Bagian Enampuluh

5.3K 1.2K 151
                                    

Naik ke kamar dan tidur dengan mudah?

Salah besar. Sejak menutup pintu kamar sejam yang lalu, Ardan hanya duduk di tepian kasur. Merenung dan menatap kotak sepatu di bawah pencahayaan lampu nakas. Raganya di sana, tapi tidak dengan pikirannya. Berkali-kali dia memposisikan diri menjadi Agni agar mengerti. Yang dikatakan Emil bisa jadi benar. Dirinya memang egois.

Dia mulai menyesali hal yang tidak dia lakukan. Saat Agni marah, dia hanya memberi pelukan dan bukan menahannya untuk tetap di sisinya. Seharusnya dia meyakinkan untuk terus melangkah, tanpa perlu menoleh, karena mereka punya rencana indah bersama hingga kehadiran siapa pun tidak perlu menjadi penghalang.

Serasional apa pun, sekuat apa pun dia menyiapkan diri dengan keputusan Agni, hati kecilnya tidak bisa dikelabui. Ardan sama sekali tidak ingin membayangkan dirinya harus melewati serangkaian patah hati sebelum akhirnya membuka hati dan bersama orang lain, lagi.

Dia ingin berhenti di Agni.

Ketika tadi Emil bertanya, dia menjawab enteng akan menemui Agni besok. Tapi yang dia rasakan sekarang, rentang waktu menuju pagi terasa panjang dan membuatnya sesak. Dia tidak mau menunggu. Kalau pun tidak bisa bicara baik-baik, setidaknya dia bisa melihat Agni. Itu sudah cukup. Walau hanya sebentar.

Satu jam kemudian, dia mendapati dirinya berdiri di depan pagar rumah yang pernah dia kunjungi sekali. Ponsel tergenggam di tangan kanan. Keinginan untuk melihat Agni begitu besar tapi keraguan juga muncul pada detik dia mematikan mesin mobil. Itu yang membuatnya urung menelepon.

Apa yang dia lakukan terlihat bodoh, bukan? Sekarang jam satu dini hari. Ardan hanya akan mengganggu tidur Agni kalau nekat minta ditemui.

Berniat meninggalkan pagar, tapi tubuhnya tertahan. Pintu rumah terbuka dan Agni muncul di sana. Perempuan itu melewati teras, jalan setapak, lalu berhenti dua langkah dari pagar.

Mereka kini berdiri berhadapan, terpisahkan oleh pagar.

"Aku datang karena kangen kamu," akunya jujur.

Agni diam. Raut wajahnya tidak terbaca. Bahkan tidak ingin beranjak untuk memperpendek jarak. Agni membiarkan mereka berjarak. Bicara pun hanya berdiri, tidak mempersilakan Ardan duduk di teras. Tanda kalau dia tidak ingin bertemu lama-lama.

"Makasih buat sepatunya."

Mengangguk pendek. "Udah? Lebih baik kamu pulang."

Ardan menggunakan waktu untuk meneliti Agni lagi, yang syukurnya terlihat baik-baik saja. Selama tiga hari dia cemas kalau perempuan ini mengabaikan kesehatan. Belum ditambah desakan untuk memilih. Apakah begitu membingungkan? Semakin Agni bingung, Ardan semakin merasa kalau Asta masih ada di hatinya.

"Kapan kamu pulang ke kos?" tanyanya lembut, sebelum pulang.

"Nggak dalam waktu dekat."

Ardan tersenyum tipis. "Marahnya jangan lama-lama. Aku nggak bisa."

"Siapa yang marah."

"Sedihnya jangan lama-lama. Ada yang nungguin kamu di kos."

Agni melipat tangan ketika angin berembus semakin dingin dan kardigan rajut yang dia kenakan tidak cukup menghalau. Ardan melihat gerakan itu, muncul keinginan untuk merengkuh tubuhnya. Tapi sadar dengan keadaan mereka seperti apa.

"Aku udah sadar salahku di mana."

Saat itu, Agni memilih membuang wajah. Menatap besi pagar yang berkarat. Tapi dia mendengarkan.

"Kalau-kalau semua sikapku nggak cukup membuktikan keseriusan selama kita dekat, aku pengin kamu tahu kalau aku pantas kamu pilih. Aku nggak peduli gimana dia memiliki hati kamu, seberapa lama dia menemani kamu melewati masa-masa sulit, gimana kehadiran dia pernah sangat berpengaruh di hidup kamu, tapi aku layak kamu pertimbangkan."

ARDAN √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang