7. Pulang Bareng 2

44 5 1
                                    

Angin yang berembus masuk lewat jendela mobil membuat asap rokok Angga tertiup ke arah Zara. Zara menahan napas agar tidak menghirup asap rokok itu, tetapi tidak berhasil. Dia cepat-cepat menurunkan kaca mobil dan mengeluarkan kepalanya untuk menghirup udara segar.

"Lo bego, ya?" terdengar suara Angga. Zara sudah tidak memedulikan apa pun yang dikatakan Angga karena sibuk menghalau asap keluar dari mobil. "Kenapa lo nggak langsung keluar aja dari mobil?".

Zara terperanjat, antara malu dan kesal karena perkataan Angga. Perlahan, Zara menggeser duduknya agar bisa menatap Angga. Angga mendengus. "Kenapa lo masih di situ? Udah sampe rumah lo, tuh."

Zara mengerjap, bingung. Menahan malu, dia menatap Angga. "Tadi gue pengen ngomongin sesuatu." Zara mengingat-ingat pertanyaan yang ingin dia tanyakan saat di sepanjang perjalanan tadi, lalu dilihatnya Angga menaikkan sebelah alisnya, menunggunya melanjutkan kata-kata. "Lo ngerokok, tapi lo ketua OSIS..." suara Zara semakin mengecil.

"Kelakuan gue nggak ada pantes-pantesnya jadi Ketua OSIS, gitu maksud lo?" tanya Angga menohok.

Zara menjadi semakin gelisah di tempat duduknya. "Maksud gue.."

"Gue ngerti." Angga memotong perkataan Zara. Sesekali dia mengembuskan asap rokoknya keluar jendela, walaupun nyatanya asap itu masih tetap masuk ke dalam mobil karena tertiup angin.

"Lo nggak ada riwayat penyakit asma, kan?" tanya Angga. Zara menggelengkan kepalanya perlahan.

Angga berdehem pelan, lalu membuang puntung rokoknya ke jalan. "Dari dulu gue pengen berhenti ngerokok. Ada yang bilang dengan ikut ekstrakurikuler atau organisasi bakalan ngebuat kita terhindar dari hal hal buruk." Angga menatap Zara. "Dan salah satu pilihan gue jatuh pada OSIS."

Zara mengulang kata "salah satu" yang Angga katakan tadi. Artinya Angga tidak hanya masuk OSIS, masih ada yang lain.

"Tapi walau udah masuk organisasi, belum berarti langsung ngubah kebiasaan lama gue. Gue berusaha pelan buat ngejauhin yang namanya rokok."

Angga mengembuskan napas pelan. "Tapi, nggak bisa. Sampai sekarang."

"Oh, gitu..." kata Zara pelan.

"Lo pernah denger cowok yang meninggal karena paru paru bocor?" tanya Angga. Zara menggeleng. Sedangkan Angga tertawa pelan. "Lo kudet ternyata."

Zara melotot. "Enak aja," balasnya kesal. Angga hanya tertawa, membuat sebuah lengkungan kecil muncul di pipi sebelah kiri. Zara sama sekali tak berkedip melihat pemandangan itu.

"Itu semua karena dia udah ngerokok sejak SD," lanjut Angga.

Zara segera berpikir kalau Angga sedang mengalami hal yang sama dengan orang yang dia ceritakan. Zara menatap Angga tak percaya.

"Lo mikir begitu?" tanyanya.

"Eh__"

Angga tertawa pelan. "Enggaklah, gue nggak mengidap penyakit itu."

"Oh." Zara mengangguk-angguk. "Gue kira lo mau curhat, ternyata cuma pengen ngasih tahu doang." Zara tertawa setelahnya.

"Eng...ngomong-ngomong, lo kenapa bisa ngerokok, sih?" tanya Zara sedikit merasa aneh karena bisa mengobrol dengan Agam, tidak seperti biasanya yang terasa kaku.

"Diajakin temen waktu SD, coba-coba doang. Seseorang ngerokok itu nggak selalu karena dia broken home, bisa juga karena lingkungannya, kan?" jawab Angga. Zara mengangguk pelan. Sekarang dia tahu alasan kenapa Angga bisa merokok.

Setelah itu, tak ada lagi obrolan di antara mereka. Ketika mendengar suara ponsel dari dalam tasnya, Zara bersyukur karena tak lagi hanya duduk diam di dalam mobil, sedangkan keinginan untuk langsung turun dari mobil itu sama sekali tidak ada.

"Jangan lupa ke rumah gue!"

Zara membaca pesan yang masuk ke ponselnya. Zara lalu menatap Angga. "Gue masuk, ya?"

Angga mengangguk. Dia terus memerhatikan Zara keluar dari mobil hingga masuk ke dalam rumah.

Untuk beberapa saat Angga menatap rumah Zara, sebelum akhirnya menyalakan mesin mobilnya dan melaju pergi.

***

"Iya, iya, ini gue udah di jalan. Gue udah tahu rumah lo di mana. Udah, bye!" Zara mematikan ponselnya dengan sedikit kesal. Dia sudah berdiri di depan rumah Lucy. Saat pelajaran Kimia tadi, karena mereka tak mengerti dengan penjelasan yang diberikan Pak Zam, akhirnya mereka berdua pun bertukar buku catatan dan menuliskan alamat rumah masing-masing di halaman paling belakang buku.

Dengan cara yang sama pula, kadang-kadang mereka membahas masalah di sekolah. Sebuah kebiasaan masa SD yang masih sering Zara lakukan dengan teman sebangkunya itu.

Zara berjalan menuju pintu. Baru saja dia akan mengetuk, tetapi pintu itu sudah lebih dulu terbuka dari dalam. Seseorang memakai kaus berwana merah menyambut Zara yang terkejut. Mata Zara melotot melihat Ghali berdiri di depannya dengan alis terangkat sebelah.

Zara segera menunduk menghindari tatapan bingung Ghali. "Ada..." Zara menggantungkan kalimatnya karena gugup. "Ada Lucy, Kak?" tanyanya dengan suara pelan.

Ghali hanya diam dan malah bergerak ke samping memberikan jalan masuk kepada Zara. Dia menggerakkan dagunya ke arah tangga menuju kamar Lucy di lantai dua.

Zara memajukan tubuhnya agar bisa melihat arah yang ditunjuk oleh Ghali, lalu balik menatap Ghali sambil meremas ujung kemeja cokelat yang dipakainya. "Terima kasih, Kak," kata Zara dan segera melangkah masuk ke dalam rumah.

Ghali memerhatikan Zara yang melewatinya, lalu tangannya refleks menarik tangan Zara. "Lo siapanya Lucy?"

Zara merasakan cekalan di pergelangan tangannya, yang dengan segera menghentakkan tangan Ghali. Reaksi itu membuat mata Ghali sedikit membelalak, terkejut dengan reaksi ketakutan Zara.

"Temen kelasnya, Kak," jawab Zara sambil menunduk, memegang pergelangan tangannya.

"Oh." Ghali mengangguk. Dia menatap Zara yang terlihat gelisah. "Lo yang tadi pingsan di sekolah?" tanyanya memastikan, walaupun dia sudah tahu betul identitas cewek yang ada di depannya itu.

Perlahan, Zara mengangkat kepalanya untuk melihat Ghali. Dia mengusap tengkuknya, lalu mengangguk pelan.

"Lo udah mendingan?" tanya Ghali lagi. Zara mengangguk tanpa berani menatap Ghali. "Oh," kata Ghali lalu berbalik begitu saja meninggalkan Zara.

Ghali berjalan melintasi halaman lalu masuk ke sebuah mobil sedan. Zara terdiam memerhatikan. Dia tidak pernah sekalipun melihat Ghali membawa mobil itu ke sekolah. Setelah Ghali pergi bersama mobilnya, Zara berbalik, melangkahkan kakinya menuju kamar Lucy. Sambil berjalan, Zara masih bisa merasakan cekalan tangan Ghali tadi. Seketika timbul rasa takut dalam dirinya jika suatu saat harus bertemu lagi dengan Ghali.

"ZARA!" Lucy memanggil sambil melambaikan tangannya dari lantai dua. Zara berjalan menuju tangga. "Gue kirain lo gak jadi dateng," katanya saat Zara sudah sampai di anak tangga teratas.

"Enggak lah. Gue kan nggak suka ingkar janji," balas Zara.

"Sok lo," Lucy mau menoyor dahi Zara pelan, namun segera ditepis Zara. "Eh, gimana kabar selebgram di sekolah?"

"Maksud lo Nathalie?" tanya Zara saat Lucy menarik tangannya menuju ke kamar. Zara duduk di atas kasur, lalu mengambil laptop dari dalam tas dan menyalakannya sambil menyilangkan kedua kakinya. Lucy hanya memerhatikan Zara dari samping.

"Gue pikir dia ngebet narsis," jawab Zara spontan. "Followers-nya nggak sampai seribu di Instagram, yang like fotonya hanya belasan. Followers twitternya juga baru puluhan, dan dia ngebuat twitternya setahun yang lalu. Dia punya akun ask.fm, tapi dia nggak punya facebook. Kata orang, facebook itu ibarat nenek moyang sosial media, masa dia gak punya," cerosos Zara. Lucy menanggapinya dengan cekikikan.

"Ternyata facebook itu nenek moyangnya sosmed, ya?" tanyanya.

Zara memutar kedua bola matanya. "Kan gue bilang ibaratnya," Zara mengambil dan memakan snack yang ada di dekatnya. "Tapi, gue pernah iseng ngetik nama lengkapnya Nathalie di facebook, dan ketemu. Fotonya juga ada. Gue curiga itu beneran dia."

***

TBC

                                                        12 April 2022

MY AMOR Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang