7. Flashback

520 34 5
                                    

Selamat membaca~

●□●□●

Dianna duduk di meja belajarnya dan segera membuka beberapa buku pelajarannya. Tak lupa, ia menyiapkan buku catatan untuk mencatat hal-hal yang penting. Ia pulang pada pukul 4 sore. Ia belajar sampai tidak sadar bahwa sekarang sudah pukul 7 malam.

Karena terlalu fokus untuk belajar, ia melupakan jadwal makan malamnya. Awalnya tadi Arkan menanyakannya, tetapi Dianna hanya menjawab bahwa dia sedang tidak lapar. Kenyataan pahitnya adalah kedua orang tuanya bahkan tidak peduli dengannya, entah ia sudah makan atau belum.

"Huftt... akhirnya selesai."

Dianna menghela napas lega, setelah menyelesaikan belajarnya. Ia melihat jam dinding di kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Dianna bangkit dari duduknya karena ingin ke dapur mengambil minum. Tepat saat ia membuka pintu kamarnya, ia mengerutkan dahinya bingung saat ada sebuah nampan yang berisi makanan dan jus kesukaannya. Dianna mengangkat nampan itu dan melihat sebuah kertas, ia pun membacanya.

Makan ya, sayang.
Belajar boleh, tapi jangan sampai lupa sama kesehatan kamu sendiri.
From Ark

Dianna tersenyum saat membaca itu. Kenyataan manisnya adalah ia masih mempunyai kakak yang sangat peduli kepadanya, bahkan sangat sayang kepadanya. Dianna pun memilih untuk menghabiskan makanannya terlebih dahulu.

~●~

Sebuah cahaya memasuki kamar Dianna. Menandakan bahwa pagi telah tiba. Dianna dengan segera bangun dan bersiap-siap untuk sekolah. Setelah siap-siap, ia membawa buku catatan dan membacanya selama perjalanan menuju sekolah. Sekeras itu Dianna berusaha. Bahkan Icha sampai lelah untuk merayu Dianna agar mau diajak ke kantin. Sampai di rumah Dianna mandi, setelah itu ia kembali bertemu dengan meja belajarnya lagi.

Seminggu terlewati, masih sama seperti sebelumnya. Dianna seperti disihir oleh buku-bukunya itu. Ia tak pernah jauh dari buku-bukunya itu perdetik pun. Bahkan jadwal makannya jadi tak teratur. Arkan sangat khawatir dengan adiknya itu, sampai mereka menjadi tidak ada waktu bicara karena Dianna yang belajar. Arkan juga tidak tega mengganggu adiknya yang sedang serius belajar utu.

Di hari Minggu ini, Dianna mencatat semua rangkumannya. Besok senin adalah harinya, di mana ia akan berhadapan dengan ujian yang menentukan kelulusannya. Tak, bunyi bolpen Dianna yang terjatuh. Di saat Dianna akan mengambil bolpennya, tiba-tiba ada cairan yang berwarna merah jatuh di bawahnya. Dianna terkejut.

Ternyata itu berasal dari hidungnya, ia mimisan. Kedua kalinya ia mimisan, dan tidak ada seorang pun yang tau. Pertama kali Dianna mimisan di sekolahnya, tepat hari terakhir latihan ujian sekolah.

Saat itu…

“Dianna… kamu yakin nggak apa-apa?” Icha bertanya kepada Dianna dengan khawatir.

Dianna tersenyum tipis. “Iya, aku nggak papa kok.” Icha masih ragu dengan jawaban Dianna. Karena tadi pagi Dianna bilang kalau dia belum sarapan sama sekali. Apalagi Dianna punya penyakit maag dan juga darah rendah. Jelas itu tidak baik bagi kesehatannya.

Baru ingin berbicara, guru memasuki kelas mereka. Icha pun kembali fokus walau ia tetap khawatir dengan Dianna. Guru pun mulai membagikan kertas latihan ujian murid-muridnya. Di saat Dianna ingin menerima kertas ujian dari teman yang berada di depannya, tiba-tiba ia merasa pusing. Teman depannya yang menyadari Dianna tak segera mengambil kertas ujiannya, dengan kesal ia menaruh kertas ujian itu ke meja Dianna.

Dianna pun mencoba untuk kembali sadar. Tak lupa, ia berterimakasih ke teman depannya. Latihan ujian pun dimulai. Kelas mulai hening dan hanya terdengar coretan-coretan yang murid-murid tulis di kertas ujian mereka.

Dianna sudah mengerjakan 5 soal. Tapi, ia begitu terkejut saat darah menetes dari hidungnya. Dianna menutup hidungnya untuk menahan darah yang keluar dari hidungnya. Tetapi, ia juga merasa sangat pusing. Pandangannya mulai buram, sampai akhirnya…

BRUK

Icha dan teman-teman sekelas terkejut. Dengan cepat, Icha mendekat ke Dianna yang terjatuh lemas. “Bu! Dianna pingsan!” ujar Icha yang panik.

“Tenang anak-anak, Tenang!” sahut guru yang menjadi pengawas di kelas mereka. “Cepat bantu dan dibawa ke UKS,” suruh guru sambil menunjuk muridnya untuk mengangkat Dianna.

Dianna pun dibawa UKS. Guru juga memanggil dokter untuk memeriksa Dianna. Dia hanya takut jika keadaan Dianna parah. Jika memang parah, dia bisa membawa Dianna ke rumah sakit.

Dengan sedih Icha tak bisa menemani sahabatnya, Dianna. Semua teman sekelasnya harus kembali fokus untuk mengerjakan latihan ujiannya. Icha pun dengan terpaksa harus kembali fokus. Setelah selesai, buru-buru Icha pergi ke UKS menemui Dianna. Ia juga membawa tas Dianna agar Dianna tidak harus susah mengambil tasnya di kelas.

Tepat Icha datang ke UKS, ternyata Dianna juga baru siuman. Selama 3 jam Dianna baru sadar… itu membuat Icha tambah khawatir. Dan tanpa sengaja Icha menguping pembicaraan dokter dan gurunya.

“Ini semua dikarenakan nak Dianna yang terlalu kecapekan, Bu. Lebih baik, setelah ini nak Dianna harus mengisi perut kosongnya. Saya sudah memberi resep obat ke Dianna. Karena dia sudah siuman, saya akan kembali. Saya permisi ya, Bu.”

Gurunya hanya bisa mengangguk dan berterimakasih ke dokternya. Saat dokter keluar dari ruang UKS, dengan cepat Icha sembunyi. Setelah dokternya pergi, Icha pun masuk ke ruang UKS dan bertanya ke gurunya. Walaupun ia sudah tau, ia masih tetap ingin bertanya kembali.

Gurunya pun menjelaskan semuanya ke Icha yang sudah diketahui kalau dia adalah sahabat Dianna. “Nak, kamu belikan makanan ya untuk Dianna? Ini Ibu kasih uang untuk membelikan makanan Dianna.” Melihat gurunya menyodorkan uang, Icha langsung mendorong sopan tangan gurunya.

“Terimakasih, Bu. Tetapi, Ibu tidak perlu memberikan uang Ibu ke saya. Saya ada uang kok untuk itu. Lebih baik Ibu pulang istirahat, Ibu pasti sudah kecapekan.” Awalnya gurunya menolak, tetapi karena Icha meyakinkannya, gurunya pun mengangguk setuju.

Icha pun pergi untuk membelikan makanan Dianna. Guru Dianna mendekati Dianna yang terbaring lemas di ranjang UKS. “Orang tua kamu perlu tau ini, nak. Ibu telpon mereka ya?” Dianna mencegah gurunya yang ingin menelpon orang tuanya dengan lemas.

“Jangan, bu… saya mohon," ujar Dianna dengan lemas.

“Tapi, nak ini-“ Gurunya menghentikan ucapannya saat Dianna menggelengkan kepalanya pelan.

Akhirnya gurunya pun mengangguk menyetujuinya. Walau mungkin itu berisiko, Dianna sendiri yang menginginkan itu. Guru Dianna pun pamit untuk pulang saat Icha sudah datang. Tinggal Icha dan Dianna. Icha menyuapi sahabatnya yang lemas itu. Ia juga memaksa Dianna agar tetap makan walaupun tidak enak.

~●~

"Berusaha untuk kuat itu tidak mudah."

TERLAMBAT [TAMAT]Where stories live. Discover now