ekstra chapter;

1.1K 204 40
                                    

______

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

______

"Apa ibu merasa lebih baik sekarang?” —— Ibu menunduk sekilas, tidak buru-buru menyahut, tetapi senyumannya mengembang semakin lebar, sementara tangannya tidak berhenti mengusap penuh hati-hati kepala bungsunya yang kini berada di atas pangkuannya. Angkasa terduduk di atas lantai beralaskan karpet cantik, tepat di sebelah kedua kaki ibu yang mendudukkan diri di atas kursi panjang yang tersedia di ruang kerjanya, menghadap dinding yang kini di penuhi oleh beberapa bingkai foto baru; di susun rapih oleh ke-tujuh putranya kemarin sore, beberapa jam setelah kepulangan mereka dari salah satu studio foto ternama milik kenalannya Narendra. Sesuai permintaan ibu; pigura yang nyaris kosong lebih dari setahun itu, kini berisikan foto bersama ke-tujuh putranya, mengenakan kemeja rapih bertema hitam dan putih, tersenyum begitu lebar menghadap ke arah kamera. Sebagian pigura baru berisi foto-foto liburan mereka selama di vila milik keluarga seminggu belakangan ini.

Tepat sepuluh hari mereka tidak bertemu, namun melihat bagaimana interaksi ke-tujuh putranya saat ini, rasanya justru sudah seperti lebih dari sebulan tidak saling melihat dan bertegur sapa, padahal komunikasi lewat ponsel tidak pernah terlupakan. Tetapi, faktanya Aylin tetap saja merasa sedikit terkejut ketika mendapati rumah menjadi lebih ramai oleh obrolan, candaan, tawa bahkan perdebatan kecil. Hangat menjalar memenuhi dada. Sudah lama sekali rasanya dari terakhir kali mereka berkumpul begitu akrab seperti itu, ada rindu terpendam yang meluap begitu saja bersamaan dengan air mata haru penuh kebahagiaan. Aylin merasa penuh dan rasanya hampir meledak karena merasa senang.

“Ibu merasa tidak pernah sebaik ini” jawabnya tanpa mengalihkan pandangan dari foto ke-tujuh putranya seraya menghembuskan napas perlahan-lahan, kelopak matanya tampak berkaca-kaca. Seolah-olah air matanya tidak ada habisnya, ia kembali menangis untuk kesekian kalinya pada hari ini, sebab kesulitan untuk mengekspresikan emosi dalam dirinya yang tiba-tiba menyeruak meminta di tumpahkan.  Apa yang terjadi dan dilihatnya hari ini, melampaui ekspetasi yang sebelumnya sudah ia bayangkan. “Ibu merasa utuh, padahal sebelumnya sudah lumpuh karena ada yang hilang. Tetapi, melihat hubungan kalian yang membaik, ibu seperti memiliki banyak pegangan lagi untuk terus berjalan” lanjutnya setelah mengambil jeda cukup lama.

Aylin kembali mengukir senyumannya tatkala Angkasa mendonggakkan kepalanya hingga keduanya bertemu tatap, lengan si bungsu terulur untuk mengusap pipinya yang sudah basah, teramat lembut dan begitu hati-hati, seakan-akan yang sedang Angkasa pegang adalah benda yang mudah pecah. “Mungkin ini hadiah dari Tuhan” ujarnya. “Kehilangan ayah yang merupakan pilar keluarga barangkali membuat ibu lumpuh, tapi Tuhan mengirimkan kami untuk dijadikan penopang ibu dan sebagai obat dari setiap luka yang harus ibu terima” bukannya berhenti menangis, Aylin justru semakin terisak ketika mendengarnya. Ia baru menyadari, entah sedari kapan, bungsunya ternyata sudah sedewasa ini.

“Aku juga merasa seperti sembuh” Angkasa menegakkan posisi duduknya, kini sepenuhnya menghadap ke arah ibu yang menatapnya dengan sendu, di ambilnya sebelah tangan ibu dan ia genggam begitu erat. “Meski sebenarnya masih kesulitan untuk menerima dan memaafkan semuanya, tapi aku nggak mau simpan benci terus, atau banyak menutup mata, dan menyimpulkan sendiri kalo kondisi kalian jauh lebih baik padahal nayatanya sama buruknya. Perceraian ibu dan ayah memang berhasil membekaskan banyak luka, tapi dari perceraian itu aku sadar ternyata bukan hanya aku yang sakit. Mas Ares, mas Banyu, mas Narend, bang Sagar, bang Gala, bang Bintang, ibu dan ayah, pasti sama sakitnya” bersamaan dengan air matanya yang juga turun dengan deras, Angkasa menjatuhkan kepalanya lagi pada paha ibu.

“Saat ibu bilang perbaiki apa yang harus di perbaiki, maka kami mencoba untuk memperbaiki semuanya, bu. Mengobati luka masing-masing yang sudah lama dikubur dan faktanya masih menganga lebar, berakhir saling memaafkan dan berusaha menerima semuanya” Angkasa mengambil jeda untuk menarik napas, tangisannya semakin terdengar keras, ia kembali mendonggakkan kepalanya dan ibu refleks mengusap pipinya. “Aku harap ibu juga bisa mengobati rasa bersalah ibu bertahun-tahun lalu, kemudiam mencoba untuk sembuh. Hubungan kami sudah membaik, putra-putra ibu bahkan sudah berusaha pulih sedikit demi sedikit, jadi ibu tidak perlu mengkhawatirkan kami lagi. Mulai sekarang, lakukan apa yang ingin ibu lakukan, sekalipun tanpa memikirkan kami”

Angkasa tersenyum kecil, seakan-akan sudah menebak bahwa ibu akan terkejut oleh pernyataannya barusan—— sejujurnya, ia sudah lama tahu kalau ibu menyimpan rasa berslaah yang teramat besar pada para putranya. Karena itu selama ini, ia cenderung selalu mementingkan putra-putranya bahkan diatas kepentingannya sendiri. “Sekarang, tolong bahagia untuk diri ibu sendiri. Kami semua sudah meaafkan ibu” Aylin memejamkan matanya, merasakan bagaimana perasaan sesak yang selama ini membelenggu di dadanya terangkat secara perlahan-lahan.

“Adek, terima kasih” sahutnya kemudian setelah terdiam untuk beberapa saat guna mengendalikan dirinya sendiri. “Bungsunya ibu sudah besar, ya” dibalas dengusan pelan oleh Angkasa, sebenarnya ia sudah merasa bosan mendengar kalimat itu di utarakan oleh para kakaknya, tapi mendengarnya langsung dari ibu rasanya sedikit berbeda. Sebab, ada pilu yang turut menyertai.

“Foto itu diambil kemarin siang” Angkasa buru-buru mengalihkan topik pembicaraan, tidak ingin ibu kembali larut dalam perasaan bersalahnya pun ia sendiri tidak ingin terus terjebak dalam kesedihannya. “Mas Banyu yang pilih konsepnya meskipun sempat debat sama mas Narend karena mas Narend maunya foto yang lebih berwarna” Angkasa terkekeh pelan, merasa lucu ketika mengingat kembali berdebatan kecil diantara kedua kakaknya itu.  “Ibu suka?” belum sempat Aylin menanggapi, suara ketukan di pintu di susul entitas Bintang yang masuk setelah pintu terbuka, mengalihkan atensi keduanya.

“Bu, semuanya sudah siap buat berangkat” Ibu mengangguk beberapa kali sembari berdiri di susul Angkasa yang mengapit sebelah lengannya dan berjalan beriringan keluar ruangan, mendapati ke-dua putranya yang lain ternyata sudah menunggu di teras rumah, sementara dua yang tertua tengah mengeluarkan mobil dari garasi rumah lalu sesaat kemudian berteriak, “Ayo masuk” Angkasa melepaskan tangan ibu, membiarkan wanita itu masuk ke dalam mobil yang di supiri oleh Banyu bersama Bintang dan Sagarmatha. Sementara Angkasa berada di mobil yang lainnya bersama dengan Antares, Narendra dan Galaksi. Mereka akan mengantarkan Sagarmatha menuju bandara.

“Angkasa” hanya saja, belum sempat Angkasa masuk ke dalam mobil, suara teriakan diiringi klakson motor terdengar dari luar pagar rumah dan berhasil menghentikan pergerakannya. Angkasa membulatkan matanya ketika menemukan dua orang yang teramat ia kenali turun dari atas motor masing-masing—— Bara dan Mandala berdiri tidak jauh dari posisinya. “Kita mau ngobrol bentar” Lantas tidak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, Angkasa segera menutup pintu mobil.

“Mas, duluan aja. Gue susul pake motor bareng mereka nanti” Ujarnya terburu-buru sebelum berlari mendekat pada Mandala dan menaiki motornya tanpa permisi. “Ayo ke tempat kita” ajaknya yang segera dituruti oleh Mandala dan Bara, mereka lalu menyalakan kembali motornya dan melajukannya setelah sebelumnya memberi klakson sebagai tanda pamit pada keluarga Angkasa yang masih berada di dalam mobil memperhatikan kepergian mereka.



Bombland ☘️








Foto bersamanya udah ya, hehe.
Ada yang kangen sama Bara dan Mandala nggak nih?? Nanti kita ketemu yaa.

A M E R T AWhere stories live. Discover now