BAGIAN 15

7 3 0
                                    

Beberapa saat kemudian Yudha dan Bagas sudah berada dalam Mitsubishi Galant V6. Bagas melarikan kendaraan kepolisian itu membelah Jalan Lembah UGM menuju kampus UGM di Daerah Caturtunggal. Kendaraan lain yang melintas masih bisa dihitung jari. Beberapa pejalan kaki tampak berpakaian olah raga, berlari-lari kecil di sepanjang trotoar atau sekadar berjalan santai untuk menikmati udara pagi.

Perampokan, pembegalan dan penculikan, kasus yang beberapa hari ini Yudha tangani. Kepala polisi berperawakan gagah itu jadi pusing jika memikirkan banyaknya kasus kriminal yang terjadi di masyarakat. Memang, semua itu sudah menjadi tugasnya, tetapi rasanya dia lebih suka bila tidak ada kejahatan terjadi di tengah masyarakat. Alangkah indah dan damainya jika kehidupan masyarakat berjalan lancar tanpa di hantui rasa was-was dan takut oleh tindak kejahatan. Bukankah itu yang diinginkan semua orang?

Masih banyak oknum yang menyelewengkan hukum dan tidak takut pada hukum, menjadi sebab banyaknya anggota masyarakat yang melanggar aturan dan undang-undang. Adanya peraturan dan undang-undang yang diterapkan di masyarakat tidak lagi menjadi rambu preventif munculnya tindak kejahatan.

Belakangan jika diperhatikan kejahatan yang muncul makin banyak dan merajalela, sehingga tugas memberantas kejahatan bukan hanya terpikul di pundak polisi, tetapi juga pada pundak seluruh elemen masyarakat. Polisi tidak bisa mengawasi selama dua puluh empat jam seluruh aktivitas masyarakat, apa lagi setiap indifidu. Setiap orang punya kewajiban dan tanggung jawab sama dalam menjaga keamanan.

Tidak sampai dua puluh menit mereka sampai di tujuan. Beberapa polisi sudah ada yang berjaga di pintu gerbang, sebagian berpencar di sekitar tempat parkir dan halaman kampus. Mereka berada di sana atas perintah Yudha.

Yudha turun dari mobil, memandang sekeliling tempatnya berdiri. Selain anak buahnya hanya ada beberapa mahasiswa yang melintas. Mungkin kampus diliburkan karena adanya kasus kehilangan, begitu fikirnya.

“Apa kampus semegah ini tidak ada petugas keamanannya?” tanya Yudha seperti pada diri sendiri.

“Ada … mungkin ada,” jawab Bagas tidak pasti.

“Kita akan mulai dari keterangan saksi.” Yudha berucap tegas.

Polisi bertubuh atletis itu memang dikenal orang yang sedikit berbicara lebih banyak bekerja. Yudha berjalan ke salah satu gedung yang paling ramai, dibelakangnya Bagas mengikuti. Air memercik ketika genangan sisa hujan semalam terinjak, sebagian percikan bercampur pasir mengotori sepatu PDH hitam mengkilap milik Yudha. Mereka sudah sampai di depan gedung bercat hijau. Pita kuning kepolisian pertanda dilarang melintas bagi yang tidak berkepentingan terpasang mengelilingi bangunan sepanjang enam meter tersebut. Sudah banyak anggota kepolisian di area tersebut.

“Apakah ada barang bukti yang tertinggal?” tanya Yudha pada polisi yang dilehernya terkalung kamera.

“Sejauh ini belum kami temukan, Pak. Semoga tim bisa mendapatkan sidik jari.” Polisi muda itu memandang pada dua orang timnya yang sedang bekerja.

Yudha mengangguk. Kemudian menerobos pita kuning, masuk ke ruangan perkuliahan bergabung dengan yang lain. Kasus seperti ini jarang terjadi. Kampus berbeda dengan Sekolah Dasar yang masih marak kabar terjadi penculikan pada anak-anak selepas jam belajar.

Mungkinkah mahasiswi tersebut di culik? Atau justru sengaja menghilang. Mengingat selama ini kampus adalah tempat yang aman, tidak pernah ada kabar tindak kejahatan yang fatal. Kali ini Yudha harus bekerja ekstra sebab tempat itu cukup bersih dari jejak pelaku.

*

“Selamat siang, Nona Ellea.” Yudha memulai dengan suaranya yang ramah. “Saya Yudha yang ditugaskan menangani kasus menghilangnya terlpor Puspa Puji Prameswari, Anda benar teman terlapor?”

Ellea mengangguk, tatapannya terfokus pada wajah polisi di depannya. “Baiklah, kami butuh keterangan dari saksi untuk melengkapi laporan penyelidikan dan mengungkap kasus ini. Kami harap Anda bisa bekerja sama dengan memberi keterangan yang sesuai dengan yang terjadi.”

Lagi-lagi Ellea mengangguk. Yudha menegakkan duduk, sudah ada kertas dan sebuah pena yang akan digunakan untuk mencatat informasi penting dari saksi pertamanya.

“Kita mulai. Anda mengatakan bersahabat dengan Puspa, bisa ceritakan bagaimana orangnya dan sebagainya yang anda ketahui.”

“Puspa … dia baik, diantara kami dialah yang sering melakukan hal konyol di luar dugaan yang selalu berhasil membuat kami terhibur. Kami berharap hilangnya dia kali ini bukan bagian dari prank. Kami tinggal di kos yang sama. Masing-masing dari kami akan selalu mengabari jika hendak pergi atau menginap di tempat lain. Tapi, tadi malam Puspa tidak melakukannya. Saya mengira jadwal kuliahnya mundur lagi. Sampai tengah malam saat terbangun Puspa belum kembali ke kamarnya, saya coba menghubungi ponselnya.”

“Apa jawabannya?” Yudha menyela.

“Tidak tersambung.”

Yudha menghela panjang. “Lanjutkan!”

“Tentu kalau seandainya saya tahu ada yang berniat jahat dengannya, pasti saya akan memintanya bolos kuliah. Tetapi saya mengira semuanya selalu aman terkendali.”

Yudha menangkap suara penyesalan di sini. Manusia selalu menganggap bahwa waktu itu akan terus ada, tidak sekarang bisa besok, luput besok, bisa lusa. Sampai waktu itu benar-benar sudah tidak ada lagi kemudian manusia menyesal. Ya, penyesalan selalu datang terlambat!

“Kami semua menghubungi teman-teman, menanyakan keberadaan Puspa. Karena walaupun yang paling konyol Puspa sebenarnya juga penakut. Semua mengatakan tidak tahu, kami tidak berani menghubungi orang tuanya. Puspa pernah menelepon saudara jauh dengan ponsel saya, saat saya hubungi orang itu juga tidak tahu keberadaan Puspa. Saya terlalu khawatir segingga tidak sabar menunggu 1x24 jam. Tadi pagi saya yang menghubungi kantor polisi.”

“Apa kalian merencanakan akan pergi ke suatu tepat?” Yudha menyelidik.

“Tidak. Jadwal perkuliahan kami sangat padat dua minggu kedepan.”

“Tadi Anda mengatakan kami tinggal satu kos, ada berapa orang?”

“Tiga. Saya, Evi dan Puspa sendiri.”

“Kalian tidak masuk kuliah di jadwal yang sama?” Kening Yudha mengkerut.

“Seharusnya jadwal Puspa dan Evi bersamaan, tapi dia belum pulih setelah kecelakaan.”

Yudha mengangguk paham, tangannya bergerak mencatat.
“Apa Puspa punya pacar?” tanyanya setelah beberapa saat keduanya saling diam.

“Setahu saya tidak. Tapi, mungkin juga punya.”

“Puspa pernah bercerita memiliki masalah dengan seseorang?”

“Tidak pernah. Kami selalu terbuka, dia tidak bisa menyimpan rahasia.”

“Kapan terakhir ponselnya aktif?”

“Pukul tujuh malam terakhir whatsapp-nya dilihat. Mungkin sebelum kuliah di mulai.”

“Apa sebelumnya Puspa pernah bercerita memiliki musuh, atau orang yang tidak senang dengannya?”

Ellea menggeleng cepat. “Tidak pernah, Pak.”

Yudha menuliskan jawaban Ellea di kertas. Semua dia rangkum menjadi poin-poin penting.

“Anda punya informasi yang lain?”

Ellea menggeleng. “Saat ini saya masih terlalu menghawatirkan keadaan Puspa.”

“Saya paham.” Yudha tersenyum pada Ellea. “Terima kasih sudah membantu kerja kami dengan memberi keterangan. Kami akan memproses dan mencari keberadaan sahabat Anda.”

Ellea ikut tersenyum yang dipaksakan, hatinya sedikit lega. Harapannya begitu besar supaya polisi segera menemukan Puspa.

“Saya juga ingin meminta bantuan pihak polisi untuk satu hal lagi,” ucap Ellea lirih.

“Hal apa itu?” Yudha menatap tak sabar.

“Kami tidak berani menyampaikan berita ini pada orang tua dan keluarg Puspa. Bisakah kepolisian yang melakukannya?”

“Itu pasti. Kepolisian akan menghubungi keluarganya.” Yudha mengangguk.

HAREMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang