28. Dekapan

3.4K 188 20
                                    

Dendam dan benci adalah dua hal yang saling berkaitan. Karena jika keduanya sudah bersatu dan terprovokasi oleh nafsu, maka disanalah setan akan berbangga dengan keberhasilannya.

Menghasaratkan dendam pada orang yang tidak disukai bukanlah jalan menuju kepuasan. Karena lagi dan lagi jika penyakit hati itu sudah bersemayam, sekeras apapun kita menuruti hasratnya, dia tidak akan tunduk pada rasa puas.

Intinya, sejahat apapun orang-orang di luaran sana kepada kita, bukan berarti keburukan harus dibalas dengan keburukan. Jangan terlalu melibatkan rasa emosi hingga menimbulkan hal yang tidak-tidak, sebab disanalah setan memulai dengan aksinya. Menyesatkan manusia.

Adanya masalah harus dipikirkan dengan kepala dingin, tanamkan rasa sabar dalam hati. Percayalah.. japan keluar pasti akan ditemukan tanpa harus melakukan keburukan. Akan lebih baik lagi ketika kita menjadi pribadi yang pemaaf.

Pagi ini, wanita yang notabenenya Ibu dari ketiga orang putri itu mulai tunduk dan sadar akan kesalahannya. Rasa bersalah satu-persatu mulai menghantuinya. Ia mulai sadar akan kebodohannya. Dan yang paling bodoh, dia tidak tau sama sekali bahwa salah satu anak yang selalu ia campakan kehadirannya teranyata keadaannya sedang tidak baik-baik saja.

Ibu macam apa dia?

Tubuh ringkih itu ia peluk dengan erat. Sejak pertama kali lahir, wanita yang berada dipelukannya ini tidak pernah tau akan hangatnya pelukan seorang Ibu. Setidaknya ... sekedar sebuah belaian kepala saja tidak pernah Shanum dapatkan. Bodoh. Kenapa baru sekarang ia menyadarinya? Dimana tanggung jawabnya sebagai Ibu sambung?

Namun Hanin bersyukur, karena Allah masih memberinya kesempatan untuk mengakui rasa bersalahnya. Setidaknya, tetesan air mata ini kini mengalir karena menyesali setiap keburukan yang telah ia perbuat.

"Maafin Mama." Ini adalah kalimat tertulus yang pernah Hanin ucapakan pada anak bungsunya itu. Namun rasanya begitu sakit ketika Shanum hanya menangis tanpa merespon apapun.

"Shanum ... mungkin permintaan maaf Mama ini sudah terlambat. Tapi akan jauh lebih buruk jika Mama tidak menyadari kesalahan Mama sama sekali." Disela kata wanita itu terisak. "Dulu Mama selalu mengabaikan kamu, memperlakukan kamu dan Nawang dengan cara yang berbeda. Mama nggak adil. Bahkan dengan jahatnya Mama menuduh kamu membunuh mbakmu sendiri yang sudah hidup bersama sedari kecil. Mama memang tidak berperasaan. Dan sekarang, disaat kamu harus melawan sakit yang sedang kamu derita pun, Mama nggak tau apapun akan itu. Mama emang Ibu terburuk."

Mendengar penyesalan Hanin Shanum menggeleng kuat, ia menatap mata Hanin yang sama sembabnya Seperti dia. Secara perlahan, Allah mengabulkan doa-doa yang hampir setiap hari ia langitkan. Salah satunya ini, dekapan seorang Ibu. Hal sederhana ini begitu Shanum dambakan dari seorang Hanin. Jika boleh Shanum berlebihan, dia ingin memberitahu orang-orang bahwa dia berhasil. Dekapan ini, sekarang sudah menjadi miliknya. Tidak ada rasa iri lagi seperti yang ia rasakan dulu.

"Pelukan ini, adalah obat dari rasa sakit yang sesungguhnya. Shanum bahagia. Terimakasih Mama."

Pecah sudah tangis Hanin. Sedalam itukah luka yang dirinya torehkan? Hanin benar-benar menyesal.

Tasya yang berada di pojok sana, dia bahkan ikut menangis. Tidak luput dari rasa terharunya, rasa kesal pun sempat terselip dalam hatinya. Memory otaknya masih menyimpan kilasan kebusukan dari wanita benama Hanin itu. Tapi mau bagaimana pun, bukankah rasa syukur lah yang seharusnya ia panjatkan melihat perubahan Hanin? Meski Tasya tidak tau seperti apa hubungan antara Ibu dan anak itu. Yang jelas keduanya tidak baik-baik saja.

"Mama udah lihat keadaan Mbak Naura?" Lihatlah putrinya ini, disaat keadaannya seperti ini ia masih memikirkan orang lain. Tingkat kepeduliannya begitu tinggi.

Dibalasnya pertanyaan itu dengan gelengan. "Belum, mungkin setelah ini Mama akan cek kondisi Naura." Tersirat kesedihan dari raut wajahnya. Ibu mana yang tidak sedih jika kehilangan yang dialaminya justru penyebab utama adalah anaknya sendiri. Ia benar-benar merasa gagal menjadi seorang Ibu. Sendainya waktu bisa diputar kembali, Hanin ingin mengurus ketiga anaknya dengan baik tanpa membedakan satu sama lain. Namun ternyata takdir berkata lain, kini yang tersisa hanyalah penyesalan saja.

Hanin menghapus air matanya serta airmata Shanum. Dengan perlahan ia melepas pelukan erat mereka. "Mama mau kerumah sakit, kamu ikut yah? Kondisi kamu yang seperti ini butuh penanganan Dokter. "

Tasya yang mendengar itu sudah menduga jawaban apa yang akan kakak iparnya berikan. Gelengan. Benar seperti dugaannya.

"Kenapa?" tanya Hanin lembut.

"Shanum lebih nyaman disini."

"Mama nggak perlu khawatir ... Shanum udah merasa tenang dengan adanya pelukan Mama. Terimakasih." Senyum dibibir pucat Shanum ntah kenapa begitu menyayat hati bagi siapapun yang melihatnya.

Dipeluknya Shanum sekali lagi oleh Hanin, dan terakhir ia berikan kecupan didahinya.

"Jaga diri baik-baik, Mama pergi dulu. Assalamualaikum."

Shanum mengangguk meski hatinya merasa tidak iklas akan kepergian Hanin saat ini. "Waalaikumussalam. Hati-hati Ma."

Hanin mengangguk, dia memberikan elusan tangan dikepala Shanum sebentar.

"Kak, Tasya kebawah dulu anter Tante Hanin," pamit Tasya yang dibalas senyuman.

****

Setelah mengatarkan Hanin hingga depan, Tasya tidak langsung ke lantai atas menemui Shanum. Dia mendudukkan sejenak dirinya di sofa karena ada seseorang yang benar-benar dia butuhkan kini. Dia harus menghubunginya sekarang juga.

Sambungan telepon pada nomor yang Tasya hubungi tidak berlangsung lama karena orang itu segera menerima panggilannya. Tasya menarik nafas terlebih dahulu sebelum mengucapkan salam. "Assalamualaikum, Bunda." Iya orang itu Asma, wanita yang kehadirannya begitu Tasya butuhkan dan rindukan kini.

"Waalaikumussalam, Bungsunya Bunda. Bunda nungguin banget telpon dari kamu, abisnya kamu kalo Bunda telpon nggak pernah diangkat," keluh Asma disebrang sana.

Nada bicara bundanya terdengar bahagia, membuat Tasya tidak tega menghancurkan kebehagiaan itu dengan memberikan beban masalah yang kini tengah terjadi di dalam keluarga mereka. Tapi kehadiran bundanya disisinya begitu sangat dibutuhkan untuk saat ini.

"Bunda kapan pulang?" Isakan tangis kini berhasil keluar dari mulut Tasya. Ia berharap sang Bunda tidak mendengar itu. Tapi sayang isakan itu justru semaki kuat, sudah dipastikan orang disebrang sana pasti mendengarnya dan sedang merasakan kekhawatiran.

"Tasya ... kamu nangis?" tanya Asma panik. "Kenapa nak, ada masalah di sana?"

"Bunda sama Papa cepat pulang, keluarga kita sedang tidak baik-baik aja Bunda. Tasya butuh Bunda sama Papa saat ini." Dulu Tasya mengadu pada orangtuanya karena masalah sepele, namun kini Tasya benar-benar merasakan masalah yang sesungguhnya itu seperti apa.

"Allahuakbar!!" Sambungan terputus. Tasya yakin Bundanya pasti sedang mempersiapkan diri untuk pulang. Asma tidak akan pernah tenang jika mendapatkan kabar bahwa keluarganya sedang dalam masalah.







B I K I N N A N G I S

Bagaimana pendapat kalian sama part ini?

Menurut kalian bagian ini ngena nggak di dihati kalian?

Ada yang bahagia, Bunda Asma comeback?

Komen yuk!!

Maaf yah untuk part ini memang pendek. Lagi gak mood nulis, otak lagi buntu juga buat nyiapin alur yang akan ditulis. Part ini buat melepas rasa rindu kalian sesaat.

Makasih buat kalian yang udah dukung dan bertahan dicerita ini, udah mau menunggu kelanjutan cerita ini dan sabar mengahadapi author yang ngaret.

Love banyak ² buat kalian💞

Kita jumpa lagi nanti dengan part terbaru, InshaaAllah.












SEMU (Pengantin Pengganti)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang