BAGIAN 2

20 5 3
                                    

Maya berdiri di balkon kamarnya, menikmati pemandangan alam yang gelap. Seakan ikut merasakan sendu di hati Maya, malam itu bulan cukup tahu diri dengan bersembunyi di balik awan hitam. Maya menatap jauh ke depan pada satu cahaya yang mengerlip di ujung langit. Dengan pikiran berkecamuk bagaikan benang kusut, memutar semua peristiwa acak, kekacauan yang telah menghancurkan hidupnya. Harga dirinya sebagai perempuan.

Sering Maya berusaha berdamai dengan hatinya. Mencoba mendinginkan kepalanya, meredam emosi, memaafkan dirinya, memaki dirinya. Namun, kesalahan yang telah dilakukannya, tak termaafkan. Apapun yang dilakukannya, kemanapun dia pergi, rasa bersalah mengikutinya bagai ekor. Sedih, marah, frustasi adalah tiga yang selalu menghantui perjalananya di balik senyum dan keceriaan yang orang-orang lihat.

Terkadang Maya merasa apa yang telah dialaminya saat ini sebenarnya tidak nyata. Bahwa dia telah kehilangan kodratnya sebagai perempuan. Jauh di benak masih ingin merasakan benih-benih cinta tumbuh di perutnya, di rahimnya. Pasti sangat menyenangkan melalui semua itu. Setelah mengambang di alam mimpi, Maya pasti akan kembali  terhempas ke alam nyata jatuh pada lantai paling bawah hingga dia merasa seluruh tubuhnya remuk. Namun, yang paling sakit dari semuanya adalah hatinya. Sebuah pertanyaan yang selalu terngiang siang dan malam, karena dia tidak pernah menemukan jawabanya.

“Jika bintang itu bisa bicara pasti dia sudah berteriak meminta kau berhenti menatapnya.” Bian menghampiri langsung melingkarkan tangan pada pinggang ramping Maya. Perempuan itu mengulas senyum, mengelus tangan Bian yang terasa menggelitik perutnya.

“Kenapa belum tidur?” tanya Bian sangat lirih, meletakkan dagu di pundak Maya.

Dari jarak yang sangat dekat Bian bisa mencium perpaduan aroma almond, melati, musk dan jacaranda yang sanggup menghipnotis dari tengkuk Maya, dihirupnya udara sedalam yang dia mampu seakan ingin meraup semua harum itu. Istrinya memang pandai memilih aroma parfum, begitu pikir Bian. Dior Hypnotic Poison, parfum wanita terbaik dengan aroma oriental yang menarik dan memberikan semangat sangat cocok dengan Maya.

“Belum ngantuk.”

“Kau bohong, pasti karena menungguku,” ucap Bian penuh percaya diri. Bibir Maya kembali menyungging senyum, sayangnya Bian tidak bisa melihatnya.

“Mami sudah tidur?” tanya Maya seraya berbalik badan.

“Sudah, baru saja.”

Maya memutar badan sehingga mata indahnya bersirobok dengan senyum Bian, senyum yang menyinarkan kedamaian, kemantapan, kesabaran. Senyum yang mengundang rasa percaya dan memberi perlindungan.

“Ada apa?” tanya Bian melihat sesuatu yang lain dari sorot istrinya.

“Boleh aku minta sesuatu?” Maya berucap dengan suaranya yang lembut, suara yang berhasil membuat seorang Bian jatuh cinta sepuluh tahun lalu.

Anggukan Bian membawa gerakan Maya mendekatkan wajah pada Bian, dari jarak yang sangat dekat Maya mengungkapkan keinginan di depan telinga suaminya. Jangan kira dengan cara romantis seperti itu Maya meminta sesuatu yang indah, karena pada kenyataanya Bian seketika melebarkan kelopak mata setelah mendengar permintaan ‘gila’ istrinya.

“Jangan meminta sesuatu yang tidak mungkin bisa kuberikan, jika kau tidak ingin membuat aku merasa berdosa.”

“Kau bisa melakukannya, Sayang.”

“Tidak!” tolak Bian tegas tidak ingin dibantah.

Bian menatap wajah istrinya tajam. Apa yang terjadi pada Maya hingga tiba-tiba saja meminta dirinya mendua? Bukankah suami istri umumnya menginginkan kesetiaan untuk rumah tangganya yang harmonis, lalu kenapa Maya menginginkan kehadiran yang lain di tengah keharmonisan yang sudah terbangun.

Maya tersenyum. “Bukankah kita sangat menginginkan kehadiran anak-anak?”

Bian membisu membiarkan Maya menyelesaikan bicaranya.

“Kau tidak bisa mendapatkannya dariku,” lanjut Maya suaranya mulai parau.

“Apa aku menuntutmu untuk melahirkan mereka?” sanggah Bian.

Maya sebenarnya merasa beruntung suaminya tidak pernah menyinggung hal ini, tidak pernah menyakiti hatinya dengan mengatakan dirinya mandul, seperti yang umumnya akan diperbuat laki-laki lain. Sebagai suami Bian sudah cukup sabar dengan tidak bisa langsung membuktikan kejantananya setelah kawin, dia harus menunggu lima bulan lamanya untuk mendapat kabar kehamilan Maya. Namun, sebelum anak yang dikandung Maya sempat melihat dunia sebuah kecelakaan merenggut nyawa janin tersebut. Fatalnya Maya harus kehilangan calon anak sekaligus dengan rahimnya.

Sepuluh tahun pernikahan, Bian tidak pernah menyinggung masalah ini. Kendati umurnya sudah empat puluh tahun, sudah terlalu siap untuk menjadi seorang ayah. Dan Maya? Dirinya sendiri pun sudah lebih daripada matang untuk menjadi seorang ibu. Dia wanita muda yang sehat, tak kurang suatu apa pun, kecuali satu hal. Rahim sudah tidak bersarang di perutnya.

“Kau begitu karena kau tahu aku tidak mungkin bisa.” Perih hati Maya mengucapkannya.

Bian memang tidak pernah menuntut, tetapi ibu mertua, keluarga, dan sanak family yang lain yang tidak tahu keadaan Maya, mereka silih berganti menanyakan kapan kehadiran malaikat kecil itu. Seandainya Bian mengizinkan berterus terang pada keluarga besar tentang keadaanya yang sebenarnya mungkin hati Maya tidak terus menerus di dera sakit.

Bian khawatir akan kehilangan Maya, perempuan yang teramat dia cintai jika Sandra dan yang lain tahu. Maya adalah separuh hidupnya, dia mendapatkan Maya dengan perjuangan, keringat dan air mata. Dia sendiri sudah berjanji tidak akan melepas Maya apapun yang terjadi, termasuk kalau mereka tidak akan memiliki anak seumur hidup. Itu dia lakukan untuk menebus ’dosa’-nya pada Maya, karena gagal melindungi perempuan itu hingga sebuah kecelakaan tak bisa dihindari.

“Berhenti membahas itu, aku tetap akan bersamamu dan hanya dengan kamu aku ingin hidup.” Bian menepikan surai hitam yang menutupi sebagian wajah Maya, menyelipkan ke belakang telinga.

“Kau jangan keras kepala.” Maya membuang napas panjang.

“Menikahlah dengan perempuan yang masih normal dan bisa memberimu keturunan, aku … mengizinkan.”

“Tidak, May …. “

“Jangan bodoh memilih bertahan dengan perempuan mandul sepertiku!” potong Maya cepat, hatinya semakin perih.

“Kita bisa berusaha dengan cara lain!” Akhirnya Bian meninggikan suaranya. Dia kesal dengan Maya yang terus mendesak.

“Dengan cara apa? Kau dokter dan kau tidak mungkin bisa menyembuhkan aku, bahkan … kau sendiri yang mengangkat rahimku.”

Setitik air jatuh dari sudut mata Maya, bulirnya terhempas ke lantai yang dingin, hancur. Sehancur hidup Maya yang harus menerima kenyataan bahwa dia bukan lagi perempuan sempurna. Dia tergugu merasa bersalah telah gagal menjadi istri. Apa gunanya istri jika tidak mampu melahirkan anak-anak penerus keturunan?

"Kita tidak mungkin selamanya seperti ini." Air matanya menganak sungai.

Maya mundur ingin menjauh dari posisi Bian. Dia rapuh setiap kali melihat wajah suaminya yang tenang dan mata yang selalu memancar keteduhan. Sebelum jarak keduanya semakin jauh Bian merengkuh tubuh Maya, membawa dalam dekapan.

"Kau perempuan sempurna, May. Aku sangat mencintaimu."



   

HAREMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang