Bagian Limapuluh Enam

6.1K 1.2K 114
                                    

Mohon maaf lahir batin yaa ✨❤
Maaf kalau selama baca cerita2ku, ada yg tidak berkenan di hati kalian ☺

Selamat membaca 🙌

———————

Motor yang muncul di ujung gang membuat petikan gitar Ardan terhenti. Emil juga ikutan menoleh sambil menggigit roti bakar yang dia beli sepulang kerja.

Kepalanya tertoleh cepat ke Ardan. "Sape tuh? Mantannya Agni yang kemarin chat?" Memang ya, kalau urusan rusuh Emil nomor satu. "Wah, nggak bisa dibiarin. Gue ambilin gir sekarang!"

Menahan dada Emil yang hendak bangkit. "Bukan. Abang ipar gue."

Bang Rizal berhenti di dekat dipan, mematikan mesin dan melepas helm. Tanpa basa-basi. "Dan, tolong panggilin anak kos lo dong."

Emil menatap mereka berdua bergantian, pipinya menggelembung karena kunyahannya terhenti. Calon abang ipar kok udah akrab aja nyuruh-nyuruh manggilin.

Ardan sengaja menggoda. "Anak kosku banyak, Bang. Mau ketemu yang mana nih? Adik kandung apa calon masa depan?"

Emil tersedak-sedak.

"Yang kedua boleh."

"Sejam tiga ribu ya, Bang."

"Lo kata warnet."

"Tapi anak kos lagi pada kumpul di depan TV, mantengin badminton. Agak berisiko sih. Jangan di depan gerbang kos banget ya."

Turun dari motor seraya mengangguk. "Gue tunggu di depan warung."

Ardan meletakkan gitar, menyambar kotak roti bakar dan menjejalkannya ke tangan Emil. Bentuk usiran yang nyata. Belum cukup, tubuh Emil juga ditarik agar lekas berdiri dari dipan. Ketika terlihat akan protes, Ardan membalik paksa Emil. Menepuk pundak seraya mendesis. "Pulang. Ada orang mau pacaran. Mau nontonin?"

"Ih, ogahlah yaw!"

Dengan cemberut, Emil memeluk kotak roti bakar sambil jalan pulang. Mengangguk seadanya pada Bang Rizal saat lewat di depan warung.

Sebelum menggeser gerbang kos, Ardan menarik napas panjang dan mengembuskannya. Sekali gerakan, dia menggeser gerbang dan betapa beruntungnya target ternyata sudah berada di ruang TV—terlihat menunggu.

“Abang!”

“Abwangggg!”

“Mau ikut nonton juga, Bang? Sini, sini!”

“Ngajak beli seblak, Bang? Hayuk.”

“Abang nyari kopi? Aku buatin pake cinta dan restu Ayah Ibu, Bang.”

Ardan berusaha kalem. “Kalian fokus nonton aja. Gue nyarinya Sasa.”

Sasa menegakkan tubuh dari sandaran. “Kenapa, Bang?”

Ardan melirik muka-muka di sofa yang menatapnya dengan penasaran dan mupeng. Cuma berani sebentar sebelum matanya kembali ke Sasa.

“Kenapa, Bang?” tanyanya lagi.

“Makanan lo tuh. Dateng.”

“Oh? Tapi aku nggak pesen—”

Ardan mengedipkan sebelah mata dan Sasa langsung meninggalkan dinding tanpa banyak tanya lagi. 

Ketika melewati bahu Ardan, dia berpesan lirih. “Tolong jagain mereka, Bang. Aku nggak mau heboh sekarang.”

“Aman. Jangan lama tapi ya, gue bisa gila.”

Sepeninggalan Sasa, Ardan harus menghadapi berondongan pertanyaan tidak penting selanjutnya.

"Abang ikut turnamen voli?"

ARDAN √Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