6. Pulang Bareng

49 4 3
                                    

"Angga yang buka pintu. Kak Agatha ada di dalam ruangan. Terus, mereka berdua ngapain di dalam?" batinnya.

Zara menggeleng-gelengkan kepalanya, berupaya menghilangkan pikiran itu dari benaknya.

"Ck." decak Angga pelan. Dia menatap Zara sekilas, sebelum maju beberapa langkah hingga tak sengaja lengannya menabrak bahu Zara. Tanpa perlu berkata apapun, Angga terus saja pergi.

Ruang OSIS terasa kosong, seperti tak ada siapa siapa di dalam. Zara melongokkan kepalanya, lalu maju selangkah untuk melihat keadaan di dalam ruangan. Dia mendapati Agatha yang sedang duduk di atas meja. Pikiran liar tiba-tiba muncul dalam kepalanya. Zara memukul kepalanya dengan pelan. "Bego," spontan mulutnya berbicara.

Agatha yang sedari tadi menatap ponselnya, akhirnya mengangkat pandangannya menatap Zara. "Lo udah dateng ternyata."

Zara cepat-cepat memasang senyum tipis saat melihat Agatha melemparkan seulas senyum padanya. Zara segera berpikir, jika dibandingkan dengan sosok Agatha, dia memang tak ada apa-apanya. Zara meringis pelan, sadar kalau harus memposisikan dirinya dengan tepat. Walaupun dia belum tahu sebenarnya apa hubungan Angga dengan Agatha,

"Sini deh!" seru Agatha, membuat Zara melangkahkan kakinya menuju sebuah bangku di dekat Agatha. Agatha memberi kode agar Zara duduk di sana.

Agatha turun dari meja lalu duduk di bangku di samping Zara. "Nama lo Zara Amora, kan?" tanyanya dengan senyum lebar.

Zara mengangguk pelan. "Iya, Kak."

Agatha mengangguk-angguk. "Okey, gini." Agatha menggeser bangku yang didudukinya agar menghadap ke Zara. "Gue mau lo jadi calon sekretaris OSIS tahun ini."

"Hah?" Zara mengerjap dan menatap Agatha dengan tatanan tak percaya. "Saya, Kak?"

"Yap, lo. Gue liatin gerak-gerik beberapa peserta MOS waktu itu. Dan gue merhatiin lo. Nggak tahu kenapa ya, gue ngerasa sikap dan sifat kita sama. Jadi, gue seneng kalau lo mau mencalonkan diri menjadi sekretaris OSIS untuk tahun ini, ngegantiin gue. Apalagi, lo kelihatannya pinter," ceracau Agatha.

"Mana ada!" rutuk Zara dalam hati.

"Tapi, Kak. Saya nggak punya jiwa-jiwa kayak gitu. Dan saya nggak pernah mau masuk di OSIS atau organisasi lain, apalagi sebagai sekretaris. Saya juga masih kelas sepuluh, masih ada kan siswi kelas sebelas yang bisa?" Zara menghela napas berat. Agatha tersenyum tipis sambil memandangi dinding.

Agatha menatap Zara lagi. "Katanya pacaran ya sama Angga?" Pertanyaan itu membuat jantung Zara kembali berdetak kencang. menatap Agatha bingung, tak tahu harus menjawab apa. Seolah-olah mulut Zara terkunci rapat.

"Gue seneng, dia ternyata milih cewek kayak lo," lanjut Agatha sambil tersenyum. "Dan gue harap, lo bisa ngerubah perilaku dia yang nggak baik, menjadi baik."

Perkataan Agatha memunculkan berbagai pertanyaan dalam kepala Zara. Ada banyak sekali yang tidak dimengertinya meluncur keluar dari orang yang duduk di sampingnya saat ini. "Maksud Kakak?"

"Gue rasa lo udah tahu." Agatha mengangkat bahu dengan sikap cuek.

"Dia itu perokok aktif, dari SD. Lo bisa bayangin nggak itu?" Agatha terkekeh pelan. Zara hanya bisa kaget mendengar pernyataan itu. "Lo ke taman belakang sekolah gih, dia pasti lagi ngerokok di sana. Karena dia nggak bisa jauh dari barang itu, mungkin dengan larangan dari cewek yang dia suka, dia bakalan bisa bener-bener berhenti ngerusak dirinya sendiri."

Zara dengan cepat mengalihkan pandangan menatap ke sekelilingnya, menyembunyikan reaksinya dari Agatha. "Larangan dari cewek yang dia suka?" Zara mengulang perkataan Agatha dalam hatinya.

"Ya udah, gue mau pulang dulu. Lo pikir-pikir lagi ya buat gabung." Agatha menepuk bahu Zara pelan. Zara hanya mengangguk sebagai jawaban.

Setelah Agatha keluar dari ruangan, Zara jadi teringat Angga. Dia memutuskan pergi ke taman belakang sekolah, tempat di mana Angga sekarang berada, seperti kata Agatha.

Sebuah kursi yang sudah terlihat berkarat menjadi tempat duduk Angga. Pandangannya lurus ke depan. Di antara jari telunjuk dan jari tengahnya terselip sebatang rokok yang menyala.

Zara yang datang, melihatnya sambil meringis pelan, teringat perkataan Agatha bahwa Angga sudah merokok sejak SD. Wajah Angga saat menyadari kehadiran Zara dengan jelas menunjukkan kalau dia tidak suka dengan kedatangannya.

Zara mendengus pelan. "Hebat ya, lo suka ngerokok, tapi nggak pernah sekali pun ketahuan sama semua orang di sekolah ini," katanya nyaris sinis. Angga yang baru saja mau menutupi mulutnya dengan tangan, kini menatap Diba sekilas, lalu membuang puntung rokoknya ke tanah.

"Kecuali lo," kata Angga datar.

"Setidaknya gue nggak ngerokok di depan orang banyak. Gue tahu apa risiko buat perokok pasif," tambahnya.

Zara menatap bangku di dekatnya, berpikir untuk duduk di sana daripada harus berdiri dan membuat kedua kakinya pegal. Zara menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya. Dia menjadi gugup. "Lo kenapa ngerokok waktu SD?" tanyanya tanpa berniat menatap Angga.

"Agatha yang ngasih tahu lo?" tanya Angga. Zara mengangguk pelan. "Oh," gumamnya pelan. "Lo masih pacar gue, kan?"

Mata Zara mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan itu. Dia melirik Angga yang sudah sejak tadi menatapnya. Dengan cepat, Zara kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Angga berdeham pelan di sampingnya, yang membuat Zara refleks mengikutinya.

"Waktu itu lo sendiri yang bilang gue jadi pacar lo. Tapi itu cuma sepihak, gue nggak pernah jawab." Zara menatap Angga. "Dan sekarang berita itu udah tersebar di sekolah."

"Bagus kalau lo masih inget,"balas Angga, mengacuhkan Zara yang menatapnya heran. "Jadi kita pacaran sampai gue lulus dari sekolah ini, ngerti?"

"Hah?" Zara mendelik tajam. Ditatapnya Angga yang memasang ekspresi datar. Seandainya bisa, Zara ingin mencakar wajah itu, tetapi pada kenyataannya, Zara hanya bisa diam.

Angga bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan Zara. "Kita pulang?" ajaknya dengan tangan terulur ke depan. Zara menatap tangan kiri Angga yang terulur kepadanya.

Jantung Zara berdetak kencang lagi, namun itu belum mampu menghentikan tangannya yang bergerak perlahan menyambut tangan Angga. Zara terus terdiam saat Angga menariknya pelan dari bangku, lalu berjalan pergi dengan tangan yang masih menggenggam tangannya.

Zara membasahi bibirnya yang terasa kering. Suasana ini terasa canggung untuknya. Zara melihat Angga mengambil sebatang rokok dan menyalakannya menggunakan pemantik api yang ada di dashboard. Zara tahu dia akan langsung ilfeel seandainya Angga pernah mengunggah fotonya sedang merokok di akun sosial medianya.

Namun Angga tidak pernah sekalipun mengunggah foto-foto seperti itu. Foto-fotonya yang berbau alam justru membuat Zara menjadi lebih tertarik dengan sosok Angga. Zara menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menghilangkan berbagai pikirannya tentang cowok di sampingnya itu.

Angga melirik Zara. Sudah beberapa menit terlewati setelah mobil berhenti, tetapi Zara belum juga turun dari mobil. Dia masih duduk dengan jemari yang saling bertaut.

"Kenapa lo masih di sini?" Suara Angga yang tiba-tiba membuat Zara tersentak dari lamunannya. Perlahan Zara melepas sabuk pengamannya dan menatap Angga.

"Gue cuma pengen bilang terima kasih."

"Oh," balas Angga singkat. Bahkan setelah Zara menyelesaikan kalimatnya tadi, Angga hanya melihat Zara sekilas lalu berpaling memandang keluar jendela mobil.

***
TBC             
                                                        11 April 2022

MY AMOR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang