dua belas; mental illness

2.2K 296 85
                                    

"Tidak ditemukan masalah serius dalam tubuh adik anda, tapi dari kejadian yang anda ceritakan tadi, saya pikir mungkin masalahnya terletak pada kesehatan mental adik anda"—— Banyu merasa sebagian dunia yang ia pijaki runtuh begitu saja ketika dokter mengatakannya, matanya mengerjap lambat, pasokan udara disekitarnya seakan terkikis dan perlahan-lahan membuat ia merasa sesak. Kesehatan mental. Dokter menyimpulkan kondisi adiknya dalam dua kata yang rasanya sanggup membelah kepalanya menjadi dua bagian saat itu juga, bak dihantam baja jantungnya berdenyut sakit ketika dokter melanjutkan, "saya tidak bisa mendiagnosa lebih lanjut, kalo memang benar adik anda mengalami mental illness, maka sebaiknya lakukan pengobatan ke psikiater secepatnya"

Banyu mendesah berat, merasakan hatinya seakan digores secara sengaja oleh ribuan serpihan kaca, ia berjalan linglung keluar dari ruangan lalu duduk terdiam di sudut kursi tunggu. Ada begitu banyak hal penting yang sudah ia lewatkan secara tidak sengaja, sebagian besar adalah hal-hal buruk yang menimpa keluarganya belakangan ini; dimulai dari perceraian kedua orang tuanya, dilanjut dengan fakta perselingkuhan yang ayah lakukan dan sekarang sakit yang di alami Angkasa. Kemana saja ia selama ini? Bagaimana mungkin ia tidak mengetahui satupun dari yang terjadi saat ini padahal ia masih tinggal di atap rumah yang sama dengan Angkasa dan kedua orang tuanya. Jika saja dulu Banyu mencoba lebih peduli, barangkali Angkasa tidak akan melewati ini semua sendirian, mungkin pula perceraian kedua orang tuanya tidak akan pernah terjadi.

Tapi, nyatanya ia dikontrol oleh ketakutan akan sebuah kegagalan untuk membuktikan pada ayah bahwa musik tidak seharusnya dipandang sebelah mata, membawanya pada keegoisan dengan hanya terus sibuk pada musiknya dan memilih tinggal di studio lebih lama ketimbang menilik keadaan di rumah yang selalu ia anggap baik-baik saja padahal kenyataannya tidak. Ia hanya terus fokus pada luka yang sempat ayah dan ibu goreskan tanpa sadar justru ia membuat luka yang sama pada orang lain. Dan kini, sialnya yang menjadi penyesalan tak akan membuat semuanya lekas membaik apalagi membawa Angkasa sembuh. Perasaan bersalah merambat ke dalam dada, mengendap disana lalu menyebabkan kesakitan yang tiada tara. Banyu mengaku sudah gagal menjadi sosok seorang kakak sekaligus seorang anak.

"Banyu... "

Banyu mendonggakkan kepalanya, menatap entitas Antares yang berlari terburu-buru untuk mendekat ke arahnya. Malam itu, koridor rumah sakit kian sepi, tapi hatinya justru bergemuruh berisik; mengantarkan berbagai macam emosi yang tengah bergejolak bagaikan sensasi listrik yang mengalir bersama dengan aliran darahnya, Banyu tak bisa menggambarkan bagaimana perasaannya sekarang atau bagaimana ia harus melampiaskan emosinya, maka ketika Antares berdiri di hadapannya dengan gurat khawatir terlukis jelas di wajahnya, yang bisa Banyu lakukan hanyalah menangis pilu.

"Banyu apa yang terjadi? Angkasa baik-baik saja?"

"Mas, semua salah gue" Banyu menghela napas, bicaranya terbata-bata sebab tangisannya masih belum mereda. Sementara Antares seketika mengatupkan mulut, tak segera menyahut dan membiarkan Banyu melanjutkan meskipun ia tengah merasa panik luar biasa. "Dokter bilang ada masalah sama kesehatan mental Angkasa, dokter nyaranin buat pengobatan ke psikiater. Ini semua salah gue mas, kalo aja gue lebih sering pulang mungkin Angkasa nggak akan lewatin semuanya sendirian, mungkin juga perceraian ibu sama ayah nggak akan terjadi. Ini salah gue" Antares menahan napasnya sekilas, tungkai kakinya separuh diseret ketika ia mendudukkan tubuh lemasnya tepat di sebelah Banyu. Jika diingat-ingat Banyu memang jarang sekali pulang ke rumah sama sepertinya, dan yang ia tahu si adiknya ini sibuk meniti karirnya.

"Ini semua salah gue bang, harusnya gue nggak egois dan lebih sering di rumah buat mantau keadaan, tapi gue malah nggak pulang dan biarin semuanya hancur kayak gini. Kalo aja gue lebih sering di rumah, mungkin ini semua bisa dicegah. Bodoh, Banyu bodoh! Gue nggak pantes disebut kakak apalagi anaknya ibu" Antares menolehkan kepalanya dengan cepat, memandang tajam ke arah Banyu yang balas menatapnya sendu, labiumnya tidak berhenti utarakan banyak makian untuk dirinya sendiri. Antares tidak berusaha menyanggah perasaan bersalah, menyesal, dan marah Banyu pada dirinya sendiri sebab semua rasa itu juga sama seperti yang dirasakan oleh Antares, tapi bukan berarti Banyu bebas mengatakan bahwa ia gagal menjadi seorang kakak dan anak seakan-akan kehadirannya hanyalah sebuah bencana. Itu terlalu keterlaluan meski terdengar memang mungkin begitu adanya.

"Gue cuman nambahin beban aja, gue bodoh banget, mas"

"Berhenti, Banyu!"

"Seharusnya gue nggak perlu lahir, gue nggak berguna banget jadi anak dan kakak——" Banyu tersentak ketika Antares menarik tangannya dengan kasar, langkahnya terseok-seok mengimbangi langkah cepat sang kakak yang membawanya keluar dari area rumah sakit menuju halaman samping tempat beberapa kendaraan terparkir. "Mas, mau kemana?" Antares menulikan telinganya, ekspresinya dipenuhi kabut emosi dan begitu sampai di lahan kosong ia mendorong tubuh Banyu hingga jatuh tersungkur.

"Lo pikir yang ngerasa bersalah disini cuman lo doang? Lo pikir yang ngerasa nyesel disini cuman lo doang? Lo tau Banyu? Yang seharusnya jadi orang paling salah disini itu gue! Sebagai yang tertua gue malah nggak tau apa-apa, sebagai kakak gue ngerasa nggak berguna banget! Saat Angkasa tanya kenapa gue baru datang sekarang, kenapa gue baru peduli sekarang, kemana aja gue selama ini, lo tau rasanya? Gue ngerasa jadi orang terbodoh, liat dia dan ibu kayak sekarang, gue ngerasa sakit banget dan gue juga sama nyeselnya kayak lo, sama ngerasa bersalahnya kayak lo bahkan kalo seandainya bisa biar gue aja yang rasain sakit ibu, biar gue aja yang gantiin sakitnya Angkasa" Antares menghela napasnya yang menggebu-gebu, memejamkan matanya untuk sesaat seraya mengatur emosinya agar tidak di lampiaskan semuanya pada Banyu.

"Kalo ada yang paling egois diantara kalian itu gue, gue Banyu! Kalo aja gue nggak milih keluar dari rumah cuman karena mau hidup bebas, kalo aja gue selalu bisa datang ketika ibu manggil dan butuh gue, mungkin semua ini nggak akan terjadi, mungkin ayah nggak perlu paksa lo buat jadi penerusnya dia dan mungkin lo nggak akan gila kerja karena ayah masih punya gue buat dia kendaliin. Ini semua jelas salah gue, Banyu" Antares memalingkan wajahnya, kalimatnya berhasil membuka kepingan memori lama yang seringkali menyebabkannya terluka, jatuh pada hari-hari menyesakkan hingga keinginannya akan kebebasan sampai lupa bahwa adik-adiknya justru harus menanggung sakit yang sama akibat kepergiannya. "Tapi kalo seandainya gue tetep fokus sama penyesalan dan rasa bersalah gue, apa semua bakal kembali membaik, Banyu? Apa Angkasa akan sembuh? Apa kekecewaan ibu bakal hilang? Nggak Banyu" Nada suaranya terdengar melirih, ia mengambil jeda yang cukup panjang untuk mengais napas dan berjalan mendekat ke arah si adik yang masih terduduk di aspal.

Antares berjongkok, keduanya saling berpandangan "gue cuman mencoba kuat, Banyu. Mencoba untuk memperbaiki apa yang masih bisa diperbaiki dan menjaga apa yang masih utuh sebagai tebusan dari rasa bersalah gue. Dan gue harap lo juga bakal lakuin hal yang serupa. Nggak papa ngerasa bersalah dan nyesel, tapi setelah itu lo harus bangkit buat memperbaiki semuanya. Jadi, Banyu tolong... Tolong bantu gue buat perbaiki semuanya" Antares merengkuh pundak si adik, membawanya pada sebuah pelukan—berharap dengan begini ia bisa membuat hati Banyu sedikit menghangat. "Gue percayain Angkasa sama lo, ya? Banyu mau kan bantu gue?" Maka Banyu tak mampu untuk menolak, kalimat Antares sedikit banyaknya menelisik masuk ke dalam hatinya, menyadarkan untuk tetap menegakkan badan kendati ia merasa ingin menyerah atas apa yang sudah ia perbuat sendiri.










Bombland🍀

A M E R T AWhere stories live. Discover now