22.00

105K 13.4K 6.9K
                                    

Hai, Vren!

Absen jam berapa kamu baca part ini!!

Nabung vren, biar bisa meluk 01.00❤️

Spam '01.00' dulu sebelum baca!

Jangan lupa Votenya🥺 5K vote untuk lanjut.

Jangan lupa Votenya🥺 5K vote untuk lanjut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau mati, aku punya permintaan." Ucapan Lengkara membuat Masnaka yang tadinya fokus menulis di buku catatan biologinya langsung menoleh.

"Gak! Jangan mati!" sentak Masnaka, lalu kembali menulis.

"Seumpama doang—."

"Gak!"

"Seumpa—."

"Gak boleh! Kamu harus tetap hidup, Kara."

Ucapan Masnaka membuat Lengkara mengerutkan dahinya. "Kenapa?" tanya gadis itu heran.

Masnaka menghentikan kegiatan menulisnya. Laki-laki itu kemudian menghadapkan tubuhnya ke arah Lengkara yang duduk di sebelahnya. Perlahan ia meraih belakang leher Lengkara menggunakan satu tangannya.

"Karena kalau kamu mati...." Masnaka menjeda kalimatnya. Ia kemudian mendekatkan wajahnya dan mencium lama dahi gadis itu.

"Aku juga mati," ucapnya pelan.

Lengkara terdiam sejenak, entahlah, ia bingung harus tersenyum geli atau tersenyum malu mendengar perkataan Masnaka.

"Terus kalau kamu yang mati?" tanya gadis itu penasaran, sambil menatap kedua mata di hadapannya yang sangat cantik.

Masnaka tersenyum tipis, tangannya yang berada di leher Lengkara beralih mengusap puncak kepala kepala gadis itu. "Kamu jangan mati."

Lengkara menatap kosong buku catatan biologi Masnaka. Buku berwarna hitam dengan tulisan nama Masnaka yang terletak di tengah sampul buku itu.

Gadis itu perlahan membuka buku catatatan biologi laki-laki itu, catatan yang di mana tersimpan banyak fakta yang Masnaka rahasiakan di dalam situ.

"Naka...," panggil gadis itu pada angin yang berembus menerbangkan untaian rambutnya.

Kali ini gadis itu berdiri sendirian di atas balkon kamarnya. "Boleh aku minta ke Tuhan supaya hati aku jangan dibuat berpaling dari kamu...."

"Perasaan cinta aku jangan dihilangkan begitu saja dari kamu." Lengkara mengusap sayang buku catatan di dalam genggamannya itu.

"Aku masih mau egois dengan perasaan aku, Ka. Gapapa hati aku sakit, asal kamu selalu ada di dalam sana."

Saat ini tak ada lagi air mata di wajah gadis itu. Ia sudah mencoba untuk kuat menghadapi semua rasa sakit yang sedari dulu menderanya.

Ia tidak akan lagi menangisi rasa sakit itu, ia kini hanya akan mencoba menikmati rasa sakit yang menyedihkan itu.

"Kamu laki-laki hebat, Ka. Kamu berhasil menjadi pemeran utama di tiap cerita yang aku tulis."

01.00Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang