- kacau

1.7K 270 47
                                    

Berulang kali di patahkan oleh sebuah kenyataan—— Angkasa merasa semakin kacau. Lega justru tak kunjung singgah tatkala ia sudah berhasil mengatakan separuh dari isi hatinya, luka yang sempat ia tutup rapat di dasar hati kini mengudara menghantarkan sesak yang memenuhi ruang di dadanya. Angkasa tak mengerti mengapa takdir suka sekali bercanda kepadanya, seringkali membuatnya terus terjatuh bahkan ketika ia masih mencoba untuk berdiri dengan tegap; rasa sakit dari berita perselingkuhan ayah yang ia dengar tempo lalu bahkan masih basah dan kini malah seperti disiram oleh air garam ketika melihat ibu dan para kakaknya. Kepercayaan dan kesempatan yang ia berikan hanya berujung pada sebuah kesia-siaan, Angkasa pikir petaka akan berhenti tepat setelah ayah mulai berubah pun ia mulai mencoba memaafkan semua kesalahannya sekaligus kesalahan ibu, tapi faktanya, yang terjadi malah semakin kacau.

Bara bilang; yang paling sulit itu adalah menerima bukan memaafkan. Angkasa mungkin sudah memaafkan semua kesalahan yang ibu lakukan dulu, tapi sayangnya Angkasa belum mampu menerima keadaan yang terjadi di masa lalu, mungkin itulah sebabnya lukanya tidak benar-benar sembuh atau justru masih utuh. Barangkali, ribuan kesempatan yang selalu ia berikan hanyalah bentuk dari sebuah rasa kasih sayang sekaligus terima kasih, bukan datang dari sebuah ketulusan. Terkadang Angkasa merasa sangat jahat karena masih menyimpan benci terhadap ibu, tapi disisi lain rasa sakit hatinya tak kunjung terobati.

Angkasa kelelahan dan ini sudah saatnya ia beristirahat. Angin pantai malam itu tak membuat Angkasa sadar akan apa yang sedang ia lakukan, tatapannya kosong dan ia terus melangkahkan kakinya hingga sampai di bibir pantai, celana bagian bawahnya basah dan sedikit demi sedikit menyebar sampai ke pinggang. Angkasa mendonggak menatap langit malam, beralih pada pantulan bulan di hamparan laut luas. Otaknya tidak berfungsi dengan baik ketika ia terus melangkah untuk menyebrangi lautan, hanya mengikuti kata dalam pikirannya yang terus mengatakan untuk menenggelamkan diri, dan Angkasa seakan terhipnotis secara otomatis mengikutinya dan mulai menenggelamkan keseluruhan tubuhnya hingga hilang dalam permukaan air.

Kedua mata bulatnya terpejam rapat, Angkasa dapat merasakan arus menariknya semakin dalam menuju ke dasar. Mungkin berita kepergiannya akan menyebar esok pagi, lalu menguap begitu saja seminggu kemudian. Angkasa yakin ayah dan para kakaknya akan mengurus ini secepatnya, lalu ibu, ibu, dia...- Angkasa berhenti berbisik, kedua matanya terbuka secara sempurna—— seakan-akan baru tersadar ketika bayangan wajah ibu memenuhi kepalanya, ia melirik ke sekitarnya meski kesusahan lalu buru-buru berenang ke permukaan sebelum ia kehabisan napas.

Angkasa terduduk lemas di atas pasir, napasnya memburu secara acak—— ia hampir saja mati. Kedua lututnya di tekuk rapat, Angkasa menyembunyikan kepalanya pada lipatan kedua tangannya dan mulai menangis, mencoba melampiaskan apapun yang ia rasakan termasuk ketakutannya pada dirinya sendiri.

"Bodoh" Angkasa melirik, sebuah kaki jenjang tanpa sepatu berdiri tepat disebelahnya. "Lo ternyata nggak seberani itu buat mati" Cibirnya penuh sindiran, Angkasa mulai mendonggakkan kepalanya dan menemukan entitas Jovandra yang sedang menatapnya dengan ekspresi mengejek. "Oh, ternyata lo juga cengeng" Tidak peduli, Angkasa kembali menenggelamkan kepalanya di balik tangan, membiarkan air mata menuruni pipinya dengan deras seraya mencoba menahan suara isakannya meski terdengar sia-sia.

"Masa jagoan cengeng kayak gini, gimana kalo orang-orang tau?"

"Tinggalin gue sendiri!" Geram Angkasa disertai isakan tangisnya, Jovandra diam-diam menahan senyumannya sebab merasa lucu mendengar suara sang musuh bubuyutannya itu. Lantas hening kembali mendominasi, hanya ada suara tangisnya Angkasa dan deburan ombak. Angkasa pikir Jovandra benar-benar pergi, nyatanya lelaki itu malah ikut duduk di sampingnya dan membiarkan sebagain tubuhnya ikut basah juga akibat di terpa ombak. Ia melirik Angkasa, berpikir mengenai masalah apa yang sedang dihadapi oleh si musuh sampai tadi berniat untuk bunuh diri.

"Gue pikir orang berpengaruh kaya keluarga lo nggak punya masalah yang berarti sampe harus mikir buat bunuh diri" Angkasa sedikit tersentak mendengar suaranya, tapi tidak memberi respon apapun setelahnya. "Lo tau Angkasa? Terkadang gue iri sama lo, lo punya segalanya. Ekonomi terjamin, pendidikan terjamin, pinter, terkenal dan keluarga yang utuh. Kehidupan lo keliatan sempurna banget"

"Lo salah" Sambar Angkasa. Jovan membalasnya dengan mengangkat bahu acuh meski Angkasa tidak melihatnya sebab masih dalam posisi yang sama.

"Ya, setelah liat lo hampir bunuh diri kaya tadi. Gue jadi mikir ulang, ternyata lo nggak sesempurna itu" Diakhiri sebuah tawa penuh hinaan, Jovandra tidak bermaksud serius sebab ia hanya sedang berusaha menghibur dengan caranya sendiri. "Gue jadi bertanya-tanya, masalah apa yang sebenernya dimiliki oleh orang sesempurna lo? Apa terlalu berat sampe lo mikir buat bunuh diri? Atau lo yang sebenarnya terlalu lebay" Jovandra tidak mengerti kenapa ia melakukan hal ini, bertekad untuk membantu Angkasa dan sekarang berusaha untuk menghiburnya. Padahal keduanya tidak pernah akur.

Angkasa terkekeh sinis, "kehidupan gue nggak sesempurna itu Jovandra" Ia mendonggak, mengusap pipi basahnya dengan kasar kemudian menatap tajam pada Jovandra yang tidak terganggu di sampingnya. "Karena apa yang lo lihat belum tentu itu yang sebenarnya terjadi" Jovandra mengangguk-angguk tidak peduli.

"Apakah seburuk gue yang sering di siksa sama bokap?" Angkasa membulatkan matanya terkejut, sementara Jovandra balas tertawa kecil, "kaget? Iya sih, nggak ada yang tau. Nggak usah khawatir gitu lah, bokap nggak akan berani bunuh gue selama masih ada nyokap"

"Beruntungnya lo masih punya ibu"

Jovandra mengangkat sebelah alisnya kebingungan, bukankah Angkasa juga memiliki ibu? Sebab dari berita yang ia tahu, ibunya Angkasa masih hidup dan sehat. "Seenggaknya lo nggak denger kalo kelahiran lo ternyata nggak di harapkan dan sesudah itu lo berujung di lupakan" Angkasa mengalihkan tatapan, tubuhnya mulai bergetar sebab kedinginan. "Gimana rasanya disayang sama nyokap dengan tulus, Jovandra?"

"Nyokap lo nggak sayang sama lo dengan tulus?"

"Entah" Angkasa mengangkat bahunya, mengatakan dengan santai seakan-akan itu adalah kalimat yang ringan padahal efeknya justru terasa menyakitkan. "Atau gue yang terlalu menutup mata" Jovandra sebenarnya tidak mengerti dengan penjelasan Angkasa, tapi ia tidak ingin bertanya lebih jauh atau ikut campur terlalu dalam. Itu bukan ranahnya, maka ia hanya akan mendengarkan.

"I hate my self too, Jovandra. Lo nggak sedirian" 

"Tunggu, lo mau kemana?" Jovandra mencoba menahan kepergiannya, ia buru-buru ikut berdiri ketika Angkasa hendak melangkahkan kakinya dengan tubuh yang sempoyongan. "Pulang" Angkasa menjawab singkat, tubuhnya hampir terjatuh jika Jovandra tidak memegangnya.

"Gue anterin. Lo lembek banget kayak bubur" Cemoohnya. Angkasa sudah berniat untuk menolak, tapi Jovandra juga tau mau kalah. "Biarin gue yang menang kali ini, Angkasa." Ujarnya sesaat sebelum membantunya untuk berjalan ke arah parkiran mobil tempat kendaraan Jovandra di parkir, sementara motor Angkasa dibiarkan di sana untuk semalam. Jovandra berpendapat jikalau tubuh Angkasa menggigil dan menaiki motor bukanlah pilihan yang tepat, beruntungnya ia membawa mobil.

"Anterin gue ke apartnya Bara, gue ngantuk" Katanya sesaat sebelum tertidur di jok belakang dengan jaket Jovandra yang membungkus tubuhnya. Jovandra mendengus, "sialan" Makinya ketika melirik Angkasa sudah tertidur pulas, sekarang masalahnya ia tidak tahu dimana apartemen Bara berada dan secara otomatis ia harus menghubungi lelaki cerewet itu, double sial karena ia pasti akan dituduh macam-macam.





Bombland 🍀

Sisi lain dari Jovandra hehe

A M E R T AWhere stories live. Discover now