Bab 7 | Fasilitas Hotel

78 11 85
                                    

Dingin yang didatangkan dari Air Conditioner begitu dirasakan oleh Rahmat, tetapi dia tetap berada di kamarnya tak berpindah ke mana pun. Laki-laki itu merebahkan dirinya ke kasur. Fasilitas hotel tempat dia menginap tak membuat Rahmat tertarik sama sekali.

Tak ada yang dipikirkan Rahmat melainkan Annisa. Bukan karena wajahnya, melainkan karena kondisi yang Annisa alami saat ini. Dia sadar perempuan itu kini dalam situasi terburuk di mana kedua orang tuanya meninggal dunia. Sejak pertama bertemu perempuan itu sering melamun. Rahmat yakin perempuan itu sengaja menjual ponselnya karena desakan ekonomi yang mengimpitnya.

Pikiran Rahmat melalang buana. Dia teringat dengan perempuan di Suriah yang dieksploitasi secara seksual oleh pria-pria yang menyalurkan bantuan atas nama PBB dan lembaga bantuan internasional. Eksploitasi itu begitu meluas sehingga sebagian perempuan Suriah sampai menolak pergi ke pusat pembagian bantuan karena takut bahwa orang-orang akan menganggap mereka memberikan tubuh mereka demi mendapat bantuan yang mereka bawa pulang.

Sangat memprihatinkan. Di saat penduduk Suriah sedang mengalami perang saudara, justru di saat itu juga ada yang memanfaatkannya hanya untuk nafsu sesaat. Membayangkannya membuat seseorang marah dan sedih secara bersamaan karena tidak bisa berbuat apa-apa.

Rahmat mulai menyadari akar dari segala masalah adalah kemiskinan yang ada di seluruh dunia. Gara-gara satu masalah ini maka muncul masalah yang baru yang tidak kunjung usai. Rahmat menyadari tak sepatutnya dia menyalahkan Tuhan. Namun, apakah mungkin ada seorang yang mampu terus-menerus bersabar? Seandainya saja orang-orang kaya mau memberikan hartanya kepada yang membutuhkan secara ikhlas, tentu masalah ini akan segera sirna.

Rahmat menyadari mempertahankan kesucian seorang wanita benar-benar tidaklah mudah. Memiliki akhlak dan ilmu agama yang tinggi masih belum cukup untuk mempertahankan itu semua. Laki-laki itu berpikir mungkin dengan mendukung secara finansial akan membuat semua jauh lebih mudah. Mungkin bukan untuk semua perempuan. Mungkin untuk perempuan yang ada diketahui dan di dekatnya seperti perempuan bernama Annisa.

Tak lama datanglah Orlando dari luar kamar. Rahmat mengira tugas Orlando untuk mengikuti Annisa sudah dilakukan.

“Bagaimana dengan perempuan itu? Kamu sudah tahu di mana sekolahnya sekarang?” tanya Rahmat.

“Sudah Bos,” ucap Orlando. “Dia berada di sebuah sekolah yang tak jauh dari rumahnya. Jadi, apakah kita akan pindah ke sana?”

“Ya, tentu saja. Kita akan pindah ke sana. Jadi, tolong kamu urus semuanya.”

“Siap Bos.”

Orlando pun memperhatikan majikannya. Dia merasa majikannya kini seperti sudah mulai memiliki tujuan dan itu membuatnya senang. Namun, entah mengapa Orlando merasa majikannya tampak banyak berpikir. Orlando pun memutar otak agar majikannya bisa tersenyum lagi.

“Bos, ngomong-ngomong Bos sudah menjelajahi fasilitas di hotel ini atau belum?” tanya Orlando.

“Belum, memangnya kenapa?” jawab Rahmat.

“Waduh, fasilitas di hotel ini begitu lengkap dan mewah, Bos. Apalagi Bos tahu ini adalah hotel bintang lima. Ada spa, lapangan tenis, dan bahkan main golf juga bisa.”

“Aku mau di kamar saja kalau begitu.”

“Jangan begitu dong, Bos. Masa aku sendirian saja menikmati fasilitas yang ada di hotel ini. Temani aku, ya.”

“Baiklah, terserah kamu saja.”

“Nah, begitu dong, Bos. Aku jadi senang mendengarnya. Jadi, kita mau ke mana dulu?”

“Kita ke lapangan tenis saja. Aku mau berolahraga.”

“Baik Bos.”

Mereka berdua menuju ke lapangan tenis yang ada di hotel dengan segera. Orlando menyadari bahwa hotel Ritz-Carlton Mega Kuningan memanglah hotel yang begitu mewah. Desain dan interiornya begitu indah dipandang mata. Hanya saja semua itu tidaklah membuat Rahmat begitu memperhatikan karena dia sudah terbiasa dengan kemewahan.

Barisan Doa Annisa [END]Where stories live. Discover now