8. Antisiklon

48 15 129
                                    

Jika dampak antisiklon adalah menjernihkan langit, sedangkan udara yang lebih dingin dan kering lalu bagaimana dengan kehidupan? 

.

.




Vale tampak berbeda hari ini. Tidak ada teriakan atau perkataan yang menyakitkan keluar dari mulut cewek itu. Ia hanya duduk, termenung di tempat tanpa berniat untuk keluar kelas saat jam istirahat.

"Lo kenapa sih, Ve? Ada masalah?" Jovanka duduk di depan meja Vale yang terdapat kursi di sana.

"Ke kantin, yuk!" ajak Veronica.

"Males. Kalian aja, gue pengen sendiri," kata Vale sambil memeluk tasnya yang dijadikan bantal di atas meja lalu menghadap ke samping sambil terpejam.

"Nggak biasanya lo kayak gini," kata Jovanka lagi.

Freeya yang memang duduk sebangku dengan Vale dan mengerti masalah yang sedang dialami cewek iti seakan paham apa yang sedang dirasakan sahabatnya. "Udah denger kan Ve bilang apa?" Freeya berdiri lalu menatap Jovanka. "Ya udah ayo kita pergi, biar Ve punya waktu sendiri."

Freeya melangkah terlebih dahulu tetapi teman-temannya masih mematung di tempat, ia pun menoleh. "Ayo!" Kemudian Heera menyusul lalu diikuti oleh Jovanka dan Veronica.

Sepeninggal teman-temannya, di sanalah tangis Vale pecah.

Mengeluarkan sesak yang beberapa menit lalu bersarang di dada. Rasanya sakit saat mengingat obrolan Wulan tadi pagi seakan masih terngiang-ngiang di kepala.

Bagaimana nantinya jika ia harus tinggal bersama adik-adiknya tanpa seorang mama di sisi? Apalagi dengan mereka yang terbiasa hidup serba ada, tidak seperti sekarang. Memikirkannya saja sudah seperti bencana bagi Vale.

"Seandainya papa masih ada, mungkin mama tidak akan semenderita sekarang," lirihnya sambil mengusap buliran bening yang membasahi pipi hingga suara pesan masuk menyadarkan Vale pada kenyataan.

Ia melihat Freeya mengirimkan sebuah pesan berupa foto dan setelah dibuka, benar-benar mengejutkan.

"Tunggu gue di sana," balasnya kemudian.

Vale langsung berlari ke tempat di mana foto itu dibuat. Ia mendapati Freeya tampak sedang bersembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka hingga kedatangan Vale membuat Freeya terkejut.

"Ngagetin lo. Untung gue nggak punya penyakit jantung," ucap Freeya.

Tadi saat berada di kantin, Freeya izin ke teman-temannya untuk buang air kecil dan mendapati semua toilet yang berada di bagian depan penuh, alhasil Freeya mau tidak mau harus mencari toilet belakang yang berada di samping gudang. Namun, malah melihat pemandangan Rio yang sedang bercumbu dengan perempuan lain. Toilet ini memang jarang digunakan meskipun masih berfungsi.

Emosi Vale memuncak saat melihat arah pandang Freeya sebelumnya yang menampakkan pacarnya sedang mengadu kasih dengan seseorang yang tak dikenal.

Tanpa babibu Vale langsung membuka pintu sangat keras hingga membuat penghuni sebelumnya kelabakan membenarkan pakaiannya yang sedikit berantakan. "Gila lo!"

Dengan sangat keras Vale langsung menampar perempuan itu tapi ditahan oleh Rio dan bukan Vale namanya jika ia mengalah begitu saja.

Vale langsung memukul bagian kemaluan Rio hingga membuat cowok itu mengadu kesakitan dan Vale langsung menjambak rambut perempuan yang sudah berani menggoda pacarnya.

Rio tak tinggal diam, cowok itu berhasil memegang Vale yang terlihat sedang kesetanan dan menyuruh perempuan tersebut untuk pergi dari tempat ini sedangkan Freeya hanya berani melihat perkelahian itu dari luar toilet.

Tangis Vale benar-benar pecah, kemudian ia membalikkan badan hingga dada bidang Rio yang kini menjadi sasaran empuk Vale agar bisa memukulinya. "Lo jahat, lo gila, Yo. Salah gue apa sih sampe lo berani ngelakuin ini dari gue!"

Vale kembali menangis sambil memejamkan mata. Sakitnya bertambah saat beberapa jam yang lalu Vale menangisi keadaan keluarganya tapi kini orang yang paling ia sayang seakan mengkhianati juga.

