42

1.8K 214 5
                                    

Ada yang masih baca?

_____

Kami bertemu dengan dua orang yang mendiami rumah itu. Yang pertama ada Paman Kelly atau bisa dipanggil Paman Kell. Dia adalah kepala desa disini.

Yang kedua ada Bibi Hany atau bisa dipanggil Bibi Han. Dia adalah istri dari sang kepala desa. Dan tentunya Lyn adalah anak dari mereka berdua.

Aku duduk di ruang tamu sambil mendengarkan Bibi Han bercerita. Sesekali melirik Lyn yang masih saja tersenyum menatap Pangeran Oliver.

"Lyn bisa buatkan teh untuk tamu kita?" ucap Bibi Han.

"Tentu ibu." Lyn segera kebelakang untuk membuatkan minum.

"Jadi apa tujuan kalian menemui saya?" tanya Paman Kell.

"Kami ingin menanyakan soal bangsa penyihir." ucap Pangeran Oliver.

Wajah Paman Kell yang semula santai langsung berubah serius saat mendengar kata penyihir. Aku diam tidak mengeluarkan suara sedikitpun.

"Kenapa anda menanyakan soal penyihir?" tanya Paman Kell.

"Tunggu sebentar.. anda sebenarnya berasal dari mana?" tanya Bibi Han merasa curiga.

Pertanyaan itu seperti membombardir kami. Bahkan lidahku kelu untuk menjawab.

"Kami berasal dari kerajaan Emerland, dan Pangeran Oliver datang dengan damai bermaksud menanyakan perihal bangsa penyihir." jelas Panglima Thomas.

"Maafkan kami yang tidak tau jika anda adalah Pangeran.." ucap Paman Kell.

"Tidak masalah. Sekarang jelaskan pada saya, bagaimana cara mengalahkan bangsa penyihir selain membakar mereka?" tanya Pangeran Oliver.

"Mereka harus dibunuh dengan menggunakan pedang abadi. Pedang itu harus di tusuk tepat di jantungnya." jelas Paman Kell.

"Dimana letak pedang itu?" tanya Pangeran Oliver.

"Di gua kematian." jawab Paman Kell, "Kalian harus menemukan tembok besar di hutan terlebih dulu jika ingin menemukan gua itu." jelasnya.

"Apakah ada masalah dikerajaan, Pangeran?" tanya Bibi Han.

Panglima Thomas mulai menceritakan semua kejadian yang terjadi dikerajaan. Tetapi dia tidak menceritakan aku yang dituduh sebagai penyihir. Dia menceritakan Raja Artha yang merebut kekuasaan Emerland dengan bantuan kekuatannya itu.

"Raja Artha adalah pemilik keturunan bangsa penyihir. Kakeknya belum lama ini meninggal." ucap Paman Kell.

Aku tertegun sesaat. Kakek Raja Artha?

"Kakeknya seorang penyihir?" tanyaku memastikan.

Bibi Han mengangguk, "Beliau adalah seorang penyihir hebat. Dia berasal dari desa ini. Ternyata keturunannya sama hebatnya dengannya. Meskipun salah menggunakan kekuatan." ujar Bibi Han.

"Kami tidak tau kalau Raja Artha begitu berambisi untuk menaklukkan Emerland. Karena kami menutup akses dari kerajaan sekitar." ucap Paman Kell.

Aku terdiam sesaat. Mulai memikirkan teori liar di otakku.

Jadi, Ibu dari Raja Artha sebelumnya pernah tinggal di desa ini untuk kemudian pergi ke kerajaan dan bertemu Ratu Starla dan menjadi temannya. Lalu dia menjalih hubungan dengan Raja Orlan yang saat itu dijodohkan dengan Ratu Starla. Tetapi dia memilih pergi saat mereka sudah menikah. Dan dia menemukan tujuannya sendiri yaitu Raja Hiraksa, ayah dari Raja Artha.

Mereka menikah, dan saat Raja Artha lahir. Dia adalah keturunan seorang penyihir yaitu dari kakeknya. Setelah sekian lama akhirnya benang kusut ini punya titik terang. Itulah kenapa Raja Artha punya kekuatan maha dahsyat karena gen dari kakeknya.

Bibi Han tersenyum padaku, "Raja Artha ingin hidup abadi. Anda pasti tau kenapa alam bisa tidak seimbang." ucapnya padaku.

Aku menegakkan dudukku. Jangan bilang mereka tau—

"Kami adalah kuturunan penyihir nona Raina. Kami tau apa yang terjadi dengan anda." ucap Bibi Han.

Aku refleks membulatkan mata terkejut.

"Tidak perlu takut, kami tidak berbahaya. Kami hanya mempunyai sedikit kekuatan penyihir." ucap Paman Kell beralih menatap Pangeran Oliver, "Maafkan kami Pangeran Oliver. Kami bersikap seperti tidak mengenal anda karena ingin memastikan suatu hal kepada nona Raina." ucapnya yang dibalas deheman oleh Pangeran Oliver.

"Bahkan kami tau ada orang lain di dalam sana." ucap Bibi Han sambil menatap kalung di leherku.

Sebuah cahaya putih keluar dari dalam kalung. Julia tersenyum cerah. Aku melihatnya sudah seperti biasa. Tidak kesakitan lagi.

"Ada yang memanggilku?" tanya Julia.

Panglima Thomas menatap datar, "Jadi anda membawa penyihir ini selama perjalanan nona Raina?"

Aku tersenyum kikuk. Mau bagaimana lagi?

"Wah ternyata ada satu orang lagi. Aku harus membuat teh lagi..." ucap Lyn sambil membawa teh di tangannya.

"Tidak perlu repot-repot kak Lyn. Aku sudah kenyang makan angin." ucap Julia riang.

"Kalian bisa beristirahat di sini. Ada beberapa ruang kosong untuk beristirahat." ucap Bibi Han, "Saya akan membuatkan makanan untuk kalian." lanjutnya lalu pergi ke belakang.

"Saya juga harus pergi ke luar. Saya akan menghadiri rapat dengan warga desa." ucap Paman Kell pamit pergi.

Pangeran Oliver mengangguk, dan mulai menyeruput tehnya. Panglima Thomas juga meminum teh yang dibuat Lyn. Aku ragu-ragu meminum teh itu juga. Rasanya enak, menenangkan.

Aku tersenyum miris. Ini bahkan lebih enak dibanding teh buatanku.

"Kak Lyn, apakah kau bisa mengajariku membuat teh itu? Wangi teh itu sangat harum sekali." ucap Julia.

Aku mengernyitkan dahi heran. Kenapa Julia cepat sekali akrab dengan Lyn? Dia juga memanggil Lyn dengan sebutan 'kakak'. Heh? Dia kira aku disini hanya pajangan semata?

Aku meletakkan teh di meja. Lalu bangkit berdiri, "Aku akan pergi keluar sebentar." ucapku.

Tidak ada yang peduli. Bahkan Julia asik mengobrol dengan Lyn. Pangeran Oliver hanya menatapku sekilas. Sedangkan Panglima Thomas mulai memejamkan matanya, berniat tidur.

Menyebalkan.

Aku mengerucutkan bibirku. Lebih baik berkeliling diluar daripada menjadi patung yang tidak dianggap. Setidaknya ini dapat membuat suasana hatiku lebih baik.

Aku melihat-lihat aktivitas di desa ini yang semakin sore. Aku naik kesebuah bukit untuk melihat pemandangan di sore hari. Banyak anak-anak yang berlarian kesana-kemari. Orang-orang berdagang. Aktivitas yang menyenangkan.

Aku duduk sambil membiarkan rambutku diterpa angin sore. Disini aku hanya seorang diri. Itu lebih baik.

Tetapi ketenanganku hilang begitu saja saat seorang pria duduk disampingku. Aku menatapnya heran.

"Langit yang indah." ucap pria itu lalu menoleh padaku, "Oh aku tidak tau kalau ada orang lain disini." lanjutnya.

"Kau siapa?" tanyaku.

"Seharusnya aku yang bertanya begitu. Kau siapa? Kenapa berada di tempatku?" tanya pria itu.

"Ini tempatmu?" aku menatap sekitar, "Kau tidak punya rumah?" tanyaku frontal.

Pria itu tertawa geli, "Ini tempat kesukaanku, nona. Dan aku punya rumah untuk pulang." ucapnya.

"Oh jadi ini tempatmu? Maaf aku tidak tau. Aku akan pergi." ucapku hendak berdiri tetapi suaranya menginterupsiku untuk tetap ditempat.

"Tetaplah disini, aku butuh teman untuk melihat matahari terbenam." ucap pria itu.

Aku tersenyum licik, "Baiklah tuan. Setidaknya aku harus berterima kasih karena kau sudah memberiku ruang. Jadi siapa namamu?" tanyaku.

Pria itu tersenyum padaku, "Ryan. Kau bisa memanggilku begitu."

_____

The Kingdom Of DestinyWhere stories live. Discover now