Si Hijau

5.4K 472 78
                                    

Diandra's POV

"Apaan yang deal-deal? Aku bisa denger lho kalian ngomong apa."

Aku dan Mas Bara kompak menoleh, ternyata Nafisa. Ingin rasanya merutuki diriku sendiri karena lupa kalau Nafisa masih berada di rumahku, apa dia mendengar semuanya tadi? Tidak mungkin dia tidak mendengarnya, rumah kontrakanku tidak sebesar itu.

"Mba nggak usah kaget gitu, aku nggak akan ikut campur urusan kalian," kata Nafisa, dia kembali fokus menonton TV sambil memainkan ponselnya.

Aku mendekati Nafisa dan menariknya ke kamar, meninggalkan Mas Bara sendirian. "Naf, Mba mohon apa yang kamu bilang tadi bener."

Nafisa mengeluh. "Mau berapa kali lagi Mba terus-terusan begini sih?"

Diam, aku tidak tau harus menjawab apa. Sampai kemudian aku berucap, "Kamu tau kan? Abangmu itu kalau udah mau sesuatu nggak akan berhenti sampai dia dapat, cuma ini satu-satunya cara supaya Mba sama dia nggak sama-sama lagi."

"Jadi Mba lebih memilih untuk terus sembunyiin semuanya dari Bang Bara? Dari pada Mba pakai jalur begini, kenapa Mba nggak jujur? Aku rasa kalau Mba jujur, kalian bisa bener rujuk. Bukan cuma sekedar main rujuk-rujukkan kayak rencana kalian tadi."

"Mba nggak bisa Naf, Mba nggak bisa dan nggak mau rujuk sama Abangmu," kataku jujur, untuk apa semua ini aku lakukan kalau ujung-ujungnya aku kembali berlabuh pada Mas Bara? Tau begitu lebih baik sedari awal tidak usah cerai sekalian bukan?

"Kenapa?"

Mataku terpejam. "Orangtua kalian, kami nggak akan pernah bisa bahagia kalau kembali bersama karena mereka nggak akan diam."

Helaan napas Nafisa terdengar. "Aku yakin Bang Bara bisa atasi itu. Mba cuma harus jujur sama dia, apa Mba tau? Abang benci sama Mba karena dia taunya Mba selingkuh."

Tau! Aku jelas tau. "Naf, Mbak nggak bisa. Kami sekarang juga udah saling nggak punya perasaan apapun satu sama lain."

Nafisa mendengus. "Karena kalian bodoh, nggak saling mencintai Mba bilang? Aku bahkan bisa liat dengan mata telanjang kalau apa yang Mba sama Bang Bara bilang itu nggak sejalan sama hati kalian. Kalian masih saling mencintai, cuma baik Mba dan Mas Bara memilih menutupi semua itu, kalian sama-sama egois."

"Naf, mba mohon."

Nafisa bersedekap. "Mba nggak perlu khawatir, seperti yang aku bilang kalau aku nggak akan ikut campur. Aku cuma ngasih pandanganku, sesuatu yang dimulai sama kebohongan cuma akan melahirkan kebohongan lainnya, hidup Mba nggak akan pernah bisa tenang."

***

"Hai."

Aku hanya tersenyum simpul melihat Mas Bara yang sudah standby di gerbang sekolah. Sudah seminggu sejak kami membuat kesepakatan dan dia selalu bersikap seperti ini. Benar saja yang dia katakan sebelumnya, aku serasa sedang dipacari olehnya. Antar-jemput, bahkan sampai pesan singkat berisi hal-hal tidak penting juga menumpuk di ponselku, kalau tidak kubalas Mas Bara akan merajuk seperti remaja baru pacaran.

Kubuka pintu mobilnya. "Kamu pinjem mobil siapa lagi ini?"

Dia terkekeh. "Ini punyaku, hasil jual motor beberapa hari kemarin.
Uangnya aku pakai untuk beli mobil ini dan sisanya aku tabung untuk beli rumah kita nanti."

"Mas..."

Mas Bara tersenyum. "Ikuti aja alurnya Di, kamu mau aku jatuh cinta dulu kan? Kalau begitu ikuti alur yang aku buat oke?"

Aku memilih untuk tidak menjawabnya dan fokus dengan Hasya dalam gendonganku.

"Kita makan dulu ya?" ucap Mas Bara.

Juntai KataWhere stories live. Discover now