" tanya Dimas.

"Aku juga kaget Dim. Dia nggak pernah se-terbuka itu sebelumnya." jawabku.

"Nez. Kamu tuh cewek. Aku tau kalian udah nikah secara hukum, tapi aku ini tetap pacar kamu. Aku khawatir kamu kenapa-napa serumah sama dia."

"Kamu tenang dulu. Aksa juga punya pacar Dim."

"Tapi aku ini cowok Nez. Aku paham gimana otak cowok. Dan kamu liat sendiri kan tadi? Dia keluar kamar mandi, dibalut sehelai kain di dalam rumah yang cuma ada seorang cewek sendirian. Kamu kira aku nggak khawatir sebagai pacar kamu?" jelas Dimas.

"Dimas, please... masalah kayak gini nggak usah dibesar-besarin. Percaya aja sama aku bisa kan?"

Dimas hanya menghela napas, lalu mengangguk pelan.

"Aku pagi-pagi ke sini mau ngajak kamu ngecek bareng-bareng tempat kerja baru di Kafe X. Aku diterima jadi barista di sana. Aku pikir ngajak kamu ke sana sekalian ngobrol-ngobrol sebentar." papar Dimas.

"Oke. Aku siap-siap dulu."

Di teras depan, Dimas duduk menungguku bersiap-siap. Tak lama kemudian Aksa keluar dengan setelan sweater hitam bersiap pergi bersama MoGe-nya. Aksa dan Dimas kembali bertatapan beberapa saat.

"Tenang aja bro. Nggak bakalan gue apa-apain cewek lo. Gue juga ogah sama dia. Tapi yang tadi malam, it was a mistake." celetuk Aksa sambil tersenyum miring.

Aksa berjalan menaiki MoGe-nya.

Di belakang pintu, aku mendengar semua perkataan Aksa. Kaget. Kenapa kejadian mabuk dia ungkit lagi. Dan di hadapan Dimas???
Atmosfer disekitar Dimas sangat mengerikan. Bahkan kepalan tangannya sudah siap melayang ke arah Aksa. Dengan sigap, aku langsung meraih tangan Dimas.

"Dim! Aku udah siap."

Dimas terhenti sejenak ke arahku. Lalu, aku mengajaknya segera pergi dari rumah. Masih bisa kudengar, suara napas Dimas yang naik turun begitu cepat menoleh ke arah Aksa.

Sepanjang perjalanan kami sangat hening. Yang biasanya sibuk bercanda gurau, kini hanya terdengar suara bisingnya jalan raya. Aku sadar, Dimas berhak marah apa yang terjadi.

Sesampainya di Kafe X, Dimas langsung menyapa rekan kerja di sana dan menuntunku menuju meja pertama.

"Hari ini jadwal aku kena shift malam, jadi kita bisa ngobrol lebih lama." jelas Dimas datar.

"Dim, kamu masih marah soal tadi?" tanyaku pelan.

"Kenapa kamu nggak pindah aja sih dari rumah itu? Bahaya tau nggak cowok model begituan. Atau aku bantu cari kosan dekat kampus kamu nanti?"

"Nggak bisa Dim. Oma Aksa bisa dateng kapan aja. Dan kamu nggak perlu khawatir yang berlebihan. Aku bisa jaga diri aku sendiri." tegasku.

Terdiam sejenak. Aku tau Dimas ingin membantuku, tapi aku tidak ingin dia terlibat lebih jauh. Cukup aku saja yang menyelesaikannya. Aku nggak mau nyusahin Dimas dengan keadaannya sekarang.

KEPENTOK JODOH [ON GOING]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz