PROLOG

582 20 29
                                    

Langkah santai itu membawanya ke dalam toilet. Beberapa saat setelah masuk, ia dibuat melotot ketika melihat seorang gadis yang memuntahkan isi perut. Tanpa berpikir lagi, cepat-cepat ia berlari untuk membantu.

Usapan lembut terus disalurkan pada punggung siswi yang bahkan tak dikenalinya. Pandangannya dialihkan ke arah cermin, saat siswi itu tengah berusaha keras memuntahkan gejolak tak enak di dalam tubuh.

Bayangan seseorang di samping kanan terlihat dari cermin. Rea menoleh memastikan bahwa dugannya tidak salah.

Benar saja. Rasa terkejut pun tak ragu untuk menyerang dengan luar biasa. Bagaimana bisa gadis itu malah bercermin santai sambil merapikan rambut? Seolah matanya telah buta, pendengarannya tuli, dan hatinya benar-benar mati tidak peduli.

Mereka mengenakan baju olahraga. Rea tahu di jam pagi di hari ini, hanya ada satu kelas yang pembelajarannya olahraga. Mereka sekelas. Mereka dua orang dalam ruangan yang sama.

Seharusnya Rea tak mempertanyakan. Namun apakah kembarannya memang tak ada getaran dalam memanusiakan manusia?

Wajahnya mulai memerah menahan amarah. Rea belum sudi melontarkan satu kalimat pun pada gadis penghancur hidupnya.

Tepukan dari gadis di samping kirinya membuat Rea kembali menoleh. Ia melihatnya tengah mengatur nafas seperti menahan agar tidak ada lagi yang dimuntahkan.

"Gue bawa lo ke UKS sekarang, ya." Mendapatkan anggukan tanda persetujuan, Rea pun memilih untuk segera membawanya berjalan menuju UKS untuk diobati. Berjalan pergi dari kembarannya yang kini memandang dari belakang dengan tatapan datar.

Baru saja dua langkah kakinya bergerak, ia teringat bahwa beberapa menit tadi bel masuk sudah dibunyikan. Rea menghentikan sejenak langkahnya sambil berpikir apa keputusan yang akan ia pilih. Terus berjalan menuju UKS membawa gadis yang sudah nampak kehilangan daya untuk sekedar berjalan, atau berbalik arah menuju kelas?

Rea mendengar dari salah satu teman sekelasnya bahwa guru pelajaran Bahasa Inggris itu tidak akan hadir. Lagi pula mana mungkin Rea setega Zio yang akan membiarkan orang lain dalam kondisi membutuhkan bantuan.

Kurang lebih lima menit lamanya Rea berjalan sambil membantu siswi lain berjalan, kini tubuhnya telah sampai ke depan pintu ruang UKS.

Terlebih dulu ia mengetuk pintu. Lalu masuk setelah mendengar suara perawat di sana memersilakan.

Perawat itu segera membantu Rea membawa siswi yang sakit tadi untuk dibaringkan ke atas ranjang.

"Tolong bantu obatin, Bu," ucap Rea setelahnya.

"Iya, Rea. Kamu masuk aja ke kelas. Bel udah bunyi, 'kan?" Rea mengangguk mengiyakan.

"Iya. Kalo gitu Rea pamit. Makasih, Bu," ucapnya lalu segera berlari keluar. Sebelumnya ia sempat memberikan senyuman sopan.

Kini fokus Rea tertuju pada kecepatan larinya. Entahlah, ia memiliki firasat bahwa guru Bahasa Inggris itu sudah datang.

Langkahnya sudah terhenti tepat di depan pintu kelas. Ia menetralkan napas, menenangkan diri karena pintu sudah ditutup rapat.

Suara seorang guru wanita pun terdengar. Itu artinya kegiatan pembelajaran memang sudah dilaksanakan. Firasatnya tak bohong.

Diamond & CrystalWhere stories live. Discover now