26

2.6K 288 8
                                    

_____

Setelah bertemu dengan Raja Artha aku tidak jadi menuju ke kamar Putri Serena. Aku berbelok arah hingga sampailah ke taman kerajaan.

Aku terduduk di salah satu bangku disana. Menatap kosong ke depan. Sambil sesekali menghela napas pelan.

Aku memikirkan ucapan Raja Artha tadi. Jika ragaku telah tiada, tapi yang dia maksud raga yang mana? Apakah raga yang benar-benar tempat yang sesuai untuk jiwaku ini?

Ragaku telah tiada. Jadi kemungkinan kecil aku tidak bisa kembali ke raga asliku. Bahkan aku tidak tau bagaimana caranya kembali. Sudah setengah perjalanan aku berada di tempat ini, dan aku belum juga menemukan jalan keluarnya.

Aku mengusap wajahku kasar. Jika suatu saat aku hilang dari zaman ini. Kemana jiwa ku akan pergi? Aku sudah tidak mempunyai tempat untuk pulang. Bahkan aku lupa bagaimana bisa raga asliku telah tiada.

Apakah ini semacam trik tipuan dari Raja gila itu? Tapi jika hanya sebuah trik tipuan, ia tidak mungkin berusaha untuk terus memojokkanku.

Aku harus mencari cara agar Raja gila itu mau mengatakan semuanya tentang diriku. Bahkan alasan kenapa aku bisa berada di tempat ini. Kurasa semua jawaban itu bisa aku dapatkan darinya.

Saat aku bertengkar dengan isi kepalaku, aku merasakan ada seseorang yang duduk di sebelahku. Aku menoleh sesaat dan mendengus geli.

"Bunga mawar untuk nona Rain yang sedang bersedih," ucap Pangeran Alaric yang menyodorkan bunga mawar merah padaku.

Aku menerimanya, "Kau memetiknya ya?" tanyaku menatap bunga ditanganku.

"Tentu saja,"

"Ratu Starla akan marah padamu," ucapku pelan.

"Jangan bilang ibu kalau tidak ingin melihatku dimarahi habis-habisan," ucap Pangeran Alaric menatapku seraya tersenyum lebar.

"Kau kemana saja? Kenapa baru muncul sekarang?" tanyaku menatapnya.

Pangeran Alaric tersenyum geli, "Kau merindukanku ya? Tenang saja, aku hanya sedang menyelesaikan tugas." jawabnya.

"Tugas apa?"

"Tugas mencari seorang permaisuri." jawabnya lalu tertawa.

Aku memutar bola mata, "Aku menyesal sudah bertanya,"

"Kenapa kau berada disini?" tanya Pangeran Alaric yang langsung membutaku terdiam.

"Entahlah..." aku juga tidak yakin bisa mengatakan semuanya pada Pangeran Alaric. Karena aku hanya seseorang yang dianggap sebagai teman dekat olehnya.

Pangeran Alaric terdiam. Aku meliriknya sesaat. Dia sedang menatapku.

"Kenapa kau mau berteman denganku?" tanyaku sambil menatapnya.

"Karena kau adalah Raina,"

Aku berdecak pelan, "Kita ini berbeda, Aro. Kenapa kau tidak sadar akan hal itu?"

"Apa maksudmu?"

"Akan kuberikan perumpamaan.." aku menjeda ucapanku dan beralih menatap mawar merah ditanganku, "Kau itu seperti bunga mawar ini, dan aku seperti duri yang ada di tangkainya. Kau terlalu sempurna untukku yang hanya sebuah duri saja, Aro."

Pangeran Alaric mengernyitkan dahinya tidak suka, "Kenapa kau berkata seperti itu?"

"Karena itu benar adanya." aku menatap Pangeran Alaric yang dia balas tatapan tajamnya.

Pangeran Alaric membuang muka. Aku kembali menatap mawar merah di tanganku. Ini perbedaan yang sungguh sangat bertolak belakang. Pangeran Alaric sedari dulu adalah orang yang sangat dihormati. Sedangkan aku hanya seorang gadis desa yang tidak sengaja terjerat ke dalam dunianya.

"Dengar, aku tidak tau kalau kau sampai memikirkan hal ini." Pangeran Alaric berbicara yang membuat atensiku beralih padanya, "Aku tidak peduli dengan perbedaan diantara kita. Bunga mawar dan duri itu sudah menjadi satu kesatuan. Tanpa adanya duri, bunga mawar tidak akan bisa mempertahankan hidupnya karena tameng pelindungnya ada pada durinya."

Pangeran Alaric tersenyum, "Jadi itulah kenapa jangan berpikir macam-macam tentang kita. Aku berteman denganmu karena kau adalah Raina. Cukup jadi dirimu sendiri tanpa memandang apapun yang bisa melukai hati kita masing-masing." jelas Pangeran Alaric yang langsung membuatku terdiam.

"K-kenapa.." aku mengatupkan bibirku, tidak jadi berbicara.

"Hm?" Pangeran Alaric menatapku sambil tersenyum lembut.

Aku membuang muka. Wajahku terasa panas. Dimana aku bisa mendapatkan pasokan oksigen?

"Terima kasih karena telah menjadi temanku." ucapku tulus.

Tiba-tiba tangan besar Pangeran Alaric berada di puncak kepalaku dan mengacak rambutku. Aku tersenyum masam. Selalu saja begini.

Pangeran Alaric tersenyum, "Bagaimana jika lebih dari seorang teman? Teman hidup misalnya." ucap Pangeran Alaric yang membuatku terdiam seribu bahasa.

Aku langsung bangkit berdiri, "A-aku harus kembali ke Ratu Starla." ucapku yang langsung pergi meninggalkan Pangeran Alaric tanpa menoleh padanya lagi.

***

Raja Artha telah kembali ke kediamannya. Aku merasa sedikit lega mengenai hal itu. Karena mungkin aku punya sedikit waktu untuk benar-benar mematangkan rencanaku.

Aku menatap bunga mawar yang masih berada di tanganku. Bunga ini pemberian orang yang berpengaruh di istana ini. Siapa lagi kalau bukan Pangeran Alaric. Ya, bunga ini masih ku bawa kemanapun. Alasannya karena aku tidak sempat kembali ke kamar untuk menyimpannya.

Aku duduk di sungai sambil menatap aliran air yang deras. Tempat ini dulunya adalah tempat yang nyaman saat bergurau dengan Kenzie. Ah, aku jadi merindukan anak itu. Kemana dia?

Sebenarnya aku sudah tidak ada tugas apapun. Ratu Starla memilih berada di kamarnya setelah kepergian Raja Artha yang disambut baik oleh beberapa orang. Sedangkan yang lain merasa sebaliknya, Raja Artha adalah ancaman.

Aku bangkit berdiri, dan mulai berhati-hati berjalan di atas batu yang licin. Tetapi saat langkah ke tiga aku salah menginjak batuan dan berakhir tergilincir.

Tetapi sebuah lengan menarikku ke dalam dekapannya, yang membuatku secara tidak sadar melepas bunga pemberian Pangeran Alaric. Aku masih terkejut dengan hal ini. Ini terlalu tiba-tiba.

Aku kenal wangi maskulin ini. Tetapi aku memilih tidak mendongak. Karena aku tau orang yang mendekapku ini sama dengan orang yang mengajariku menunggang kuda.

Siapa lagi kalau bukan Pangeran Oliver.

Aku tidak tau kenapa dia bisa berada disini.

Pangeran Oliver melepas dekapannya. Lalu memegang kedua bahuku. Mau tidak mau aku menatap mata tajamnya itu. Mata kami bersitatap sejenak.

"Kau ini sudah mulai tidak waras?" tanya Pangeran Oliver dengan tajamnya.

Aku tidak menjawab pertanyaannya. Lebih memilih berbalik dan mulai mencari bunga mawar pemberian Pangeran Alaric. Tetapi usahaku sia-sia, bunga itu telah hanyut oleh derasnya arus air.

Aku benar-benar ceroboh. Aku baru saja menghilangkan barang pemberian dari orang lain. Bagaimana jika sampai Pangeran Alaric tau jika bunga pemberiannya tidak aku jaga dengan benar? Meskipun itu bunga hasil mencurinya.

Aku menghela napas pelan. Bunga mawar itu sudah hilang ditelan arus sungai.

"Kau tuli?" tanya Pangeran Oliver.

Aku membalikkan tubuhku menatapnya tajam. Mulutnya tidak bisa disaring dulu apa?

"Pangeran mengikuti saya?" tanyaku.

"Saya sudah berada disini sebelum kau datang," ucapnya bersidekap dada sambil terus menatapku mengintimidasi.

Aku membuang muka. Aku ternyata terlalu percaya diri. Tolong, aku sangat malu sekali.

"Kau sendiri sedang merasa senang atas bunga pemberian Alaric atau sedang menunggu seorang laki-laki yang kau ikuti dulu?" tanya Pangeran Oliver yang duduk di tepi sungai, tetapi dia masih setia menatapku.

_____

The Kingdom Of DestinyWhere stories live. Discover now