"Sorry, Ve. Gue tadi kelepasan. Lo sih nggak pernah mau kalo gue minta, jadi gue nyari pelampiasan," ujar Rio dengan nadanya yang bergemetar dan ikutan menangis. "Maafin gue. Gue janji nggak bakalan ngulang lagi kejadian kaya tadi."

Melihat Rio yang sedang bersujud agar mencari simpati Vale agar bisa memaafkannya, dengan segera Freeya membawa Vale pergi dari tempat itu. "Ayo, Ve, kita pergi. Dasar buaya!" ucap Freeya kemudian.

***

Sepulang sekolah Freeya langsung mengantarkan Vale ke rumah. Selama dalam perjalanan Vale hanya bisa menangis, meskipun kelihatannya Vale sarkas. Namun, sebenarnya hatinya tulus. Vale sangat menyayangi Rio apa adanya.

"Udah deh, Ve. Lo putusin aja cowok nggak bener kayak gitu. Apalagi coba yang harus lo pertahanin? Dia itu buaya."

"Nggak semudah itu, Free. Gue pacaran sama dia udah lama, apalagi kalo inget perjuangan gue buat dapetin dia dulu. Lo sendiri kan yang tau gimana dulu gue kepengen banget bisa milikin Rio? Dan sekarang setelah gue dapetin, nggak akan gue lepas begitu aja. Nggak akan!"

Mobil berhenti tepat di halaman rumah Vale, cewek itu tertegun saat barang-barang milik Keira berada di depan rumahnya. Buru-buru Vale turun dari mobil dan berlari memasuki rumah sedangkan Freeya hanya berani berdiri di depan rumah.

"Ma, Mama!" teriaknya.

Sebuah pelukan hangat Vale dapatkan dari Wulan saat wanita itu baru saja selesai membereskan pakaian, membuat Vale sedikit menangis. Entah, mengapa akhir-akhir ini Vale sedikit cengeng.

"Kenapa barang-barang Adik Keira ada di luar, Ma?" Vale sesenggukkan dalam pelukan Wulan.

Dengan menahan tangis juga, Wulan mencium puncak kepala Vale. "Kak, Mama tadi pagi kan bilang kalau bakalan kerja jadi TKW di luar negeri."

Vale mengangguk.

"Dan nggak mungkin Keira, Mama bawa ke tempat kerja nantinya apalagi meninggalkan Adik Keira di sini bersama kalian saat kalian juga masih fokus sekolah."

"Nggak, Ma. Vale bisa jaga Adik Keira dan juga Kenzi dibantu dengan Aditya."

Mendengar hal itu, Wulan tertawa kecil. "Terus kalo kalian lagi sekolah? Adik Keira mau di ke mana, kan?"

"Kan ada Mbak Mina, Ma. Dititipin aja di sana."

"Untuk saat ini Mama belum cukup biaya untuk membayar mereka agar bisa merawat Adik Keira, Kak."

"Terus kalo gitu Adik Keira mau dibawa ke mana sekarang, Ma?"

"Mama bakalan titipin Adik Keira ke panti asuhan. Suatu saat jika Mama udah punya uang banyak, kita tebus lagi ya. Kita kumpul bersama-sama lagi dan beli rumah yang agak besaran di sini." Perkataan itu membuat Kenzi dan Aditya--yang dari tadi duduk--kini ikutan berdiri dan memeluk mamanya.

Wulan berjongkok, menatap Aditya dan Kenzi yang sudah sesenggukkan dalam tangis. "Jangan nakal, ya, sama Kak Vale. Kalian harus nurut. Sekarang dia adalah orang tua kalian selama Mama tidak ada di rumah. Kalian harus kompak demi Mama dan papa yang ada di surga."

Perlahan Wulan mencium puncak kepala Aditya kemudian bergantian mencium puncak kepala Kenzi saat Adik Keira sedang tertidur di kamar.

Wulan menciumnya dengan bola mata yang berkaca-kaca sedangkan Kenzi dan Aditya sudah pecah dalam tangisnya. Berbeda dengan Vale yang memilih menangis dalam diam.

Sementara itu, Freeya yang sedang berdiri di balik pintu luar sudah menangis sesenggukkan saat masalah yang sedang dihadapi sahabatnya ternyata begitu rumit.

***

Jangan lupa meninggalkan jejak

11 April 2022. 

Titik Lebur (End)Onde histórias criam vida. Descubra agora